EPISODE 12. Kara dan .... Deven?

112 24 13
                                    

Moza tidak menyangka kalau pergi ke toko buku untuk menemani Kara akan berbuah manis namun canggung saat ia bertemu dengan Eisha. Ia senang dan lebih senang lagi saat gadis berwajah sendu itu menerimanya sebagai teman. Sepertinya mulai besok ia harus mencoba untuk menghampiri Eisha lagi selesai jadwal kuliahnya selesai.

“Lo mikirin apa?”

Kepala Moza terangkat dan bisa melihat wajah Kara yang memandangnya bingung. Spontan ia menggeleng dan kembali meneguk minuman miliknya. Mereka sekarang ada di depan Indomaret tempat kedua mereka bertemu setelah dari toko buku. Tadinya Moza menawarkan untuk mengajaknya ke apartemennya sekalian mengundang Ichi dan Ghani untuk saling temu. Sayangnya itu tidak bisa terwujud karena Kara harus segera kembali ke rumahnya.

“Nggak ada.”

“Biar gue tebak, lo pasti lagi mikirin cewek yang lo samperin waktu di toko buku, kan?”

Mata Moza melotot lalu tidak lama rona merah mengaliri wajahnya diiringi dengan tawa Kara yang meledak. Moza mendesah kesal karena tidak mengira temannya ini tahu kalau ia sempat bertemu dengan Eisha.

“Lo lihat? Gue kira tadi lo terlalu sibuk cari buku.”

Tawa Kara sepenuhnya menghilang dan wajahnya berubah menjadi serius. “Lo kelihatan dekat sama cewek tadi. Siapa? Pacar lo?”

Pertemuannya dengan Eisha bagaimanapun adalah suatu hal yang tidak sengaja yang diawali dengan kata penasaran. Orang yang membuatnya penasaran sendiri ada di hadapannya sekarang. Sebenarnya tidak patut menceritakan kesedihan Eisha pada orang lain, tapi Moza merasa Kara adalah orang yang bisa dipercaya.

“Lo ingat sama cewek yang pernah masuk kuburan pas hujan deras waktu pertama kali ketemu?”

Kara terlihat berpikir namun wajahnya langsung berubah seakan baru mengingat sesuatu. “Cewek yang pakai payung hitam itu? Gue ingat. Memangnya kenapa?”

“Dia adalah cewek yang sama yang gue samperin tadi. Sejak hari itu gue jadi penasaran sama dia dan mulai datang ke depan makam untuk ngelihat apa yang terjadi sama Eisha. Dan yang nggak gue sangka gue bahkan jadi dekat dan dia bahkan setuju buat berteman sama gue. Yah ... walaupun sempat ditolak.”

Moza bersyukur karena yang mendengarkannya kali ini adalah Kara, bukan Ichi ataupun Ghani yang sudah pasti akan meledeknya. Balasan Kara justru hanya senyum simpul penuh pengertian yang membuatnya serasa punya seorang kakak laki-laki yang selalu mendengarkannya.

“Kenapa dia nolak bahkan cuma buat temenan? Gue rasa nggak ada satupun orang yang menolak untuk berteman sama lo.”

Hembusan napas panjang keluar dari hidung Moza. “Gue juga merasa begitu, tapi setelah dipikir lagi waktu itu memang gue sedikit lancang.”

“Lancang?”

“Dia punya luka yang membuatnya harus kehilangan semua keluarganya. Awalnya gue berniat untuk membuatnya berhenti bersedih, karena bagaimanapun rasanya nggak wajar jika berduka terlalu lama. Gue bilang padanya gue akan bantuin dia karena dia memang butuh dan untuk itu gue minta buat temenan. Dia nolak dan pergi gitu aja.”

“Tapi bukannya sekarang keadaannya udah beda? Dia mau temenan sama lo sekarang. Selamat.”

Moza tertawa mendengar jawaban itu. Merasa lucu mendapatkan sebuah ucapan selamat karena memulai pertemanan dengan seseorang. Kara juga ikut tertawa namun tidak ada tawa menggelegar atau mengejek yang biasa diberikan Ghani, Ichi, atau teman lainnya. Tawanya begitu renyah dan membuatnya serasa dimengerti.

“Terima kasih. Lo teman yang menyenangkan dan mungkin satu-satunya yang modelannya kayak gini.”

Kara tertawa ringan. “Memangnya gue teman modelan kayak apa?”

MENDUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang