08 : Kejebak Hujan

336 60 5
                                        

Acara PORSENI mungkin menyenangkan, tapi mengharuskan semua siswanya pulang hingga acara selesai. Bahkan ketika banyak sekali orang yang merengek karena matahari sudah bersiap pulang, para panitia seakan menutup telinga dan tetap melanjutkan acara.

Beginilah jadinya. Hujan mengguyur dengan deras, membuat kebanyakan siswa mengeluh dan saling menyalahkan, ternyata teriknya matahari siang tadi enggak menjamin perubahan cuaca seperti ini.

Aku mendecak sambil menatap tetesan-tetesan air hujan yang sempat jatuh di atas genteng. Setelah bel berbunyi, orang-orang sibuk berlarian untuk segera pulang bahkan sekolah hampir sepi dibuatnya.

“Balik?” tanya Lucas keluar dari kelas setelah mengganti pakaiannya dengan kaos, semula ia memakai jas karena sehabis lomba fashion show.

“Baliklah,” jawabku heran.

“Maksud gue sama siapa? Kalau balik enggak mungkin ada di sinilah,” sahut Lucas sewot, sambil menarikku untuk mundur sedikit karena terciprat air hujan. Detik berikutnya ia menggeleng sendiri dan bilang, “jangan berharap gue nganterin lo balik ya, Say.”

“Dih.”

Lucas tertawa, melambai dan berjalan di lorong sambil menyuruhku memesan mobil online. Kebanyakan teman sekelasku sudah pulang, Suhyun sendiri dijemput oleh kakaknya dan aku sekarang bingung harus pulang bagaimana.

Bisa saja sih mengikuti saran Lucas, tapi di rumah enggak ada siapa-siapa dan aku enggak punya uang lebih buat naik mobil. Paling bus atau angkutan umum, itupun harus keluar sekolah dulu dan … HMM BIG NO!

Kalau kalian berpikir aku lebay, enggak, bukan soal lebay atau enggaknya. Tapi aku enggak mau sepanjang jalan kayak anak baru nyemplung ke kolam, apalagi setelahnya masuk angin. Biar aku katakan saja, aku ini benci banget sama yang namanya masuk angin. Bener-bener repot!

Begitu aku menoleh lagi ke lorong di mana Lucas akan berbelok di ujung kelas sana, seseorang datang sambil melakukan high five dengan temanku itu dan mereka tampak berbasa-basi sebentar. Berikutnya dia melihat ke arahku dan tersenyum, berjalan sendirian dan tampak berani menghampiriku.

Mungkin saja enggak, tapi … enggak tahulah.

Aku kembali menatap langit, mengira hujan kapan berhenti. Sesekali kurapatkan jaket karena angin jadi berembus lebih kencang, membuatku bergidik beberapa saat.

Dipikir-pikir, sebenernya aku enggak harus ngeluh kayak sekarang. Biar bagaimanapun hujan itu rahmat, apapun cuacanya, aku harus banyak bersyukur. Malahan aku selalu disuruh berdo’a kalau hujan sama Mamah.

Iya deh iya …











“Cantik.” Lagi-lagi kudengar Renjun bergumam begitu, namun kali ini aku mencoba mengabaikan presensinya yang semakin mendekat itu.

Sebenarnya siapa yang dia sebut cantik?! Bisa enggak sih jangan aneh setiap ketemu?! batinku pusing.

“Hei,” kata Renjun berdiri di sampingku, membuatku menoleh dan mengulum bibir karena ternyata memang benar dia menghampiriku, “enggak pulang?”

“Ya …?”

“Oh, maaf. Aku Renjun yang waktu itu chat dan nanya data hehehe,” katanya mengulurkan tangan. Aku meraihnya dan kami bersalaman sebentar sambil menyebutkan nama, bukannya apa-apa, ternyata tangan dia agak gemetar dan dingin. Entahlah efek cuaca atau yang lain, gesturnya juga buru-buru ingin melepaskan kontak tangan kami. Sampai dia kembali berkata, “kenapa masih di sini?”

“Karena belum pulang.”

“Bener. Emang bener, sih.” Renjun menggaruk tengkuknya, kemudian aku menunjuk hujan sebagai alasan. Dia tampak berpikir beberapa saat hingga kemudian bertanya dengan penuh ragu. “Aku anterin pulang aja, gimana?”








CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang