04 : Infak

433 67 19
                                    

Mark tiba-tiba duduk di sampingku terus sibuk sendiri sama bukunya, bersamaan dengan ketika aku melirik jam yang sudah menunjukkan pukul 8 pagi di hari Jum’at ini. Suhyun enggak tahu ke mana setelah Pak Baekhyun masuk ke kelas, kayaknya tanggung duduk di bangku lain di belakang dan malas kembali. Soalnya kata Suhyun, pelajaran Pak Baekhyun ngebosenin banget.

Aneh. Padahal Pak Baekhyun termasuk guru yang menyenangkan bagiku, yah, meskipun kadang lebih sering bercandanya daripada ngajar.

“Ngerti, enggak?” tanyaku menyenggol Mark yang sibuk nyalin PR pelajaran lain entah punya siapa, sekadar basa-basi biar enggak sepi.

“Enggak denger dari awal, selama enggak nanya ke gue—eh aku, enggak masalah kayaknya.” Mark menjawab tanpa menoleh, terlalu sibuk nyalin karena tugasnya emang banyak.

Aku kembali memperhatikan Pak Baekhyun, enggak benar-benar memahami apa yang dia jelaskan sebenarnya. Tapi daripada terkesan tak acuh karena hampir semua teman sekelas begitu, jadi aku melakukannya.

Agak khawatir Pak Baekhyun marah, bahaya juga.

TOK! TOK!

Hampir semua temanku menoleh ke pintu dan mendapati seseorang membukanya pelan sambil tersenyum enggak enak. Katanya, “Pak, infak dulu.”

“Iyah, sok silakan jangan lama-lama.”

Pak Baekhyun duduk setelah ketiga orang asing itu masuk, dan aku spontan menegapkan badan dengan ekspresi terkejut karena Renjun ada di antaranya. Dia sibuk mengedarkan pandangan ke penjuru kelas sampai kami bertatapan, aku yang heran ini berniat sibuk sendiri membereskan buku tapi senyumannya menghentikan niatku.

 Dia sibuk mengedarkan pandangan ke penjuru kelas sampai kami bertatapan, aku yang heran ini berniat sibuk sendiri membereskan buku tapi senyumannya menghentikan niatku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Duh ilah itu anak senyam-senyum mulu kenapa, sih? batinku risi.

Entah kenapa dia bener-bener berani buat cuman ngelihatin aku, memperhatikan sampai aku mulai panas dingin karena salah tingkah. Bingung juga harus bereaksi kayak gimana.

“Jisung, sebelah sini!” bisiknya sedikit mengusik. Renjun bertukar tempat hingga kemudian berdiri di dekat barisanku, membuat perasaan ini jadi enggak enak.

Buru-buru aku mengambil sejumlah uang dari saku rok, setelah menghitungnya, baru kugeser ke buku Mark. Dia hanya meliriknya sambil kembali menulis. “Mark, tolong masukin ya pas lewat.”

“Hmm.”

Aku bersandar di dinding kelas sambil mendengarkan salah satu di antaranya berbicara tentang infak, berusaha mengabaikan Renjun yang bertingkah aneh dibanding kedua temannya yang lain. Kemudian Renjun dan temannya berjalan ke barisan masing-masing. Alasan kenapa aku memilih meminta tolong pada Mark karena Renjun kebagian di barisanku.

Duh … entahlah kenapa pastinya tapi aku rasa menyuruh Mark jadi pilihan yang tepat daripada masukin uangnya sendiri. Oh, iya, aku juga terlalu males mepet-mepet ke Mark buat masukin infak. Entar dia ngira aku modus, ugh, enggak ya.

Renjun menyondorkan kotak amal, membuat Mark mengambil uangku dan mendongak.

“Wei! Kirain siapa,” katanya sambil memukul pelan tangan Renjun berkali-kali sambil terkekeh.

“Tumben?” sahut Renjun menunjuk dengan ujung dagu, ke tangan Mark yang sedang memasukkan uang.

Mark menoleh padaku sambil berkata, “Duit dia.”

“Kenapa enggak sendiri aja? Biar lebih afdol,” katanya melihatku yang hanya menyahuti dengan kekehan paksa. Aku mengambil pulpen lalu pura-pura menulis di buku dengan sisa fokus yang ada, dan itu membuatku mendengarnya bergumam, “fokus aja cantik.”











Ha?

Apalagi sekarang?

Kenapa ngomong gitu terus?

Maksudnya apaaaa?








What?” tanya Mark bingung.

“Buruan, lama ah! Yang lain juga mau pada infak.”

“Santai dong~” kata Mark sewot.

Renjun sempat melirikku yang menatapnya bingung, kemudian dia berlalu ke bangku belakang.

“Emang duduk di situ?” tanya Renjun membuat Mark menoleh dan menggeleng. “Pantesan heran kenapa tasnya jadi pink.”

“Hahahaha, anjir!” bisik Mark menepuk-nepuk pahanya sendiri, padahal beneran enggak lucu sama sekali. Enggak ngerti lagi emang kalau mikirin humor Mark.

Begitu infak selesai, ketiga cowok itu meninggalkan kelas. Aku langsung bergeser mendekati Mark ketika Pak Baekhyun kembali menjelaskan pelajaran.

“Temen kamu?” tanyaku agak berbisik.

Yes.”

“Oh, aku tahunya si Haechan Haechan itu doang,” sahutku pura-pura memperhatikan Pak Baekhyun. Sambil mengingat kalau Mark biasa kumpul dengan beberapa teman dekatnya, yang paling aku kenal adalah Haechan karena karakternya yang sangat hiperaktif itu.

Mark mengangguk membenarkan sambil berkata, “Itu si Renjun, anak mading. Dia emang enggak terlalu mencolok kalau sampingan sama si Haechan, orangnya agak jaim haha.”

“Owalah, kalau anak mading kenapa nyasar ke infak?”

“Anak remaja masjid juga, cuman jarang masuk dia. Numpang nama doang kayaknya,” jawab Mark.

Aku mengangguk tak acuh, enggak berniat bertanya lebih meski ingin. Takutnya dikira kepoin dia ‘kan enggak banget.

Yah, pokoknya sekarang aku tahu dia temennya Mark, ekskulnya apa dan anaknya agak kalem. Gitu aja. Masih wajar, ‘kan?









 Masih wajar, ‘kan?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.








Author's note:
Memenuhi permintaan Rishaazzahra soal 3 x sehari.

CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang