09 : Team Mading

326 55 3
                                    

“MAKSUD LO DIA NGANTERIN SAMPE RUMAH?!” pekik Suhyun tiba-tiba hingga membuatku menepuk bibirnya karena terlalu berisik dengan tempat pensil. “Heh! Kuman!”

“Enggak sampai rumah, Suhyun. Sampai halte bus, udah dibilangin aku tuh enggak segampang itu diajak balik sama orang asing. Lagian dia bawa jas hujan satu aja sok-sok nganterin pulang. Ya mending bus ke mana-manalah, duduk enak, keujanan juga enggak,” jelasku membuat Suhyun mengangguk-anggukkan kepala.

Kemarin di tengah jalan aku langsung berubah pikiran. Aku meminta Renjun menurunkanku di halte, setelah sebelumnya dia meminjamkan jaketnya ketika aku memaksa dia memakai jas hujan di tempat parkir sekolah.

Sampai halte saja sudah membuat jaketnya basah, apalagi sampai rumah? Untungnya dia nurut, mungkin juga kepikiran bahwa dia enggak punya hak untuk ngatur-ngatur dan memang lebih baik naik bus, 'kan?

“Habis itu?” tanya Suhyun.

“Pulangnya dia chat aku, obrolannya juga panjang dan … yah, agak lucu. Dia jadi suka basa-basi enggak jelas di chat,” jelasku asal karena sibuk mencicipi makanan yang Suhyun sondorkan.

“Kemajuan nih ceritanya?”

“Apa, deh? Enggak usah ngarang!” kataku mencolek pipinya sekali dengan pelan. Perihal apa yang aku katakan, itu emang bener. Padahal aku bukanlah tipe orang yang suka basa-basi di chat, nongol di grup kelas aja kalau ada maunya semisal nanya tugas atau berita penting lainnya. Tapi dengan Renjun … entah kenapa kemarin mengalir begitu saja.

Suhyun memasang senyum menggoda, aku bahkan enggak habis pikir kenapa dia selalu bersemangat dan girang sendiri kalau aku mulai membahas Renjun. Pernah sekali dia bilang, katanya seneng aja aku deket sama cowok setelah sekian lama fokus belajar terus.

Tapi … ribet banget enggak sih hidup dia? Segitunya ngurusin aku?

“Aku mau ke UKS, ya. Minta kayu putih atau apa gitu, masih agak pusing,” kataku berdiri sambil mengambil ponsel.

“IKUT!”

“Iya iya, enggak usah teriak.”




















***

Begitu selesai urusan dari UKS, aku kembali hendak ke kelas sambil sesekali berbincang kecil dengan Suhyun. Suasana sekolah masih ramai, mendekati pergantian semester sebenarnya membuat para siswa libur dari kegiatan sekolah, tapi tetap harus masuk untuk memenuhi absen. Mungkin beberapa di antara mereka memperbaiki nilai, kalau aku pribadi sudah menyelesaikannya sejak PORSENI kemarin.

Rajin, ‘kan? Sekarang bangga aja karena udah duluan free.

Begitu naik tangga dan sampai di belokan, aku menemukan dua orang asing turun dan mau enggak mau kami jadi berpapasan. Kulihat seorang perempuan cantik dan manis, bersama Jeno dan Renjun yang baru saja menggantungkan kamera di lehernya.

Aku hanya tersenyum tipis sambil berlalu, berusaha ramah seadanya ketika Renjun malah mencegahku hingga senyum ini terganti oleh raut terkejut.

“Eh, boleh minta waktunya sebentar?” tanyanya membuatku dan Suhyun tersentak. “Maaf maaf, bikin kaget hehehe.”

“Ada apa?” tanya Suhyun.

“Ini kita lagi keliling buat minta beberapa siswa kasih pesan, kesan atau salam. Mungkin juga komentar soal PORSENI kemarin, rencananya buat majalah semester depan dan kita lagi nyicil bahannya. Kalian mau partisipasi, enggak?” tanya Renjun.

Jeno menyenggol Renjun dan berkata pelan, “Loh? Slot pesan, kesan sama salam ‘kan udah penu—"

“Gimana?” tanya Renjun menyenggol balik Jeno yang meringis karena reaksi sang teman yang sangat tiba-tiba. Aku sontak menatap Suhyun dan memberinya kode agar dia saja yang melakukannya, tapi Suhyun malah menarik tanganku sampai jatuh ke pelukannya.

CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang