12 : Telepon

273 52 3
                                    

Liburan mau ke mana?” tanya Renjun, aku yang sedang merebah di kasur lantas duduk dan berdeham sebentar sambil membenarkan letak selimut.

“Enggak ke mana-mana, paling entar kalau temen-temen ngajak pergi baru ke luar,” jawabku melirik jam. Sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, di mana orang tuaku biasanya sudah tidur. Tapi entahlah Kak Taeil, dia bilang mau nongkrong dengan teman-temannya.

Alasanku kurang tahu dia sedang apa karena memang setelah pukul sembilan tadi, aku langsung ke kamar dan me time dengan ponsel. Sudah hampir satu jam mendengarkan musik, jadi aku enggak tahu apa-apa di luar kamar. Sampai kemudian Renjun menelponku yang ternyata sejak tadi aku abaikan pesannya.

Judes banget apa, ya? Wkwkwk. Enggak nyadar soalnya.

Enggak ada rencana?” tanya Renjun diselingi kekehan pelan.

“Enggak. Kamu sendiri?” tanyaku sambil melihat-lihat foto makanan di Instagram, sempat membenarkan kabel earphone yang hampir rusak karena lusa kemarin dicabut paksa oleh Kak Taeil. Beringas banget ‘kan:( katanya kesel udah dipanggil enggak nyahut-nyahut.

Pengen nyalahin tapi aku juga salah, sih. hahhh~

Aku … ada rencana sih sama Haechan dan yang lain buat pergi, tapi ya enggak bakal lama juga,” katanya membuatku bergumam sebagai sahutan, “bosen dong di rumah?”

“Ah, enggak juga.”

Habisnya enggak mungkin juga ‘kan aku ngajak jalan terus setiap hari,” celetuknya membuatku diam dalam keterkejutan. Terdengar suara gaduh dan selingan godaan dari seberang sana, bisikkan Renjun salah satunya sampai membuat rasa terkejutku hilang begitu ia berkata, “bangsat, Haechan diem.

Tolol apa maneh? Si Haechan daritadi diem,” celetuk Jaemin membuatku sadar kalau dia enggak sendirian.

Berarti lo yang diem,” kata Renjun membuat Jaemin menggerutu. Sesaat si penelpon berdeham dan berkata, “duh, bentar.”

MAU KE MANA?! TELEPONAN SAMA AYANGNYA DI SINI AJA, PAKE KE LUAR SEGALA!” Jeno, aku yakin itu suara dia. Teriakkannya disusul suara gaduh dan tawa dari jauh. Tanpa sadar aku terkikik membayangkan gimana paniknya Renjun, sama seperti ketika kami di kantin beberapa waktu lalu.

Renjun aja sampai ngomong kasar, 'kan.

Maaf pause dulu tadi,” kata Renjun akhirnya bersuara.

“Lagi pada main kalian?” tanyaku menyimpan ponsel di atas paha sambil memainkan selimut.

Iya, lagi nginep di rumah Jeno.”

“Kalau gitu kenapa telepon aku?” tanyaku, enggak ada maksud aneh di balik pertanyaannya. Tapi kayaknya Renjun agak bingung jawab pertanyaan ambiguku. “Maksud aku … kamu bisa have fun sama mereka.”

Enggak tahu, pengennya ngobrol sama kamu dulu. Udah dapet izin juga lagian buat nelpon, sayang kalau enggak dipake izinnya,” jelas dia membuatku tersenyum. Enggak apalah, toh enggak ada yang lihat.

Habis gimana, ya? Kok manis gini anaknya? Ckckck.

Belum saja menyahut, Kak Taeil masuk tanpa permisi dan hanya berdiri di ambang pintu sambil melipat kedua tangan di dadanya. Aku melepaskan sebelah earphone dan menatapnya bingung, sedangkan dia masih di sana dengan tatapan yang menyelidik.

“Apa, deh?”

Apanya?” tanya Renjun yang kuabaikan.

“Kenapa belum tidur?” tanya Kak Taeil terdengar meinterogasi.

CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang