Alano - 58

657 22 2
                                    

Happy reading!

Maapkan kalo ada typo, semoga dapet feel-nyaa ❤️❤️





                         🍁🍁🍁🍁

Teresa membelalakkan kedua matanya, sedangkan Loli melongo melihat pemandangan yang terlihat di mata mereka. Terasa mustahil sekaligus meleleh melihatnya. Bagaimana bisa, kakak kelasnya itu melakukan hal yang romantic di depan public. Para jones gigit jari melihatnya, melihat perlakuan Alan yang sweet begitu.

"Lahap banget." Katanya singkat memberikan senyum tipis membuat Oliv terpana. Kenapa manis banget sih kalo lagi senyum gitu? Gimana nggak suka coba.

Alan mendudukkan dirinya di samping Oliv memperhatikan gerak-gerik gadis itu. Oliv salting, kedua pipinya merona, menahan malu yang menderanya. Setiap gerakannya merasa di awasi oleh cowok itu. Astaga, ia harus berbuat apa?

"Ehem, gu-gue mau ke toilet dulu sebentar." Pamit Teresa langsung bangkit berdiri.

"Eh, gue ikut." Sambung Lolita. Ia tidak mau jadi obat nyamuk mereka berdua, berasa jones banget, 'kan di lihatnya gimana gitu. Maksudnya bukan jones, tapi lebih ke single.

"Yah, kok pada pergi." Ujar Oliv sedikit cemberut ketika meninggalkannya bersama Alan. Bukannya apa, jantungnya terus jedug-jedug padahal 'kan kalau ada mereka bisa mengurangi kecanggungan yang ada. Jadi tambah gugup. Di tambah lagi, banyak sepasang mata yang melihatnya, baik secara terang-terangan ataupun lirik-lirikan. Kan dia jadi tidak percaya diri, merasa tidak pantas di samping Alan.

"Kenapa?" Tanya Alan yang memperhatikannya.

"Nggak papa." Oliv menggigit bibirnya, bertanya sedikit ragu, "ini ki-kita nggak papa disini?"

"Kenapa? 'kan di kantin."

"Ta-tapi banyak yang ngeliatin." OLiv menundukkan wajahnya.

"Malu? Malu pacaran sama aku?" oliv langsung mendongak dan menggelengkan kepalanya.

"Nggak, bukan gitu. Aku malu sama minder, aku ngerasa nggak pantes aja deket sama kak Alan." Oliv memainkan jari-jarinya. Alan mengerutkan keningnya lalu menghembuskan napasnya, memalingkan wajahnya lalu kembali menatap Oliv. Alan bingung sendiri, mengapa cewek itu selalu merasa minder? Apa yang harus di-minder kan?

"Jangan ngomong kayak gitu, aku paling nggak suka orang yang minder padahal dirinya sempurna. Nggak ada kekurangan apapun. Kamu nggak cacat, jadi apa yang harus buat kamu minder?"

Oliv terdiam seketika, ia dapat melihat kilatan ketidak sukaan Alan atas apa yang ia ucapkan.

"Maaf." Ucapnya pelan.

Tangan Alan terulur menyentuh rambut Oliv, "nggak papa. Jangan di ulangin lagi. Aku nggak suka." Katanya dengan lembut sembari tersenyum tipis. Senyum yang menular, karena Oliv juga ikut tersenyum.

****

"Kita kesini?" Tanya gadis yang berada di samping cowok itu. Kedua tangannya memegang erat tali tas nya. Ia merasa gugup. Walaupun sudah pernah ke tempat itu sebelumnya, namun gugupnya masih melandanya.

"Kenapa? Nggak mau, hm?" kata Alan sambil melepaskan helm lalu di letakkan di motornya.

"Bu-bukan gitu. A-aku gugup." Ucap Oliv menundukkan wajahnya.

Alan tersenyum lalu dengan cepat mengubah ekspresi wajahnya menjadi datar, takut Oliv melihatnya.

"Kan udah pernah kesini sebelumnya. Nggak galak 'kan mama aku?"

Oliv menggeleng, mendongak menatap wajah Alan. Ia Cuma gugup, itu saja. Alan yang mengerti, meraih tangan Oliv menggenggamnya dan masuk ke dalam rumah Alan.

"Alan, kamu udah pulang?" Tanya Risa yang memang sedang berada di ruang tamu. Wanita itu melihat Alan bersama seorang gadis di sampingnya dan juga tangan mereka yang saling menggenggam. Risa tersenyum dalam hati, ketika melihat wajah Alan yang sepertinya bahagia, walaupun anaknya itu tidak menunjukkan ekspresi wajahnya.

Mereka mencium punggung tangan wanita itu.

"Kamu kok nggak bilang mama kalo mau bawa calon mantu mama kesini?"

Pipi Oliv bersemu merah ketika mendengar ucapan mamanya Alan, ia jadi tambah gugup.

"Ma, jangan mulai deh." jawab Alan. Alan tau, pasti mamanya itu tengah menggodanya.

"Loh emang bener 'kan? Ayo, Oliv kita duduk-duduk dulu sambil ngobrol-ngobrol." Ajak Risa ramah dan menuntun Oliv untuk duduk di sampingnya.

Alan memutuskan untuk pergi ke kamarnya untuk berganti baju. Namun, sekilas ia tersenyum melihat interaksi keduanya yang membuatnya sedikit bahagia

"Oliv mau minum apa?" Tanya Risa.

"Eh, nggak usah tante. Ngerepotin jadinya." Tolak Oliv halus. Sungguh, ia malu sekaligus gugup.

"Jangan sungkan. Tante bikinin jus melon ya? Kamu tunggu ya."

"A-aku ikut tante ke dapur aja." Oliv menunduk.

"Yaudah yuk. Tapi, kamu jangan nunduk gitu, tante nggak gigit kok." Oliv mengangguk lalu tersenyum begitupun Risa.

Mereka berjalan menuju dapur.

"Oliv?" panggil Risa.

"Ya tante?"

"Kamu sayang sama Alan 'kan?" oliv menipiskan bibirnya, merasa sedikit bingung dengan pertanyaan wanita yang sedang menatapnya dengan pandangan yang .. entahlah Oliv tidak tau maksudnya.

"I-iya tante."

"Kamu jangan tinggalin Alan ya?" pinta Risa secara tiba-tiba membuat Oliv sedikit terkejut dengan permintaan wanita itu.

"Iya, tante." Jawab Oliv sambil tersenyum tipis dan memotong buah melon yang hendak di buat jus. Sedangkan Risa mengambil es batu dari kulkas.

Risa memposisikan dirinya di samping Oliv, menatap gadis itu.

"Liv, Tante boleh cerita?" gerakan Oliv seketika terhenti, mengurungkan kegiatannya yang hendak menuangkan buah di blender.

"Cerita apa, tante?" Oliv memandang wanita yang terlihat masih muda walaupun umurnya sudah memasuki kepala empat. Risa menopang tubuhnya dengan tangan yang berpegangan dengan meja.

"Tante senang Alan bisa kembali seperti dulu." Satu kalimat yang mampu memuat banyak teka-teki di kepala Oliv. Risa tersenyum tipis melihat Oliv yang tampak menunggu kelanjutan kalimat darinya.

"Dulu, Alan itu sifatnya ramah, peduli dengan orang-orang disekitarnya, selalu senyum dan semua itu lenyap dalam sekejap. Sekarang, anak itu terlihat cuek 'kan? Nggak peduli dengan orang-orang di sekitarnya ketika di sekolah?" Oliv mengangguk membenarkan.

"Kamu tau alasannya? Semua itu karena kesalahan tante yang buat Alan jadi seperti itu." Kedua matanya berkaca-kaca.

"Maksud tante?"

"Perubahan itu terjadi ketika Alan beranjak ke remaja, dan tante kembali bekerja dengan sibuknya, begitupun dengan papanya Alan. Kami berdua sama-sama sibuk hingga tak menyadari perubahan dalam diri Alan yang sangat berbeda. Tante dan papanya Alan sampai tidak ada waktu untuk mengobrol dengan Alan, hanya ketika sarapan. Itu pun, Alan hanya sebentar lalu berangkat ke sekolah." Tidak tahan, air matanya meluruh seketika. Oliv mengusap bahu wanita itu.

"Harusnya Tante nggak perlu bekerja sesibuk itu, kalo akhirnya anak Tante jadi berubah,"

"Dan, yang paling Tante sesali dan benar-benar tidak menyangka itu papa Alan yang tega mengkhianati pernikahan Tante dengan dia. Itu juga yang membuat Alan berubah dan membenci papa nya."

Oliv langsung memeluk Risa. Ia tau, 'berkhianat' itu merujuk ke sesuatu.

"Tante tau, tante salah. Tante yang buat Alan jadi seperti itu." dengan refleks, Oliv memeluk wanita itu seperti sedang memeluk bundanya ketika bundanya sedang bersedih. Katanya pelukan bisa menenangkan seseorang. Sementara Risa, terisak di pelukan gadis itu.

"Tante nggak perlu nyalahin diri sendiri. Nggak ada yang perlu di salahin." Ucap Oliv.

Mereka menguraikan peluk, "Tante percaya sama kamu. Tolong, jangan tinggalin Alan ya." Pinta wanita itu.






                          🍁🍁🍁🍁

Alano [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang