23. Accepting

749 70 0
                                    

Aku menaruh sebuket bunga mawar putih pada pusara tempat peristirahatannya yang damai, diiringi setetes airmata yang jatuh dari kelopak mataku begitu saja.

"Hi, Dad. Long time no see."

Tak ada jawaban.
Aku kembali menangis karena membayangkan senyum Dad yang selalu menyapaku didapur saat pagi hari ia membaca koran.

"I miss you."
Lirihku dengan isakan yang mulai terdengar, namun aku mencoba menahannya.

"Aku takut, Dad."

Hening. Hanya ada suara semilir angin yang membuat dedaunan pohon disekitar saling bergesekan.

"Biasanya, kau selalu mencoba menenangkanku dengan perkataanmu yang canggung. Namun selalu berhasil membuatku lebih tenang."

Aku tertawa kecil mengingat dirinya yang memang tidak terlalu dekat dengan diriku, namun selalu mencoba yang terbaik dan membuat diriku selalu nyaman bersamanya.

Aku yakin, dia sudah tenang bersama ibuku di surga. Dia pasti bahagia.

Aku kembali menangis sedih.
"Baiklah. Aku akan mencoba kuat. Aku akan melahirkan bayi ini, setelah itu aku akan bertemu denganmu."

"Kita akan bersama, dengan Mom. Selamanya. Bisakah kalian menungguku sebentar?"

Aku memejamkan mata dan berjongkok. Menangis tersedu-sedu hingga isakanku terasa menyesakkan dadaku.

Entah kenapa, aku sangat sedih saat mengatakan niatanku pada Dad dan juga Mom.

"Apa yang kau katakan?"
Axelle berdiri dengan menggenggam erat kantung darah yang ia bawa.

Aku diam. Aku malas untuk berbicara dengannya. Dia adalah pria brengsek yang sudah menghancurkan hidupku tanpa sisa. Bahkan, impianku untuk hidup bersama Mike pun telah ia hancurkan.

Tak ada lagi masa depan.
Hidupku sudah mati.

"Sofia!" Suaranya meninggi sambil menghampiri ranjang dimana aku setengah berbaring.

"Axelle, dia sedang sakit. Jangan terlalu keras padanya." Ucap Ansell melawan kakaknya.

"Tinggalkan kami berdua." Ucap Axelle tajam pada semua orang di ruangan ini tanpa bisa diganggu gugat kembali.

Dengan terpaksa, Ansell meninggalkan kamar kami. Disusul Amanda yang terlebih dahulu memegang bahu putranya sambil berkata lembut. "Bicara dengan baik, dia sedang mengandung anakmu."

Dan kulihat, perkataan Amanda sanggup membuat Axelle menurunkan emosinya terlihat dari pundaknya yang tegang berubah menjadi lemas saat Amanda menyentuhnya.

Amanda pergi dari ruangan itu.
Axelle mengusap wajahnya kasar lalu duduk di ranjang tepat disamping dimana aku duduk.

Dia tak mengucapkan apapun selain menyiapkan kantung darah itu untuk dituangkan pada sebuah gelas yang tadi bekas air sirup.

Aku mengabaikan apa yang sedang terjadi saat melihat darah itu tercurah kedalam gelas bening itu.
Bahkan, aku bisa mendengar suara nikmat dari tuangan darah itu, membuatku bertambah haus dan sesuatu dalam diriku bergejolak meronta-ronta.

Aku tidak mengerti.
Namun untuk saat ini, aku tidak mau mengerti. Aku tidak mau berpikir apapun sebelum darah itu masuk ke mulutku.

Wajah Axelle terlihat tegang dan rahangnya mengeras melihat responku pada darah ditangannya.

"Please..." Mohonku sambil meremas ujung selimut meminta pada Axelle.

"Sejujurnya, aku tidak mau kau berubah seperti kami. Tapi, aku melakukan kesalahan ini. Kau tak perlu takut dan khawatir, aku akan bertanggung jawab atas dirimu." Ucap Axelle membuatku menoleh padanya.

FATED (Finish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang