BAB 2 - MAKAN SIANGBekerja, aku adalah tipe orang yang mencintai pekerjaan. Dan suka dengan tantangan. Makanya, meskipun aku lulusan Universitas Negeri Yogyakarta jurusan tata busana aku memilih kerja di butik milik Nesta ketimbang membuka butik sendiri.
Membuka butik sendiri, tantangan yang seru sih. Tapi aku masih mau belajar, belajar di butik Starlyn Collection dan menerima setiap tantangan dari Nesta.
Pekerjaanku gampang-gampang susah kok. Hanya menerjemahkan desain dari Nesta lalu membuat polanya. Selain itu juga mengatur jadwalnya. Yah semacam asisten pribadinya gitu. Kalau Nesta sedang tidak bisa, atau sedang ada tugas di luar kota. Aku yang menghandle semuanya.
Serukan... Kadang aku juga membantu mbak-mbaknya menjahit. Ataupun membantu memotong dan memasang payet. Seadanya deh, ada kerjaan ini ya ngerjain ini, ada kerjaan itu ya ngerjain itu.
Tapi untuk masalah pembuatan pola Nesta hanya percaya sama aku. Karena, gak sombong loh nih ya, hanya aku yang bisa menerjemahkan desain yang Nesta buat. Maksudnya, yang paham betul dengan apa yang Nesta gambar.
Starlyn Collection. Rasanya aku sudah nyaman kerja di sini. Ini sudah menjadi rumah kedua bagi aku. Kerja sama Nesta itu asik. Ya meskipun dia galaknya minta ampun sih. Tapi aslinya baik kok. Dia tegas bukan galak sih.
Aku suka kerja di sini. Orang-orangnya baik semua. Sudah ku anggap seperti keluarga semua. Kebersamaannya sungguh diacungi jempol. Alhamdulillah karyawan di sini pada betah semua tidak ada yang keluar masuk. Ya tadi karena Nesta dan semua yang ada di sini selalu menerima karyawan baru dengan baik.
Kerja di bidang jahit itu asik kok. Gampang-gampang susah sih. Kalau orang yang telaten pasti hasilnya bagus dan gampang memahami. Aku sangat tidak menyesal mengambil jurusan tata busana dulu saat SMK dan saat kuliah. Karena ilmu yang di dapat sangat bermanfaat banget buat aku di masa depan.
Misalnya nih ya, kalau seumpama aku tidak kerja lagi di butik milik Nesta. Aku bisa membuka jasa jahit sendiri. Awalnya jasa jahit dulu nanti lama-lama kan bisa berkembang jadi butik yang besar. Semua tidak ada yang instan, semua butuh proses dan perjuangan.
Seperti membangun butik Starlyn Collection ini. Aku ikut membantu Nesta mendirikannya. Bukan sesuatu hal yang mudah. Sangat luar biasa susah. Butuh perjuangan, butuh proses yang panjang.
“Gab, Gabby.” Sebuah panggilan membuatku membuyarkan lamunan.
“Eh iya, Ta. Ada apa?”
“Dari tadi ngelamun mulu. Ngelamunin apa? Kerja Gab.” Nesta menjawab dengan nada tinggi.
Tuh kan seperti yang ku bilang sejak awal tadi. Nesta itu galak dan tegas. “Maaf, Ta.”
Nesta menghampiriku lalu duduk di depan mejaku yang besar ini. “Gab. Curhat boleh?”
Aku terkekeh pelan mendengar pertanyaan Nesta. Ya jelas bolehlah. Nesta sudah ku anggap seperti sahabat aku sendiri. “Tentu saja boleh, Ta.”
“Ibunya Adnan tidak setuju dengan hubungan kita, Gab.” Wajah Nesta terlihat sedih. Oalah ini toh permasalahannya. Sejak hari senin Nesta sempat uring-uringan, bahkan karyawan di sini jadi korban. Namun mereda sejak kedatangan Adnan hari jum'at kemarin.
“Masalahnya kenapa? Kok gak dapat restu?”
Dia menghela nafas. “Kesalahpahaman Gab. Jadi gini...” Dan setelah itu Nesta curhat masalah pribadinya dengan Adnan. Aku pun dengam setia mendengar dan memberi dukungan untuknya. Heran aku dengan Nesta. Tadi minta aku untuk kerja, eh ini curhat dari pukul setengah sebelas sampai pukul dua belas.
“Eh udah waktunya istirahat, Gab. Silakan istirahat ya.” Nesta mengakhiri sesi curhatannya.
Aku menganggukan kepala, lalu berjalan ke lantai bawah menuju meja kerjaku. Ya, di sini aku punya meja kerja khusus. Kalau tidak ada kerjaan pola aku mengerjakan tugas lainnya seperti mengatur jadwal Nesta, dan lain sebagainya. Serta mencatat bahan yang masuk dan bahan yang telah dipakai.
Aku ke meja kerja untuk mengambil tasku. Setelah itu akan keluar untuk cari makan. Di sini ada makanan yang di sediakan sebenarnya tapi aku jarang makan bersama mbak-mbaknya dan memilih makan di luar. Biasanya bersama Nesta, namun kali ini Nesta akan makan siang bersama Adnan.
Aku akan melangkahkan kaki keluar butik lewat pintu samping. Namun kehadiran seseorang di depan mejaku mengurungkan niatku untuk melangkah. Seseorang yang aku kenal dan menghantuiku beberapa hari ini.
“Halo Gabby,” sapanya membuatku memutar bola mataku.
“Apa?” tanyaku dengan nada suara galak.
“Ayo makan siang bersama.”
“Sudah berapa kali saya bilang. Saya tidak mau,” jawabku dengan penuh penekanan di setiap katanya. Beberapa hari ini dia selalu datang dan mengajak makan siang bersama. Namun, selalu aku tolak. Kedatangannya membuatku digoda Nesta habis-habisan.
Kalau Nesta tahu kehadirannya sekarang pasti akan menjadi bencana besar. Waduhhh... Gawat nih Nesta belum berangkat lagi. Dan benar saja sekarang di ambang pintu ruang produksi Nesta senyam-senyum menatap kami berdua.
Aku pun mendengus kesal melihatnya. Aku juga melirik ke arah karyawan lainnya yang masih di sana dan menatapku dengan tatapan yang aneh. Semua itu semakin membuatku mendengus kesal.
“Udahlah Gab. Terima aja kenapa sih. Cuma makan siang Gab, bukan di ajak nikah,” goda Nesta dengan terkekeh.
Aku mendengus kesal lagi. “Gak usah ngawur, Ta.”
“Benar tuh kata Nesta. Saya ngajak kamu makan siang, bukan ngajak nikah. Boro-boro ngajak kamu nikah, ngajak kamu makan siang bersama aja susah bener.” Ocehannya semakin membuatku kesal.
“Ada apa ini?” tanya Adnan yang baru saja datang.
Nesta menoleh ke arah Adnan yang sudah berdiri di sampingnya. “Itu loh sahabat kamu ngajak Gabby makan siang. Tapi Gabbynya gak mau.”
“Oalah. Gak mau kenapa Gab? Ayo sekalian aja, bersama kita,” sahut Adnan sambil tersenyum.
“Sekali tidak ya tidak. Udah sana kalau mau kencan. Saya tidak mau mengganggu.”
“Yaudah kita duluan, Gab. Zal selamat berjuang.” Nesta melambaikan tangan sambil tertawa lalu berjalan keluar dari butik lewat depan.
“Gabby, ayolah.”
“Rezal!!!” Aku menggelengkan kepala tegas. “Sekali tidak ya tidak. Lagian kenapa sih kamu ngajaknya saya? Mau cari perhatian Nestakan?”
“Karena saya inginnya sama kamu. Tidak ada alasan lain apalagi alasannya tentang Nesta.”
Aku diam. Tidak tahu harus menjawab apalagi. Rasanya semua kata sudah aku keluarkan untuk Rezal dalam rangka menolak ajakannya. Sebenarnya ada alasan khusus yang tidak ingin aku jelaskan. Belum waktunya semua mengerti.
“Yaudah, ayo.” Akhirnya sebuah senyuman lega terlihat di wajahnya. Sebuah senyuman tanda kesenangan seperti baru saja mendapatkan sebuah hadiah.
•••Palpable••••
Exsalind
Ditulis tgl, 3 Desember 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Palpable [Selesai]
Romance#Love and Hapinness 2 Perempuan keras kepala yang bertahan dengan rasa sakit. Bukannya mengobati luka, justru membuat luka untuk dirinya. Kapan menyerah? Kapan mau mencari obat untuk lukanya? Dan sampai kapan mengabaikan seseorang yang menawarkan di...