BAB 17 - SEMBILU
Angin malam menerpa wajahku, hawa dingin pun menusuk ke tulangku. Air mata sudah mengering sejak sepuluh menit yang lalu. Pandanganku lurus ke depan, tanganku mencengkeram erat pagar balkon di hotel yang sudah aku sewa.
Lamunanku buyar ketika mendengar suara pintu kamar ini diketuk. Dengan langkah gontai aku menuju ke arah pintu dan membuka. Pertama kali yang aku lihat saat pintu terbuka adalah sebuah paper bag berlogo restoran menutupi wajah seseorang. Mendengar helaan nafasku, seseorang itu pun menurunkan paper bag yang dia bawa, membuat wajahnya terlihat sangat jelas. Kemudian diberikannya kepadaku. "Makanlah, nangis butuh fisik yang kuat."
"Saya sudah tidak menangis," jawabku dengan nada suara ketus namun justru membuat terkekeh. Tiba-tiba aku teringat rencana yang sudah aku pikirkan tadi, kemudian aku menatapnya. "Hm... Zal."
"Kenapa?"
"Kamu bisa tolong aku, untuk pulang ke Jogja malam ini juga? Aku... aku tidak sanggup kalau masih di sini sampai besok." Aku menundukkan kepalaku, mataku tiba-tiba memanas mengingat Gentha dan Kirana.
Rezal mengusap puncak kepalaku. "Aku sudah siapkan tiket untuk ke Jogja malam ini. Kita pulang bersama."
"Serius?" Aku langsung mendongakkan kepala dan menatapnya tak percaya. Dia hanya tersenyum, kemudian membalas, "bersiaplah, saya tunggu setengah jam lagi."
•••Palpable•••
Ayah dan Ibu menatapku curiga ketika pagi menjelang, setelah kepulanganku malam hari itu juga padahal seharusnya aku pulang siang ini. Kemarin, Ibu terus bertanya namun aku hanya bisa menjawab, "besok saja, Bu. Gabby lelah." Ayah pun menyetujui aku dan memintaku untuk segera tidur.
Dan pagi ini aku siap diintrogasi. Ibu dan Ayah semakin heran karena hingga pukul tujuh pagi aku tak kunjung keluar kamar dan memilih memeluk guling sambil menatap kosong ke depan. Ayah pertama kali datang ke kamar. Beliau sempat bertanya namun aku hanya menghela nafas. Tak lama kemudian Ibu menyusul masuk ke dalan kamar.
"Kamu ini kenapa to, nduk? Kamu izinnya ke Ayah Ibu mau ke Palembang bertemu Gentha kok kemarin mendadak pulang dengan mata sembab. Diantar sama laki-laki lagi? Duh siapa kemarin namanya? Rijal?"
"Rezal, Bu," sahutku pelan. Kemarin Rezal memaksa mengantarku hingga ke rumah karena melihat keadaanku yang lemas.
Ayah menggenggam tanganku lalu mengusapnya sambil melihat ke arahku. Melihat tatapan Ayah membuat air mata tak kuasa aku tahan, dan segera mungkin Ayah menarikku dalam dekapannya. Ibu pun langsung mengomel, "kamu ini kenapa to, Gab? Jangan nangis terus, bilang saja kenapa? Gentha nyakitin kamu? Atau ka—?"
"Hana, kamu bisa diam sebentar tidak? Biarkan Gabby tenang dulu," ucap Ayah memotong ucapan Ibu. Ibu pun langsung bergumam kesal. Aku melepaskan diri dari dekapan Ayah kemudian melihat Ayah dan Ibu bergantian. "Gabby putus sama, Gentha."
Ibu ingin berucap namun ditahan Ayah, kemudian laki-laki terhebat dalam hidupku tersebut menatapku lembut. "Kenapa, nak? Kalian sudah lama bersama. Apakah sudah kamu pikirkan baik-baik?"
Aku menganggukan dengan tegas. "Ini keputusan terbaik, Yah. Gentha..." Aku menggantungkan ucapanku. Kalau aku bilang Gentha berselingkuh atau bilang Kirana, selingkuhan Gentha telah hamil anak Gentha, Ayah pasti akan murka apalagi Mas Endaru. "Gentha bukan yang terbaik untuk Gabby, Ayah."
Ayah mengusap kepalaku lembut. "Semua yang terjadi pasti ada hal yang baik untuk kamu, nak. Gentha mungkin bukan laki-laki yang cocok untuk anak Ayah yang cantik ini. Yasudah, kamu makan dulu ya! Setelah itu istirahatlah."
"Ini makanlah." Ibu memberiku sepiring nasi beserta lauknya. "Kamu boleh bersedih tapi jangan sampai tidak makan. Jadi perempuan harus kuat fisik dan hati."
Aku tersenyum ke arah Ibu. Meskipun ucapan Ibu terkadang menyakitkan, aku tahu Beliau sangat sayang terhadap anak-anaknya. Hanya cara mengutarakannya saja berbeda dengan Ibu-Ibu yang lain.
•••Palpable•••
Aku tertidur cukup lama, jam dinding di kamarku sudah menunjukan pukul dua belas siang. Pintu kamarku pun terbuka tepat aku sudah membuka mata. Aku menatap kaget melihat siapa yang datang. Karena terkejut aku pun langsung mengubah posisi menjadi duduk. "Mas Endaru? Dari kapan pulang ke Jogja?"
"Baru sampai, langsung ke kamar kamu," jawab kakak laki-lakiku itu dengan santai, kemudian duduk di pinggir ranjang. "Kamu terlihat tidak baik-baik saja, Dek."
"Aku gak papa kok, Mas."
Mas Endaru mendengus. "Jangan bohong sama Mas, kamu masih ingatkan kalau Mas ini bisa membaca pikiran kamu."
Kini giliran aku yang mendengus kesal. "Halah sok-sokan bisa baca pikiran. Jangan halu deh Mas..."
"Loh Mas beneran bisa loh. Sekarang pasti dipikiran kamu, kamu ingin memeluk Mas. Iyakan?" jawab Mas Endaru lalu terkekeh. Aku pun segera memeluk laki-laki terhebat kedua setelah Ayah ini. "Kangen, Mas Endaru."
"Mas juga kangen adek Mas yang manja ini."
Setelah cukup lama melepas rindu, aku melepas pelukanku. Mas Endaru adalah orang pertama yang selalu melindungiku dari orang-orang yang berusaha membuatku terluka. Sosok kakak laki-laki yang diimpikan banyak orang. Dia bukan kakak laki-laki yang mengekang adiknya, yang membatasi adiknya. Namun, tetap memantau dari jauh dan siap melindungi jika ada bahaya. "Mas pasti ditelpon Ibu ya? Ibu bilang apa sampai Mas langsung pulang?"
"Ibu bilang, adek kamu sedih cepetan pulang hibur dia." Aku mendengus kesal pasti Mas Endaru berbohong. Mana mungkin Ibu gaya bicaranya seperti itu. "Bohong ya mas?"
Mas Endaru pun terkekeh kemudian mengacak rambutku yang memang sudah berantakan ini. "Pulanglah, Gabby putus sama Gentha, dia sedih. Kalau sama Ibu nanti ujungnya berantem. Mendingan kamu pulang saja deh." Mas Endaru menirukan ucapan Ibu dengan nada suara yang persis dengan Ibu. Aku pun terkekeh pelan melihat Mas Endaru menirukan gaya bicara Ibu.
"Mas sebenarnya pengen membuat mantan kamu itu masuk ke rumah sakit. Tapi sepertinya sudah ada yang membuatnya babak belur, Mas hanya memberi sedikit pelajaran untuknya tadi."
Aku menatap kakak laki-lakiku ini bingung. "Maksud Mas?"
"Gentha sudah babak belur, tadi Mas beri pelajaran sama dia di ruang tamu. Sekarang dia sama Ayah se—"
"Gentha di sini?" tanyaku memotong ucapan Mas Endaru. Dan Kakakku tersebut langsung menganggukan kepala. Lantas aku mengikat rambutku asal-asalan kemudian langsung turun ke bawah.
Dan benar apa yang dikatakan Mas Endaru, Gentha berada di ruang tamu. Wajahnya babak belur, air matanya terlihat menetes. Dan Ayah terlihat memberikan wejangan terhadapan mantanku tersebut. Aku mematung beberapa meter dari ruang tamu menatap Ayah dan Gentha. Air mataku menetes tanpa bisa di tahan.
Ayah sepertinya sadar dengan kehadiranku, beliau menatap ke belakang. Kemudian bangun dari duduknya dan menuju ke arahku. Setelah sampai di depanku, Ayah menepuk bahuku pelan. "Selesaikan masalah kamu dengan Gentha, nak."
•••Palpable•••
Ditulis, Exsalind
9 Oktober 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Palpable [Selesai]
Romance#Love and Hapinness 2 Perempuan keras kepala yang bertahan dengan rasa sakit. Bukannya mengobati luka, justru membuat luka untuk dirinya. Kapan menyerah? Kapan mau mencari obat untuk lukanya? Dan sampai kapan mengabaikan seseorang yang menawarkan di...