BAB 1 - BAN MELETUS

2.1K 109 2
                                    

BAB 1 - BAN MELETUS

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


BAB 1 - BAN MELETUS

Sore yang mendung, membuatku gelisah. Bagaimana tidak gelisah, melihat awan yang menghitam seakan-akan hujan akan segera turun. Sedangkan montor yangku naiki sekarang bannya kempes. Ingin sekali aku mengumpat melihat keadaan ini.

Langit Yogyakarta semakin menggelap, membuatku semakin gelisah. Baterai ponsel juga membuatku emosi sendiri. Bagaimana bisa aku lupa menchargernya tadi waktu ditempat kerja. Sialan, sialan, sialan. Jalanan ini tumben sepi sekali tidak ada yang lewat. Tidak ada bengkel yang dekat juga. Masa iya aku harus mendorong motor sampai rumahku yang jaraknya masih dua kilo meter dari sini.

Siapa sih yang naruh paku di jalan ini. Kurang kerjaan banget. Gara-gara sebuah paku membuat ban motor matic kesayanganku jadi meletus seperti petasan saja.

Disaat aku meratapi nasib, duduk du pingiran trotoar sambil memandang sendu motor kesayanganku itu tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan motorku.

OMG!!!

Saat seseorang keluar dari mobil tersebut rasanya aku ingin berteriak, "terima kasih Ya Allah."

Dia orang yang ku kenal. Alhamdulillah akhirnya ada harapan aku untuk keluar dari zona sialan ini. Aku pun langsung berdiri saat dia melangkahkan kaki menghampiriku.

"Motor kamu kenapa?"

"Itu, anu..." Duh kenapa jadi gugup sih. "bannya meletus tadi. Terkena paku."

"Oalah. Ayo saya antar pulang. Rumah kamu kan searah dengan rumah saya."

Mantab... Ada tebengan untuk pulang. Jadi aku tidak perlu basah kuyup di jalanan ini karena gerimis kini mulai turun di bumi. Eh, tapi, "montor saya gimana?"

"Titipkan dulu di depan toko itu." Dia menunjuk sebuah toko yang tak jauh dari sini.

"Emang aman? Ini montor kesayangan saya loh awas kalau sampai terjadi apa-apa."

Dia terkekeh sambil melihat motor berwarna biru kesayanganku itu. "Aman-aman pemilik tokonya saya kenal. Kamu tunggu sini saya titipkan dulu, keburu hujan deras nanti."

Aku protes lagi namun sama sekali tak dihiraukan olehnya. Dia justru dengan santainya mendorong motorku hingga di sebuah toko yang jaraknya beberapa meter dari sini.
Aku pun hanya memandanginya saja hingga kini dia sudah kembali di hadapanku.

"Ayo masuk."

Aku pun menganggukan kepala lalu mengikutinya masuk ke dalam mobil. Di saat sudah berada di dalam mobik kecanggungan mulai terasa. Kita sama-sama diam tak ada yang membuka suara.

Aku yang benci dengan keadaan seperti ini pun akhirnya membuka suara. "Tadi dari mana? Jangan bilang dari butik."

Dia tersenyum hambar. "Iya saya dari sana. Kenapa?"

Benarkan dugaanku. Laki-laki ini pasti belum bisa move on dari bosku itu. "Nyari Nesta ya?"

"Cuma memastikan dia baik-baik saja. Btw, tumben pulang lebih awal. Nesta juga, dia kemana?"

"Kalau saya bilang jujur jangan sakit hati ya."

Dia hanya terkekeh pelan. "Sakit hati kenapa? Emang saya punya perasaan apa sama Nesta."

Aku tersenyum lalu melihat ke arahnya. "Gak usah ditutupin. Udah kelihatan dengan jelas kali, Zal." Lalu dia terlihat tersenyum masam. "Nesta lagi jalan sama Adnan tadi. Itu yang saya tahu."

"Sudah saya duga. Mereka sudah lamaran ya?"

"Kepo. Tanya sendiri sana sama Nesta kok tanya-tanya saya." Ah... Entah mengapa saya kesal sendiri. Saya bukan tipe orang yang suka membicarakan orang seperti ini.

"Mampir makan dulu yuk, Gab. Saya lapar, lagian hujannya udah deras banget nih. Penglihatan saya sudah tidak jelas tertutup derasnya hujan."

Rezal mengalihkan pembicaraannya. Oh Gabriela Levana apa yang tadi kamu bilang. Apakah ada kesalahan pada ucapanku tadi, astaga. Aku jadi tidak enak dengan Rezal.

Laki-laki tersebut tidak menunggu jawabanku langsung membelokan mobilnya ke arah kiri. Tepatnya di sebuah restoran miliknya. Saat Rezal turun dari mobil. Aku pun ikut turun dari mobil miliknya. Dan sekarang aku mengekorinya hingga dia membawaku ke sebuah dapur di restoran tersebut.

"Chef Rezal. Tumben masuk dapur lagi setelah satu bulan gak pernah ke sini," sapa seorang perempuan berseragam chef di sana.

"Lagi pengen masak, Hen." Rezal kemudian mengambil apron dan menuju ke salah satu tempat memasak di sana.

Aku hanya diam tidak tahu harus ngapain. Rezal sialan, dia seolah mengabaikan keberadaanku saat ini. Tahu ini mending tadi aku kehujanan dari pada diabaikan seperti ini.

"Zal." Aku pun memanggilnya.

"Oh iya Gab, saya lupa." Dengan santainya dia lupa keberadaanku disini. Ingin sekali aku mengumpat di depannya. Oh jangan Gab, sudah berapa kali hari ini kamu mengumpat. Jangan lagi, oke.

Aku pun mendengus kesal lalu menghampirinya. "Saya sebesar ini gak kelihatan, Zal. Astaga!!! Pikiran kamu ke Nesta terus sih."

"Lah terus, saya harusnya mikirin kamu gitu?"

Duar...

Tidak menyangka ucapanku akan di respon seperti itu. Ya benar juga sih jawabannya. Dasar aku, kalau ngomong gak pernah dipikirin dulu. "Eh jangan dong."

Dia hanya terkekeh dan sibuk dengan peralatan memasaknya. "Kamu mau bantu saya atau tunggu di depan?"

"Bantu aja deh daripada gabut nunggu kamu masak."

Aku pun membantunya membuat masakan untuk kami berdua. Baru kali ini aku masak sama laki-laki. Rasanya seperti ini toh. Gimana gitu. Gak bisa dijelaskan.

Setelah setengah jam lebih berkutat dengan berbagai peralatan masak akhirnya kita berhasil duduk di salah satu meja makan. Karena di lantai satu penuh, Rezal membawaku ke lantai dua. Dan tak tanggung-tanggung, dia membawaku ke dalam ruang VVIP.

Sekarang di depan mataku sudah ada berbagai macam olahan makanan tradisional yang di rombak seperti makanan modern ala restoran. Aku heran dengannya, untuk apa dia memasak sebanyak ini. Dia kira aku penampung makanan yang banyak. Meskipun aku agak gemukan, bukan berarti aku bisa makan sebanyak ini.

Eits... jangan kalian kira, aku bertubuh ideal ya. Aku agak gemukan dikit, iya dikit aja kok. Gak gemuk-gemuk banget. Cuma pipiku aja yang gemuknya kayak bapau.

"Makanan tuh dimakan bukan dilihatin doang."

"Makanan sebanyak ini kita yang makan?" tanyaku.

Dia menaikan alisnya. "Ada masalah?"

"Perut saya mana bisa menampung, Rezal." Aku mendengus kesal.

Rezal justru terkekeh. "Biar tambah gemukan. Pipi kamu lucu kalau tambah gemuk, kayak bapau."

Tuh kan... Pasti semua orang menjerumuskan ke arah pipiku yang seperti bapau. "Jangan dong. Ini aja sudah naik 2 KG. Mampus kalau naik lagi."

"Perempuan gemukan itu gak papa. Saya gak suka perempuan yang terlalu kurusan. Bagus gemuk, lucu aja di lihat."

Aku melongo. Jangan sampai aku salah mengartikan ucapannya. "Maksud kamu, kamu suka saya gemukan gitu?"

•••PALPABLE•••


Apa kabar kalian?
Semoga dalam keadaan baik-baik saja meskipun dunia sedang tak baik-baik saja.

Setelah sekian lama pergi, aku akhirnya kembali. Mungkin ini yang dinamakan jodoh. Sejauh apapun pergi, sekuat apapun keinginan untuk pergi pasti dipertemukan kembali.

See you guys...

Exsalind

Ditulis tgl, 19 November 2019

Palpable [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang