BAB 25 - BERBAGI BAHAGIA
Ketika aku membuka mata, langit sudah berubah menjadi jingga. Terlihat di balik sebuah jendela kaca besar, mentari membenamkan dirinya. Aku mengusap wajahku dengan kedua telapak tanganku. Kemudian merubah posisi berbaring menjadi duduk. Menatap sekeliling, dan aku tahu ini kamar milik siapa.
Memori otakku berputar, mengingat tentang hari ini. Seketika aku langsung bangkit dari dudukku dan berjalan ke luar kamar. Menuruni tangga dengan tergesa, kemudian menuju tempat yang ada orangnya. Aku melihat ke arah dapur, di sana ada orang-orang yang aku kenal.
"Gab, sudah bangun?" tanya seorang laki-laki yang duduk di pantry sambil membaca sesuatu di ponsel dengan kaca mata yang bertengger di hidungnya.
"Ayah... Gabby tadi?"
"Kamu lapar, nduk? Masakan Ibu sudah jadi semua nih, Ibu masak banyak hari ini." Ibu menghampiriku dengan wajah sumringah. Aku semakin kebingungan, tidak biasanya Ibu terlihat seperti ini. Biasanya menampilkan wajah jutek khas Ibu yang selalu membuat anak-anaknya nurut.
Aku mengangkat kedua alisku secara bersamaan. "Ibu dapat arisan ya?" Kemudian Ibu menggelengkan kepala dengan raut bahagia masih terpancar di sana. Aku pun menghampiri Ayah, dan berbisik, "Ibu kenapa, Yah?"
Ayah sontak tertawa mendengar bisikan kekhawatiranku. "Ibu kamu lagi gembira, bukan karena dapat arisan tapi dapat menantu."
"Menantu?" Aku memandang Ibu dan Ayah secara bergantian, mereka hanya tersenyum melihat kebingunganku. Jangan-jangan si Rezal sudah bilang kepada Ibu dan Ayah. "Rezal bilang, Yah?"
Laki-laki yang sangat ku sayangi tersebut lantas menganggukan kepalanya. "Setelah Rezal menggendong kamu ke kamar, dia bicara sama Ayah. Meminta izin ingin meminang putri Ayah."
"Jadi tadi Gabby digendong Rezal ke kamar?" tanyaku panik.
Ibu pun menyahut, "tenang saja, Ayah tadi mengawasi sampai ke kamar. Kamu kan tahu Ayah punya sakit pinggang, gak mungkin bisa gendong kamu segede gaban gitu."
Aku pun langsung lari menuju kamarku. Kemudian mencari nama laki-laki yang tadi sudah aku peringatkan jangan bilang Ibu, eh malah bilang ke Ayah. Setelah menemukan namanya di barisan chat nomor pertama, aku segera membukanya. Mengabaikan chat terakhirnya dan langsung menekan ikon telepon.
"Halo, kamu kok ngomong Ayah sama Ibu sih, kan aku sudah bilang jangan bicara dulu sama mereka tentang tadi. Gimana sih...," cerocosku ketika panggilan teleponku sudah dijawab.
"Hm... Maaf mbak, Mas Rezal lagi keluar bentar, ponselnya gak dibawa."
Aku langsung menepuk jidatku sendiri ketika bukan suara Rezal yang aku dengar, melainkan sebuah suara laki-laki yang sepertinya baru berusia belasan tahun. "Oh iya sudah... Maaf, dek. Nanti tolong sampaikan ke Rezal, ya!
"Itu Mas Rezal sudah pulang, Mbak." Kemudian aku mendengar suara grusak-grusuk, dan terdengar suara yang dipelan-pelankan namun aku masih bisa menangkap suara tersebut. "Mas ini ada telepon dari mbak-mbak bawel." Dan aku pun langsung mendengus kesal.
"Assalamu'alaikum, sayang. Ada apa? Maaf tadi sepupu aku."
Aku semakin mendengus kesal dengan panggilannya. "Wa'alaikum salam. Gak usah manggil sayang-sayangan."
Rezal terkekeh. "Kamu kenapa? Galak banget."
"REZAL..."
"Iya, ada apa hm?"
"Ngapain bilang ke Ayah sama Ibu? Aku bukannya sudah memperingati kamu jangan bicara dulu sama mereka?" Aku menghempaskan diri ke kasurku. Tangan sebelah kanan memegang ponsel yang tertempel di telinga, sedangkan tangan yang kiri memeluk guling.
"Mereka berhak tahu, Gab. Aku perlu meminta izin kepada Ayah kamu, izin itu penting. Oh iya nanti keluargaku juga akan ke sana, tapi mungkin dua minggu lagi. Papa sama Mama lagi liburan ke Lombok, baru berangkat tadi pagi."
Aku terdiam, membayangkan keluarga Rezal datang ke sini untuk melamarku secara resmi di depan keluarga. Baru membayangkan saja jantung berdegup tak beraturan. "Gab, halo... Kamu masih di sana?"
"Eh iya, yaudah deh." Tiba-tiba aku teringat tadi, aku sudah terbangun di kasur bukan di mobil. "Tadi kamu yang memindahkan aku ke kamar?"
Terdengar suara tawa Rezal yang pelan. "Iya, kamu susah banget dibanguninnya. Tapi tadi diawasin Ayah sampai kamar kok, tenang saja."
"Yaudah, aku mau mandi. Tadi baru bangun, eh lihat ibu sumringah." Tanpa ku duga aku bercerita mengenai yang aku alami.
"Membuat Ibu bahagia itu kewajiban, Gab. Sudah sana mandi, bau kecutnya sampai ke sini nih," jawab Rezal sambil tertawa di akhir kalimat. Aku pun mendengus kesal.
•••Palpable•••
Semua berjalan dengan baik-baik saja. Ibu sangat terlihat bahagia jika Rezal datang ke rumah, entah sekadar mampir memang bertamu. Selalu semangat membuatkan masakan untuk menjamu calon menantu. Hubungan kita sudah genap seminggu, dan Nesta sampai sekarang belum mengetahui. Bisa-bisa dia langsung heboh. Beberapa hari ini lihat aku yang terlihat lebih bahagia saja curiga aku punya gebetan.
"Selamat siang menjelang sore, Pak Adnan," sapaku ketika melihat suami bosku tersebut duduk di sofa, di samping Nesta yang memilah-milah rancangannya.
"Selamat siang menjelang sore juga, Gab," jawab Pak Adnan sambil melihatku, kemudian raut wajahnya seperti teringat sesuatu. Lantas dia melihat ke arah Nesta. "Sayang aku boleh tanya ke asisten kamu."
Nesta meletakkan buku rancangannya di atas meja. "Boleh dong, Mas. Kamu ini minta izin segala."
"Kamu kan sekarang cemburuan banget," goda Adnan kepasa Nesta. Setelah itu melihat ke arahku yang sedang membuat pola. "Saya takutnya, teman saya itu halunya makin bertambah. Jadi saya mau tanya langsung ke kamu, Gab. Supaya jelas gitu... kamu serius mau nikah sama Rezal?"
Rasanya aku ingin tertawa sekaligus terkejut. Rezal ngomongnya sama Adnan bagaimana sih? Kok sampai dikhawatirkan lagi halu. "Rezal ngomong bagaimana, Pak?"
"Katanya mau nikah sama kamu sambil cengar-cengir seperti remaja yang jatuh cinta pertama kali."
Nesta yang tadi memasang wajah terkejut pun akhirnya tertawa, dan aku hanya meringis. "Kok kamu gak bilang saya sih, Gab? Akhirnya sama Rezal juga? Wah selamat ya... Saya turut bahagia, Gab."
"Hehe..." Aku tidak tahu harus membalas bagaimana, rasanya ingin punya pintu doraemon dan langsung menuju di depan Rezal sekarang. Dasar, sudah aku bilang biar aku saja yang bicara kepada Nesta. "Iya, Ta."
"Loh ada Adnan?" Panjang umur, orang yang dibicarakan muncul di ujung tangga. Aku benar-benar ingin pergi dari sini sekarang juga.
"Nah panjang umur, baru diomingin kamu Zal," sahut Nesta membuatku mengusap wajahku dengan kedua telapak tangan.
Rezal berjalan mendekat. "Wah tadi saya jadi bahan omongan nih?"
"Sudah berhasil pendekatannya, Zal?" goda Nesta sambil melirikku yang sudah tidak tahu lagi mau bicara apa.
Rezal tersenyum puas membuatku memelotkan mata ke arahnya. Dia pun berjalan mendekatiku, kemudian merangkul pundakku. "Alhamdulillah. Boleh pinjam Gabriela, Ta? Saya mau ajak menjemput Mama dan Papa di bandara."
"Silakan bro, alhamdulillah gak halu. Dah sana, saya mau berduaan sama pacar halal." Ucapan Adnan membuat Rezal mendengus, kemudian Rezal membalas. "Ini juga otw halal, tenang bentar lagi sebar undangan. Gak usah pamer."
Melihat tingkah dua sahabat tersebut membuatku dan Nesta tertawa. Karena setelah itu mereka saling beradu argumen yang sepele.
•••Palpable•••
Ditulis, Exsalind
17.11.2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Palpable [Selesai]
Romance#Love and Hapinness 2 Perempuan keras kepala yang bertahan dengan rasa sakit. Bukannya mengobati luka, justru membuat luka untuk dirinya. Kapan menyerah? Kapan mau mencari obat untuk lukanya? Dan sampai kapan mengabaikan seseorang yang menawarkan di...