BAB 22 - OBAT RASA SAKIT

602 48 0
                                    

BAB 22 - OBAT RASA SAKIT

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

BAB 22 - OBAT RASA SAKIT

Aku masih melihat keterkejutan Rezal perihal pertanyaanku tentang Shena. Pertanyaan Rezal soal dari mana aku mendapatkan informasi tentang Shena sama sekali belum aku jawab. Berdekatan dengan Rezal selama ini membuatku teringat dengan cerita Mamanya Rezal waktu itu. Aku takut, semua akan berakhir luka seperti yang lama. Maka dari itu, aku mempertanyakan sebelum terlambat.

"Gab, dari mana kamu tahu soal Shena?" Rezal mengulangi kembali pertanyaan.

"Kamu jawab pertanyaanku dulu baru saya memberi tahu kamu."

Rezal menatapku dengan tatapan serius. "Oke akan saya jelaskan, tapi saya mohon jangan dipotong penjelasannya saya." Aku pun menganggukan kepala, kemudian dia melanjutkan penjelasannya, "Shena adalah kekasih saya empat tahun yang lalu. Dia adalah perempuan yang kuat, bersahabat, serta suka dengan dunia yang telah dia dapatkan. Shena punya cita-cita ingin menjadi fashion designer yang terkenal, dan mengharumkan Negara Indonesia. Saya sangat mencintainya, hingga suatu saat saya akan melamarnya."

Kalimat terakhir yang Rezal ucapkan membuat perasaan aneh dalam diriku. Rezal berhenti sejenak, raut wajahnya seketika berubah menjadi muram. "Namun, takdir berkata lain. Shena bukan jodoh yang dikirim Tuhan untuk saya, Gab. Shena mengalami kecelakaan sehari sebelum saya akan melamarnya."

"Saya kehilangan Shena. Saya terpukul, namun saya mencoba bangkit. Dan menunjukan kepadanya, saya bahagia. Karena dia pernah berkata, 'kalau kamu sedih aku juga sedih'. Sebuah kalimat yang menjadikan saya kuat saat itu."

Laki-laki itu menyuapkan Rawon ke dalam mulutnya. Kemudian menampilkan sebuah senyum ketika makanan dalam mulutnya sudah tertelan. "Setelah bertahun-tahun saya kehilangannya, suatu saat saya bertemu dengan perempuan yang mirip dengannya. Bukan hanya kedua bola matanya, namun juga sifatnya ada kemiripan. Saya justru menghindar, dengan cara mendekati Nesta. Alasannya, karena saya tidak ingin mendekati orang tersebut karena dia mirip Shena."

Aku menatapnya curiga. "Kamu mendekati Nesta cuma main-main?"

"Jangan dipotong dulu, Gabriela." Aku pun mengangguk pelan. Kemudian dia melanjutkan lagi, "saya ingin jatuh cinta kepada orang lain, bukan orang yang mirip dengan mendiang orang yang saya cinta. Namun takdir berkata lain lagi, ketika sudah mulai tertarik dengan Nesta, dia justru akan menikah dengan sahabat saya."

"Pada akhirnya, seseorang yang mirip dengan Shena, membuat saya jatuh cinta. Ternyata dia berbeda, perempuan itu lebih mencuri perhatian saya. Dia perempuan yang sangat kuat, namun juga butuh perlindungan. Dia mandiri dan punya tekad yang kuat." Rezal tersenyum ke arahku. Kemudian melontarkan pertanyaan sambil diiringi kekehan pelan. "Sudah itu yang bisa saya jelaskan. Ada yang ditanyakan Gabriela, mengenai penjelasan saya?"

Aku mendengus kesal. "Kamu kira lagi presentasi."

"Ada yang ditanya tidak?" tanya fia masih dengan tertawa.

"Kenapa kamu bisa jatuh cinta dengan perempuan itu?"

"Kenapa ya? Mungkin kasihan kali ya," candanya membuat aku menatapnya garang. "Coba deh saya tanya kamu, kamu kenapa mencintai Gentha?"

Aku mencintai Gentha kala itu karena rasa nyaman yang tumbuh saat bersamanya kemudian lama-kelamaan berubah level jadi cinta. "Rasa nyaman, mungkin."

"Cinta tidak butuh alasan, Gab."

Aku ingin protes, namun kedahuluan dia kembali berbicara, "saya mencintai kamu karena kamu. Bukan karena Shena, atau alasan apapun itu. Semenjak melihat kamu menjadi muram karena Gentha, saya semakin yakin kalau saya benar-benar mencintai kamu. Saya tidak ingin kamu terluka, saya ingin kamu bahagia."

"Zal..." Aku menatap kaget, Rezal pernah bilang lebih dari suka kepadaku saat di Malioboro waktu itu. Tapi kali ini secara terang-terangan dan gamblang dia berkata mencintaiku.

"Bukannya saya pernah bilang ya? Kok kamu kaget?" tanya Rezal sambil memandangku heran.

Aku mendengus kesal. "Yang waktu di Malioboro? Kamu bilangnya tertarik lebih dari suka, bukan cinta."

"Yang lebih dari suka memangnya apa, hm?"

"Gak tau lah," jawabku sambil menyembunyikan pipiku yang memanas. Tatapan lembut Rezal membuat perutku terasa seperti ada kupu-kupu yang berterbangan.

"Saya tahu, kamu masih proses penyembuhan." Rezal mengenggam tanganku yang berada di atas meja mini ini. "Pasti Allah sudah menyiapkan jodoh untuk kamu. Saya tidak memaksa kamu, meskipun saya sudah bilang cinta. Saya akan menunggu kamu membuka hati kembali. Jika Allah menakdirkan kita berdua bersama, saya sangat bersyukur. Namun jika tidak, saya mungkin lebih berusaha lagi."

Aku memandangnya, lebih tepatnya menatap kedua matanya. Mencari kebohongan dari sana, namun yang ku temukan justru keseriusan. Meskipun di kalimat terakhir dia sempat terkekeh pelan. Tangannya yang menggenggam tanganku tadi kini mengusap tanganku pelan. "Gab, beri saya kesempatan untuk selalu berada di sampingmu!"

"Kamu sudah di sampingku dari dulu, Zal. Meskipun aku selalu menghindar, kamu selalu menjadi orang yang pertama ada ketika aku bersedih. Kamu selalu ada meskipun tanpa aku pinta. Aku sudah membiarkan kamu masuk ke dalam kehidupanku meskipun mulutku beberapa bulan ini menolak." Aku menghela nafas sebentar. "Tapi aku masih takut, rasa sakit yang Gentha berikan bukan cuma luka kecil."

"Maaf selama ini aku selalu mengabaikan obat yang dikirim Tuhan untuk menyelamatkan aku dari rasa sakit. Aku bodoh, Zal. Aku bertahan dengan rasa sakit, padahal kamu ada di depan mataku. Kamu yang selalu menjadi orang penghapus air mataku. Terima kasih, tapi... maaf..."

•••Palpable•••

Hua... Sakit seminggu ini benar-benar menyiksa. Pendek dulu ya BAB ini, BAB selanjutnya panjang kok🤭

Palpable [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang