BAB 16 - AWAN KELABU
Setelah menerima telepon dari Kirana kemarin, aku langsung menuju ke Palembang. Ingin langsung saja pengambil penerbangan pertama agar segera sampai ke Palembang, namun aku mendapatkan penerbangan sore. Nesta menatapku bingung yang tiba-tiba meminta izin ke Palembang, apalagi dengan air mata yang terlihat jelas menetes dari kedua mataku. Pemilik Starlyn Collection itu menawarkan diri untuk menemaniku ke Bumi Brawijaya. Namun aku menolak, karena Nesta akan wawancara dengan media televisi. Tidak mungkin aku membiarkan Nesta harus menyia-nyiakan kesempatan emasnya tersebut.
Dan sekarang di sinilah aku, di depan sebuah rumah minimalis bercat abu-abu. Dengan perasaan campur aduk, aku datang ke sini. Bahkan tadi aku mampir ke hotel hanya untuk menaruh barang-barang, tanpa istirahat langsung pergi ke rumah bercat abu-abu ini.
Jantungku berdegub dengan kencang, tanganku pun bergemetar. Mataku sembab karena sejak kemarin menangis tiada henti. Tapi, aku harus menyelesaikan semua ini. Dengan perasaan tak karuan aku mengetuk pintu berwarna putih di depanku. Tepat di ketukan ketiga, pintu terbuka. "Gabriela."
Seorang perempuan yang aku ketahui bernama Kirana mempersilakan aku masuk. Aku pun masuk dengan langkah pelan. Dengan masih posisi berdiri aku menatapnya tajam. "Kamu bukannya perempuan, Kirana? Bagaimana jika apa yang aku rasakan saat ini kamu rasakan? Atau..." Aku menatap perut datarnya. "Anak perempuan kamu yang merasakan, bagaimana?"
"Gab... Duduklah dulu."
Aku menggelengkan kepala. "Tidak perlu, saya hanya sebentar." Aku menatap ke sekeliling. "Di mana Gentha?"
"Gentha, masih ada kerjaan." Perempuan di depanku ini terlihat ketakutan.
Aku tak sanggup menahan rasa sakit. Apalagi percakapanku dengan Kirana kemarin masih saja terngiang-ngiang dalam pikiranku. Aku tersenyum miris melihat Kirana. "Saya tidak tahu harus berkata apa lagi sama kamu. Ingin mencaci-maki kamu pun rasanya percuma. Mau marah sama kamu pun rasanya membuang energi saja."
"Kirana... ada apa kamu menyuruhku pulang?" Pintu terbuka bersamaan dengan sebuah suara yang sangat tidak asing. Aku pun berbalik, menatap siapa yang datang. Betapa kagetnya dia melihat keberadaanku di sini. "Gabby, sejak kapan kamu di sini?"
Plak.
Sebuah tamparan keras yang ku layangkan mendarat di pipinya. Air mataku pun memberontkan keluar melihat wajah Gentha. "Kamu..." Aku tidak sekuat Nesta yang bisa menghadapi Dekka bersama sahabatnya. Air mata kini telah membanjiri kedua pipiku. "Kamu keterlaluan, Gen."
"Gab... Soal hubunganku denganmu aku tutupi, sebenarnya aku akan menunjukkan ke semua orang. Tapi saat itu aku bertemu Kirana yang menghiburku di sini. Dia tidak tahu aku mempunyai kekasih, aku bodoh karena pura-pura menjadi laki-laki single." Gentha ingin meraih tanganku, namun segera aku tepis. "Aku... Aku akhirnya punya hubungan dengan Kirana. Aku minta maaf, karena mempublikasikan Kirana bukan kamu."
Aku tersenyum kecut. "Kedatanganku bukan karena itu." Gentha menatapku kaget. Aku bisa melihat ketakutan di raut wajahnya. "Kamu telah menghancurkan impian kamu sendiri, Gen."
"Katanya kamu akan membangun istana kecil bersamaku. Namun, kenyataan yang aku terima sekarang... sepertinya impian itu akan hancur karena ulahmu sendiri." Aku menghapus air mataku, meskipun percuma karena kembali menetes. "Tunjukkan kamu laki-laki bertanggung jawab. Lupakan impianmu bersamaku. Bangunlah istana kecil bersama Kirana dan anak kalian."
Setelah itu aku berlari keluar rumah bercat abu-abu tersebut. Meninggalkan Gentha yang masih mematung setelah mendengar kalimat terakhirku. Namun, ketika masih berada di halaman rumah Gentha mengejarku. Aku segera menepis tangannya yang berusaha menggapai tanganku. "Apalagi, Gen?"
Aku menatapnya yang kini berdiri satu meter di depanku. Awan yang mengabu sejak aku datang ke sini pun menjadi tetesan air hujan. Membasahi tubuhku dan Gentha yang masih saling memandang dalam keheningan. Suara guntur menggelegar seolah mewakilkan rasa marahku kepada laki-laki yang pernah menawarkan bahagia itu.
Rintik-rintik air yang jatuh dari langit semakin deras. Di saat semua orang berlarian melindungi dirinya agar tidak basah, aku justru tetap berdiri di sana. Membiarkan setiap tetes air hujan membasahi tubuhku. Bukan hanya tetesan hujan dari langit yang membasahiku, tetapi juga tetesan hujan yang datang dari kedua mataku ikut membasahi kedua pipiku.
Aku masih menatap seseorang di depanku dengan raut muka kecewa. Dengan suara lirih, aku berkata, "puas kamu, puas sekarang membuat semua semakin hancur."
"Maaf."
"Aku sangat membencimu." Aku menatap laki-laki yang berjarak satu meter di depanku tersebut dengan tatapan kebencian, lalu aku berlari meninggalkannya yang terus memanggil namaku.
Aku terus berlari menerpa hujan yang semakin deras. Tidak memperdulikan tubuhku kini semakin menggigil. Hingga rasanya kakiku semakin lemas. Aku pun terjatuh dengan posisi terduduk.
Aku semakin menangis, mengingat semua yang terjadi. Aku membencinya, laki-laki yang aku cintai. Aku membencinya, aku benci mencintai laki-laki itu.
Air mata terus turun sederas hujan di malam ini. Udara semakin dingin menusuk tulang. Jalanan semakin sepi, dan langit semakin menggelap. Aku memukul-mukul aspal, melampiaskan rasa benciku.
Tiba-tiba, aku tidak merasakan lagi tetesan hujan mengenai tubuhku. Padahal keadaan masih hujan, bahkan masih sangat deras. Kepalaku pun lantas mendongak ke atas. Di sana terdapat sebuah payung berwarna abu-abu dan seseorang yang menatapku dengan raut wajah khawatir.
Aku pun langsung berdiri setelah mengetahui siapa yang kini melindungiku dari hujan ini. Tanpa berfikir panjang aku memeluknya erat, menangis sejadi-jadinya. Dan dia hanya mengusap punggungku serta membisikan sebuah mantra yang selalu dia ucapkan saat aku bersedih. "Menangislah, jangan ditahan."
Mengapa dia selalu ada di saat aku membutuhkan seseorang untuk menenangkanku? Mengapa dia selalu datang di waktu yang tepat? Mengapa harus dia?
•••Palpable•••
Rasanya campur aduk nulis BAB ini😭😭😭
Ditulis, Exsalind
5 Oktober 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Palpable [Selesai]
Romance#Love and Hapinness 2 Perempuan keras kepala yang bertahan dengan rasa sakit. Bukannya mengobati luka, justru membuat luka untuk dirinya. Kapan menyerah? Kapan mau mencari obat untuk lukanya? Dan sampai kapan mengabaikan seseorang yang menawarkan di...