BAB 27 - KERAGUAN

733 50 2
                                    

BAB 27 - KERAGUAN

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

BAB 27 - KERAGUAN

Orang-orang sudah meninggalkan tempat pemakaman umum ini. Sedangkan aku masih berdiri menatap gundukan tanah yang masih basah. Banyak taburan bunga di atasnya, dan di bagian ujung terdapat nisan bertuliskan nama Gentha Giyanta. Ibu Gentha sejak tadi masih memeluk nisan bertuliskan nama anaknya tersebut. Mengucapkan kata-kata yang menyayat. Siapa pun yang mendengar ucapannya, hatinya pasti akan ikut merasakan duka.

Aku terpaku, ingin melangkah mendekat ke arah gundukan tanah tersebut rasanya berat. Mataku yang bengkak akibat menangis semalam menatapnya kosong, masih tidak menyangka siapa yang berada di dalam sana. Ternyata perpisahanku dengannya bukan cuma berakhirnya hubungan, tetapi juga berakhirnya pertemuan.

Langit siang ini mengabu, seolah mewakilkan perasaanku. Mataku yang sudah bengkak ini pun menurunkan hujannya kembali. Entah sudah berapa kali rintik yang keluar, yang pasti sejak mendengar berita kematian aku tak sanggup menahannya keluar. Apalagi ketika melihatnya kini sudah berada di tempat peristirahatan. Rasanya ingin memutar kembali waktu agar aku bisa mengucap salam perpisahan.

Kita memang sudah berpisah. Namun, kita belum baik-baik saja bahkan disaat dia sudah menikah. Semenjak dirinya menikah, semua yang berhubungan dengannya aku buang agar tak mengingatnya. Namun, Gentha selalu datang kembali dan mengatakan dia tak bahagia dengan pernikahannya. Namun aku selalu bilang, "anakmu adalah tanggung jawabmu. Kamu sudah beristri bahkan kamu calon bapak. Berbahagialah dengan keluargamu, Gen."

Pada akhirnya dia luluh dan tak pernah menghubungiku lagi. Aku kira setelah dia menikah dia tidak akan mengusiku, namun ternyata kita sama-sama belum baik-baik saja. Sekarang memang aku sudah baik-baik saja, mengikhlaskan pernikahannya. Apalagi statusku kini yang berubah menjadi calon istri orang. Tetapi, kesedihan ini tak mampu ku cegah.

Gentha kecelakan bersama Kirana di saat perjalanan menuju Magelang. Gentha meninggal saat perjalanan ke rumah sakit, sedangkan Kirana selamat. Namun, Kirana masih terbaring lemah dengan berbagai alat bantu di tubuhnya. Kabar yang aku dengar pagi tadi, perempuan tersebut mengalami keguguran dan sekarang koma.

"Gab," panggil Rezal yang sejak tadi ikut berdiri di sebelahku. Aku pun mendongak ke arahnya. Dan hanya menjawab, "hm..."

"Mau mendekat?"

Anggukan kecil kepalaku membuat Rezal membawaku mendekat ke arah Ibu Gentha. Aku pun kemudian ikut jongkok di samping beliau. Menyadari  kehadiranku beliau melepaskan pelukannya, dan berganti memelukku. "Gentha pergi, nduk."

Air mata tak mampu ku cegah, semakin deras membasahi kedua pipiku. Ku usap lembut punggung wanita yang sudah seperti ibuku ini. "Gentha sudah tenang, Ibu."

"Ibu merasa gagal, nduk. Gentha selalu harus menurut keinginan kami,  bahkan kami merengut cita-citanya. Impiannya harus di pendam demi keinginan Ayahnya, Gab."

"Gentha ikhlas menjalaninya, Bu." Aku menjawab apa adanya. Dulu, Gentha memang sempat marah, kesal, dan murka atas keputusan Ayahnya. Namun perlahan, dia menerima karena rasa sayang kepada orang tuanya. Meskipun harus mengubur mimpinya dalam-dalam demi meneruskan bisnis Sang Ayah. "Dia pernah cerita sama, Gabby. Gentha sayang sama Ayah dan Ibu, sangat sayang."

Palpable [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang