Sebenarnya BAB ini sudah aku tulis tanggal 6 November. Tapi masih perlu dibenahi. Dan ternyata baru bisa update hari ini. Baru selesai UTS, tugas kuliah lagi berdatangan, hehe. Dan 3 hari aku sakit, padahal tugas banyak, huhu.
Semoga cerita ini segera aku selesaikan, karena rencananya selesai akhir bulan Oktober. Ternyata tidak sesuai rencana.
Oke gak usah banyak omong. Happy Reading.
Terima kasih buat yang sudah menyempatkan baca cerita gak jelasku ini🤗
BAB 21 - SEBUAH TANYASemangat, kata yang selalu aku ucap setiap saat untuk diri aku sendiri. Melewati semua yang telah terjadi tidaklah mudah. Selama satu bulan semenjak ditinggal kekasih tercinta yang menemani selama empat tahun, aku berusaha untuk baik-baik saja. Aku ingin mereka melihat aku bahagia, meski sampai saat ini aku masih terselimuti duka.
Melupakan tak semudah saat jatuh cinta saat pertama kali dia mengutarakan rasa. Melupakan butuh waktu, dan pasti tidak sepenuhnya lupa. Setelah empat tahun menjalin cinta dengannya, rasanya tidak mudah melupakan dalam waktu satu hingga dua minggu. Bahkan sekarang sudah satu bulan lebih aku belum bisa melupakan semuanya.
Rezal selalu menawari diri sebagai obat penyembuh, namun aku hanya menganggapnya sebagai candaan belaka. Karena, laki-laki itu selalu terkekeh ketika mengatakan gombal-gombalannya. Meskipun setelah aku putus dengan Gentha, dia makin tak ada hentinya mendekatiku. Selalu modus datang ke butik, yang ujung-ujungan pasti mengajak makan siang.
Akantetapi, aku tidak menghindari Rezal lagi. Selama ini dia yang selalu berusaha menghibur patah hatiku. Bahkan Ibu, Ayah, Mas Endaru, dan Mbak Andrea sudah mengenalnya. Setelah melewati intrograsi selama seharian penuh dengan Ayah dan Mas Endaru, dia diperbolehkan berteman denganku. Kedua laki-laki hebat dalam hidupku tersebut tidak ingin aku kembali terluka.
Mas Endaru dan Mbak Andrea memutuskan tinggal di Yogyakarta kembali. Karena Ibu meminta dengan paksa agar Mbak Andrea dalam pengawasan Ibu. Awalnya Mbak Andrea terlihat enggan, namun akhirnya menerima. Aku tahu, Mbak Andrea pasti takut tertekan karena mertuanya yang selalu mengatur ini itu.
"Gab, dicari Rezal tuh." Ucapan Nesta membuat aku mendongakkan kepala. Aku melihat Rezal yang sedang di belakang bosku yang berwajah muram.
"Ada apa, Zal? Masih jam kerja. Lihat, bos saya wajahnya seram gitu," ucapku tanpa memperdulikan Nesta yang menatapku horor, karena berani membicarakannya di depannya langsung. "Hehe, maaf Ta."
Nesta mendengus kesal. Mood Nesta sedang tidak baik seminggu ini karena sedang datang bulan, dan aku justru memancing emosinya. Bosku tersebut kemudian menghadap ke arah Rezal. "Zal, kamu tuh sehari aja jangan ganggu karyawan saya bisa tidak sih? Saya tahu kamu lagi pedekate, tapi mbok jangan berlebihan. Obat kalau minumnya kebanyakan nanti overdosis, Zal."
Rezal justru tersenyum tanpa dosa. "Kamu tahu sendiri, Gabby lembur terus akhir-akhir ini. Terus kapan saya bisa pedekatenya, kalau tidak datang ke tempat kerjanya?"
Lagi-lagi Nesta mendengus. "Minggu libur, Zal. Tidak cukup waktu sehari?"
"Hari minggu saya yang tidak bisa, restoran pasti ramai."
"Terserahlah. Kamu boleh di sini, tapi duduk tenang di sofa. Jangan menganggu Gabby," ucap Nesta kemudian pergi ke ruangannya.
"Ta... itu mah namanya juga ganggu," protesku kesal. Bagaimana aku bisa konsen jika Rezal di sini, meskipun hanya memandangku. Tatapannya aja sudah mengganggu. Rezal terkekeh, kemudian mengerlingkan mata ke arahku. Aku pun membalasnya dengan sebuah tatap tajam. Bukannya takut, laki-laki itu justru semakin terkekeh.
Aku mendengus kesal. "Diam di sana. Main ponsel atau baca buku yang ada di rak." Aku menunjuk sebuah rak buku yang berada di dekat sofa.
"Oke."
Setelah melihatnya duduk sambil bermain ponsel, aku pun mengerjakan pola gaun yang akan digunakan untuk event bulan depan. Tinggal satu gaun lagi yang belum aku buatkan pola. Yang lainnya sudah pada tahap penjahitan dan pemayetan. Selama dua minggu ini lembur sampai pukul sembilan malam. Namun, pada hari minggu tetap diliburkan karena Nesta tidak ingin karyawannya kelelahan. Selama dua minggu pun juga tidak setiap hari. Satu hari lembur, satu hari tidak lembur, kemudian hari berikutnya lembur lagi, dan seterusnya.
Rezal kali ini menurut, meski sesekali kadang memandangku membuatku salah tingkah. Hingga aku sudah menyelesaikan dua pola gaun, laki-laki itu terlihat masih tenang. Aku pun bernafas lega karena dia tidak terlalu menggangu seperti sebelum-sebelumnya. Biasanya Rezal selalu jahil ketika aku kerja, pura-pura membantu tapi ujung-ujungnya membuatku kesal. Apalagi ketika aku kerja dipandangnya lembut, bukannya semangat justru salah tingkah dan membuat konsentrasiku ambyar.
"Serius kamu tidak sibuk, Zal?" tanyaku penasaran. Seingatku Rezal itu orangnya sibuk, selalu bolak-balik luar kota mengurus restorannya.
Rezal menggelengkan kepalanya. "Urusan resto terkendali, Gab. Saya lagi usaha ini."
"Usaha apa?"
"Usaha meluluhkan hati seseorang," jawabnya sambil tersenyum ke arahku. Aku pun menyerit bingung, meski kedua pipiku kini bersemu merah tanpa ku duga.
Aku tidak menjawabnya lagi karena Nesta keluar dari ruangannya. "Gab, hari ini kita tidak lembur. Saya ada urusan dadakan. Kamu beritahu yang lain ya!"
"Siap," jawabku. Rezal pun bersorak gembira. Membuat Nesta menatapnya heran. Kemudian bosku tersebut menggelengkan kepala, dan berkata, "sahabat suamiku sepertinya sudah tidak beres, Gab."
Aku lantas tertawa, Nesta tetaplah Nesta yang selalu berbicara to the point. Bukannya marah, Rezal justru terkekeh pelan. Dan aku langsung pergi ke lantai satu, masih dengan tawa yang menghiasi wajahku.
•••Palpable•••
"Dimakan, Gab," ucap Rezal membuyarkan lamunanku.
Sekarang, aku dan Rezal berada restoran milik Rezal. Tepatnya di rooftop yang sudah dia sulap menjadi tempat yang nyaman daripada sebelumnya. Seminggu yang lalu, Rezal berhasil merenovasi rooftop ini. Yang sebelumnya masih kosong hanya ada bangku panjang. Sekarang sudah terdapat gasebo bambu yang diletakan di sebelah pojok rooftop. Pagar yang semula tiga puluh senti meter pun sudah diubah menjadi delapan puluh sentimeter. Lantainya pun juga diubah menjadi rumput sintesis, serta terdapat beberapa tanaman hias yang menghijaukan rooftop ini.
Gazebo ini menjadi tempat makan lesehan. Rasa nyaman selalu aku rasakan ketika di sini. Berbincang-bincang dengan Rezal menjadi salah satu favorite ketika menenangkan diri di rooftop ini. Awalnya aku tidak setuju tempat ini di buat private room. Sayang sekali, view-nya bagus tidak dipakai untuk khalayak umum. Namun, Rezal tidak bisa dibantah, dia ingin tempat ini menjadi tempat mengukir kenangan bersamaku. Rezal memang jago menggombal.
"Zal," panggilku pelan. Aku ingin mengutarakan keganjalan selama aku dekat dengannya akhir-akhir ini. Aku takut, jika semakin lama kedekatan kita, rasa ini tak dapat aku cegah.
Rezal meletakkan sendok yang tadi berada di tangannya, kemudian menatapku. Sepertinya dia tahu aku ingin berbicara serius. "Iya, kenapa?"
Aku menghela nafas panjang sebelum mengutarakan sebuah pertanyaan yang terngiang-ngiang selalu dalam pikiran. "Kamu mendekat apa karena saya mirip Shena?"
Rezal langsung menampilkan wajah terkejut ketika mendengar nama Shena, perempuan yang pernah diceritakan Mama Rezal kepadaku kala itu. Rezal kemudian justru bertanya balik, "dari mana kamu tahu soal Shena?"
••Palpable•••
Exsalind
6 November 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Palpable [Selesai]
Romance#Love and Hapinness 2 Perempuan keras kepala yang bertahan dengan rasa sakit. Bukannya mengobati luka, justru membuat luka untuk dirinya. Kapan menyerah? Kapan mau mencari obat untuk lukanya? Dan sampai kapan mengabaikan seseorang yang menawarkan di...