BAB 6 - TERUNGKAP
"Kebenaran itu memang pahit, tapi harus diterima walaupun rasanya sakit."
Sudah satu minggu lebih pernikahan Nesta dan Adnan. Sekarang Nesta pun juga sudah pulang dari honeymoon. Perempuan yang sudah berubah statusnya menjadi istri itu juga sudah datang ke butik. Tadi pagi aku bisa melihat wajahnya yang berseri-seri memancarkan kebahagiaan.
Hari ini hari sabtu. Dan sekarang sudah pukul dua belas siang lebih. Aku masih bingung, apakah akan datang di bandara Adisucipto atau tidak. Kegelisahan aku rasakan sejak terbangun dari tidurku tadi pagi. Aku ingin datang, tapi tidak enak dengan Nesta karena pekerjaan hari ini banyak sekali.
Selama seminggu ini aku mencari tahu ada sebenarnya, namun tidak ada satupun petunjuk yang aku dapatkan. Bahkan setiap hari aku meneror Vino, tapi sahabatku itu sama sekali tidak mau menjelaskan. Karena keseringan nelfon Vino membuat aku terkena amarah Tina, istrinya Vino yang kini tengah hamil muda. Jadi tahulah sensitif banget, telfonan sama sahabatnya aja cemburu banget.
Kata Vino, aku akan menemukan rahasia yang selama ini tidak aku ketahui. Katanya jika dia yang bercerita, aku tidak akan percaya. Maka dari itu aku harus lihat sendiri buktinya.
"Gab, udah jam makan siang loh. Kok masih kerja?" tanya Nesta ketika keluar dari ruang kerjanya.
Aku tidak menjawab, bingung harus bertindak apa. Nesta pun bertanya lagi, "lagi ada masalah ya? Kok kamu terlihat gelisah gitu."
"Anu, Ta. Saya boleh izin sebentar gak?"
Nesta tertawa. "Ya ampun, Gabriela. Mau izin aja kok sampai gelisah gitu. Silakan, Gab. Mau izin kemana emang?"
"Ke bandara. Habis makan siang, dan kembali ke sini gak tahu pukul berapa. Boleh?" tanyaku memastikan.
Nesta menganggukkan kepalanya. "Silakan. Jangan lupa makan siang dulu."
"Terima kasih, Ta."
Nesta kemudian pamit pergi dulu karena Adnan sudah menunggunya di parkiran. Setelah kepergian Nesta aku turun ke bawah dan mengambil tas. Sesampainya di parkiran aku mendapati ban sepeda motorku kempes. Sepertinya aku perlu mengganti ban sepeda motor, karena sudah sering bocor seperti ini.
Terpaksa aku pesan ojek online. Setelah beberapa menit, abang ojek onlinenya datang. Dan sekarang perjalanan menuju restoran. Aku harus makan siang dulu karena kalau tidak perutku akan sakit.
Bodohnya aku memilih restorannya Rezal. Sehingga aku harus bertemu dengannya tepat setelah aku makan siang. Kenapa aku bisa lupa kalau ini restoran milik Rezal. Bodoh, bodoh. Lihatlah, dia sekarang tersenyum usil ke arahku dan kini menghampiriku. "Ayo aku antar."
"Hah?"
"Mau ke bandarakan? Ayo aku antar," ucapnya.
"Tidak usah. Terima kasih."
"Kamu butuh teman di sana, Gab." Sebenarnya ada apa sih? Aku semakin ingin segera ke sana dan melihat ada apa di bandara. Mengapa Rezal dan Vino kompak? Mereka sama-sama mengucapkan hal yang sama.
Aku pun menatapnya bingung. Dia meraih tanganku dan membawaku ke dalam mobilnya. "Memang ada sesuatu yang penting, Zal?"
"Penting, sangat penting. Kamu harus tahu."
Setelah itu tidak ada pembicaraan lagi, suasana hening sampai kita sampai di bandara Adi Sucipto. Rezal pun memulai pembicaraan terlebih dahulu. "Saya tunggu di mobil, agar tidak ada kesalahpahaman yang akan menyudutkan kamu."
Aku menatapnya bingung. Namun, Rezal justru memandangku sayu. "Semoga kamu menemukan kebenaran, Gab."
Dengan rasa bingung yang masih menghantuiku, aku turun dari mobil. Kemudian mencari kebenaran yang dimaksud Rezal tadi. Setelah berjalan-jalan menembus keramaian bandara. Aku melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul setengah dua. Aku tidak menemukan apa pun. Tidak ada yang aku kenali di sini.
Aku pikir, Rezal dan Vino mengerjaiku saja. Namun saat aku akan kembali ke mobil Rezal dan akan memarahi laki-laki itu. Aku menemukan sesuatu yang berhasil membuat dadaku sesak dan rasanya ribuan jarum berlomba-lomba menusuk hatiku. Mengapa dia ada di sini?
Gentha Giyanta?
Apa yang dia lakukan di sini? Bukannya dia pulang satu bulan lagi? Dan siapa itu perempuan cantik yang kini bergelayut mesra di lengannya? Seperti sepasang kekasih yang terlihat bahagia. Dia tidak menghianati aku kan?
Aku pun menghampirinya. Dan betapa kagetnya dia melihat aku yang kini ada di depannya. Tangan perempuan di sampingnya itu pun kini langsung dilepaskan oleh Gentha. "Gabby, kamu di sini?"
"Wow, siapa dia?" tanyaku sambil menatap sinis perempuan itu.
Gentha terlihat bingung. Sedangkan perempuan di sampingnya terlihat kesal melihatku. "Gab, aku bisa jelaskan."
"Kenapa kamu tidakk bilang mau pulang? Kenapa waktu aku tanya kapan kamu pulang, kata kamu masih satu bulan lagi? Siapa perempuan ini Gentha Giyanta?"
"Aku mau memberi kamu kejutan. Makanya aku tidak bilang ke kamu kalau aku pulang." Gentha hendak meraih tangan aku namun aku segera menepisnya.
"Terima kasih kejutannya. Kejutan yang berhasil membuat aku terkejut." Setelah itu aku lari meninggalkannya. Tidak peduli dengan orang-orang yang menatapku aneh ataupun memarahiku karena tak sengaja menabraknya.
Sakit. Aku kira Gentha laki-laki yang tidak akan menyakitiku. Namun ternyata justru membuat goresan luka di hatiku. Aku kira Gentha akan setia, ternyata kesetiaannya hanya dalam khayalanku saja.
Aku langsung masuk ke dalam mobil Rezal sebelum Gentha mengejar. "Zal, tolong antar saya pulang ke rumah."
Rezal hanya menganggukan kepala lalu mengendarai mobilnya. Aku hanya diam di sepanjang jalan. Memandang keluar, memikirkan apa yang baru saja terjadi. Dan aku harap semua ini hanya mimpi.
Aku mendengar Rezal menghela nafas. Kemudian laki-laki itu menepikan mobilnya. "Menangislah jika ingin menangis, Gab. Jangan ditahan, nanti tambah sakit."
Setelah itu, tumpahlah air mataku yang sejak tadi aku tahan. Dan Rezal pun langsung meraihku ke dalam dekapannya. Mengusap-usap punggungku, menenangkanku. Air mataku kini sudah membasahi kemeja biru navy miliknya.
Setelah cukup lama menangis, Rezal melepaskan dekapannya. Laki-laki itu menghapus air mataku. "Kenyataan itu memang pahit, tapi harus diterima walaupun rasanya sakit."
Vino benar, aku butuh teman saat datang di bandara. Untungnya Rezal menawarkan diri untuk menemani. Disaat seperti ini, aku memang butuh teman untuk mendengar, atau setidaknya menemani sampai keadaan tenang.
Aku yakin, Vino akan segera menelfon dan menertawakan ku. Dari dulu sahabatku itu tidak setuju dengan hubunganku bersama Gentha. Bahkan ketika aku berkata bahwa jadian dengan Gentha, Vino marah sampai satu bulan.
•••Palpable•••
Agustus 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Palpable [Selesai]
Romance#Love and Hapinness 2 Perempuan keras kepala yang bertahan dengan rasa sakit. Bukannya mengobati luka, justru membuat luka untuk dirinya. Kapan menyerah? Kapan mau mencari obat untuk lukanya? Dan sampai kapan mengabaikan seseorang yang menawarkan di...