BAB 10 - KIRANA
Aku tersenyum melihat pantulan cermin yang menampilkan diriku mengenakan gaun rancangan Nesta. Gaun putih gading yang sangat cantik. Aku selalu takjub dengan rancangan-rancangan Nesta yang menarik, dan cantik.
Setelah merasa sudah terlihat rapi dan bagus. Aku pun segera turun ke lantai satu rumahku. Jam sudah menunjukan pukul setengah sepuluh, Gentha akan segera datang. Ketika menunggu di ruang tamu, Ibu yang habis menyiram bunga di depan rumah pun menyapaku, "mau kemana nduk? Cantik sekali."
"Oh iya belum sempat bilang Ibu. Gabby mau ke pernikahan Vinny Bu, kemarin sudah izin sama Ayah."
Ibu duduk di sampingku. "Teman-teman kamu sudah nikah loh, kamu kapan? Perasaan teman-teman kamu dulu tidak punya pacar, eh sekarang nikah duluan. Kamu, sudah pacaran bertahun-tahun Gab."
"Bu nikah bukan perkara siapa yang cepat, tapi yang tepat. Kalau buru-buru nanti takutnya menyesal dibelakang."
"Kamu pacaran berapa tahun, Gab? Kalian sudah saling mengenal, keluarga kita dan Gentha juga sudah mengenal. Nunggu apa lagi?" Ucapan Ibu membuatku menghela nafas panjang. Ibu selalu tak sejalan dengan pikiranku, selalu tak sependapat denganku. Tetapi, aku tahu semua yang ibu katakan adalah untuk kebaikanku.
"Ibu..."
"Kenapa? Kamu dengan Gentha baik-baik sajakan?" Ibu langsung menatapku curiga.
Aku menganggukan kepala. "Gabby dan Gentha baik-baik saja. Sekarang juga mau ke pernikahan Vinny dengan dia."
"Baguslah kalau begitu. Cepat menikah, Gab. Ibu mau menimang cucu."
"Mas Endaru sudah nikah, Bu. Anak Ibu bukan cuma satu." Aku mempunyai kakak laki-laki dan dia sudah menikah dua tahun yang lalu. Sekarang tinggal bersama istrinya di Jakarta.
Ibu mendengus kesal. "Andrea belum hamil, nduk. Sudah dua tahun loh, sehat tidak sih menantu Ibu itu."
"Ibu." Aku kaget dengan ucapan ibu. Beliau memang selalu bicara tanpa menyaring dulu, tapi kali ini keterlaluan. "Kalau Mbak Andrea dengar, pasti sakit hati dengan ucapan Ibu. Mungkin Mas dan Mbak belum waktunya mempunyai anak, Bu. Please, Bu.... Jangan bicara seperti itu lagi, apalagi di depan Mbak Andrea."
"Kamu ini sok menasehati Ibu."
Suara mobil di depan rumah membuatku bernafas lega. "Gabby pamit dulu, Bu. Assalamu'alaikum."
•••Palpable•••
Gentha menatapku bingung, ketika dia hendak turun dari mobil aku tahan. Aku pun segera masuk ke dalam mobil dan menyuruh Gentha langsung jalan.
"Aku belum pamit orang tua kamu loh, Gab."
"Aku sudah pamit, kapan-kapan aja kalau mau ketemu Ayah dan Ibu." Aku kemudian menatap ke arah jendela, mengabaikan Gentha yang masih kebingungan.
Gentha terdengar menghela nafas, kemudian menjalankan mobilnya. Keheningan menyelimuti kami di perjalanan sampai di tempat pernikahan Vinny. Sebelum turun dari mobil, Gentha meraih tanganku kemudian mengusapnya lembut. "Are you okay?"
"I am fine, Gen."
"Sayang." Gentha memanggilku lembut.
Akhirnya aku luluh, dan menatapnya. "Biasa tidak sepemikiran dengan, Ibu."
"Soal kerjaan kamu?"
Aku menggelengkan kepala. "Bukan. Ibu sudah mulai tidak mempermasalahkan aku kerja sebagai asisten designer lagi. Tapi..."
"Tapi?"
Kalau aku bilang Ibu menyuruh aku segera menikah, apa jawaban Gentha? Apakah dia akan marah lagi? Sepertinya belum saatnya aku mengatakannya, kita baru saja baikan. Aku tidak ingin membuat suasana menjadi tidak baik lagi. "Biasa, Gen. Udah yuk, sudah hampir telat nih kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Palpable [Selesai]
Romance#Love and Hapinness 2 Perempuan keras kepala yang bertahan dengan rasa sakit. Bukannya mengobati luka, justru membuat luka untuk dirinya. Kapan menyerah? Kapan mau mencari obat untuk lukanya? Dan sampai kapan mengabaikan seseorang yang menawarkan di...