BAB 20 - LUPAKAN SEDIHMU
Panas, jam sudah menunjukan pukul sepuluh dan hari ini sangat cerah membuat sinar sang surya menyengat kulitku. Akan tetapi, angin di rooftop restoran milik Rezal berhembus cukup kencang. Sehingga panas mentari terkalahkan. Aku duduk di kursi panjang, kursi yang pernah aku duduki bersama Rezal beberapa minggu yang lalu.
Aku tidak paham dengan diriku sendiri. Mengapa aku memilih pergi ke tempat ini disaat hatiku hancur seperti ini. Mungkin karena aku tidak tahu lagi harus pergi kemana untuk tenangkan diri. Nesta sedang ke Surabaya karena Ibunya sakit, Vino sedang di Jakarta. Ah ngomong-ngomong soal Vino, sahabatku yang menyebalkan itu bersorak gembira mengetahui aku putus.
Vino memang orang yang paling menentang hubunganku bersama Gentha sejak aku dekat dengannya. Sahabatku tersebut tidak ingin aku akan menjadi korban kebrengsekan Gentha selanjutnya. Aku pun menentang ucapannya, karena Gentha sudah berubah. Gentha benar-benar mencintaiku, dan aku membuktikan bisa berpacaran dengan Gentha selama dua tahun dan semua baik-baik saja. Namun, Vino masih tidak percaya sampai hubunganku dengan Gentha memasuki usia empat tahun.
Dan seminggu yang lalu, ketika mengetahui kabar tentang hubunganku. Hal pertama yang dia ucap adalah, "alhamdulillah, akhirnya Gab. Kamu bebas dari kandang buaya. Yes..."
Namun, setelah aku jelaskan semua kronologinya dia murka. Mengumpat tiada henti untuk melampiaskan kemarahannya. Bahkan hampir pulang ke Jogja, namun aku tahan karena istrinya sedang hamil muda. Aku tidak ingin Tina kecapekan dan mengganggu kandungannya. Aku juga meyakinkan aku baik-baik saja, karena Mas Endaru pulang.
Vino tidak berlebihan, dan Tina tidak marah setiap kali Vino perhatian kepadaku. Tina tahu, Vino tidak akan mungkin jatuh cinta denganku begitupun sebaliknya. Karena Vino menganggap aku sebagai adik, sayangnya Vino ke aku seperti seorang kakak kepada adik perempuannya. Tina paham soal itu, meski awal-awal pacaran dulu dia sempat selalu cemburu. Namun, lama kelamaan dia paham. Arti sayang Vino kepadaku, berbeda fengan arti sayangnya Vino kepada dirinya.
"Jangan melamun, nanti kesambet." Sebuah suara membuatku menoleh ke arah belakang. "Panas loh, Gab. Nanti tubuh kamu gosong."
Aku mendengus, kemudian memalingkan wajah ke depan. Rezal sudah berganti pakaian. Tidak lagi menggunakan pakaian koki, tetapi berganti menggunakan T-shirt berkerah berwarna navy dan celana selutut berwarna hitam. Cakepan pakai setelan koki tadi sih, meskipun pakai kaos aja dia terlihat tampan. Tapi auranya lebih aja ketika melihatnya pakai pakaian koki.
Aku menggelengkan kepala, otakku sepertinya lagi konslet. Bagaimana bisa aku memikirkan ketampanan laki-laki yang kini duduk di sampingku ini. Sepertinya jiwa-jiwa jomloku kembali lagi. Empat tahun menjaga hati untuk seseorang yang dicintai, membuatku jarang berintaraksi dengan laki-laki. Selalu mengambil langkah aman, dengan cara menghindar. Meski kini hati yang telah dijaga untuk orang dicintai kini telah menghianati.
"Kenapa geleng-geleng?" tanya Rezal membuatku menatapnya. "Lagi pusing? Ditinggal mantan nikah duluan? Yuk nikah aja sama saya, biar mantan menyesal."
Aku terkekeh mendengar ucapannya yang bernada bercanda itu. Meskipun, menyindirku soal mantan. Tapi justru membuatku sedikit terhibur karena candaannya. "Benar ya kata, Nesta."
"Nesta bilang apa soal saya?" tanyanya dengan memicingkan mata.
"Nesta bilang, Rezal itu sepertinya kebelet nikah deh, Gab. Dia tiba-tiba bercandanya ngajak nikah. Dia kira nikah itu gampang apa. Gitu katanya." Aku menirukan ucapan Nesta saat dulu bosku tersebut curhat tentang Rezal.
Rezal terkekeh. "Kapan Nesta bilang?"
"Saat Nesta kamu ajak nikah." Aku memandang ke depan. "Sakit ya, Zal. Melihat orang yang kita cinta menikah dengan orang lain."
Entah perasaanku saja atau memang benar adanya, sejak tadi Rezal tidak memaling wajah sama sekali. Memandangku terus sejak duduk di sampingku. Aku pun menoleh ke arahnya, dia tersenyum. "Kamu percaya kalimat bahagia melihat orang yang dicinta bahagia?"
"Tidaklah." Aku mendengus, kemudian melanjutkan ucapanku, "tidak mungkin kita bahagia melihat orang yang awalnya kita duga akan menjadi pendamping hidup bersanding dengan yang lain."
"Bahagia, itu perasaanku ketika melihat Nesta terlihat bahagia dengan Adnan, sahabatku sendiri." Rezal berhenti sejenak, kemudian melanjutkan kembali, "aku sadar, rasa sayang yang aku rasakan kepada Nesta ternyata bukan sayang dalam artian cinta."
"Aku setuju dengan kalimat bahagia melihat orang yang dicinta bahagia. Karena cinta itu soal keikhlasan, Gab. Cinta mengajari kita tentang kesabaran dan keikhlasan. Bukan hanya soal kebahagian dan kesedihan saja."
Apa yang dia bilang, benar. Aku pun mengangguk pelan. "Tapi, Zal. Tidak ada orang yang baik-baik saja ketika melihat penghianatan di depan mata."
"Saya tahu, tapi bukankah itu cara Tuhan menunjukan bahwa dia bukanlah laki-laki yang baik untuk kamu?"
Rezal tersenyum, lalu mengusap puncak rambutku lembut. Perutku seketika seperti ada kupu-kupu yang beterbangan melihat tatapan lembutnya. Laki-laki ini berbahaya untuk hati yang sedang rapuh seperti ini. Bisa saja hatiku goyah, dan aku belum siap untuk sekarang.
Aku segera memalingkan wajah. Memandang wajahnya benar-benar berbahaya untuk saat ini. "Orang yang kita anggap baik, ternyata bukan yang terbaik."
"Aku kira Gentha adalah yang terakhir, namu ternyata justru berakhir. Aku kira Gentha akan menjadi imam, ternyata aku hanya jadi tamu undangan. Jodoh tidak ada yang tahu ya, Zal."
Rezal menggenggam tanganku. Ku lihat dari sudut mataku, dia sama sekali belum memalingkan wajah sejak tadi. "Kita hanya bisa berencana, berusaha, dan berdoa. Tuhan yang menentukan, akhirnya akan seperti apa."
"Sudah jangan galau-galau mulu. Semangat, Gabriela!!! Mati satu tumbuh lagi nih di sampingmu," candanya sambil menunjuk dirinya sendiri.
Aku pun terkekeh kemudian memukul lengannya. "Pacaran aja sana sama wajan dan kawan-kawannya."
"Apa? Pacar? Saya tidak menawari pacaran loh, Gab. Memangnya saya menawari kamu pacaran?"
Iya juga ya siapa yang membahas pacar? Aku pun lalu memalingkan wajah ke depan. "Ya enggak."
"Atau kamu cemburu karena saya lebih sering bertemu wajan dan kawan-kawannya?" godanya.
Aku pun mendengus. "Ya tidaklah."
"Saya sih gak mau kalau kamu jadi pacar saya." Aku menoleh ke arahnya, kemudian dia tersenyum misterius. "Saya maunya kamu jadi istri saya selamanya."
"REZAL... GOMBAL."
•••Palpable•••
BAB favoriteku😊
Ditulis Exsalind
29 Oktober 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Palpable [Selesai]
Romance#Love and Hapinness 2 Perempuan keras kepala yang bertahan dengan rasa sakit. Bukannya mengobati luka, justru membuat luka untuk dirinya. Kapan menyerah? Kapan mau mencari obat untuk lukanya? Dan sampai kapan mengabaikan seseorang yang menawarkan di...