BAB 19 - TERIMA KASIH

627 45 5
                                    

BAB 19 - TERIMA KASIH

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

BAB 19 - TERIMA KASIH

Aku tidak menyangka semua ini akan terjadi. Dulu, aku kira... aku yang akan duduk di sana. Aku kira, Ayahku yang akan menjabat tangannya. Ternyata dia bukan jodoh yang dikirimkan Tuhan untukku. Aku hanya menjadi undangan, bukan menjadi  sandingan.

Laki-laki yang pernah menawarkan kebahagian bersama. Laki-laki pertama yang menerima aku apa adanya. Sekarang dia di sana, mengucapkan ijab kobul dengan suara yang lantang. Sungguh, aku tidak menyangka akan seperti ini akhirnya.

Ku tahan air mata yang berusaha memberontak. Genggaman tangan Mas Endaru semakin erat, seolah menguatkanku. Jodoh, rejeki, maut, ada di tangan Tuhan. Aku tidak bisa menentang meski semua terasa menyakitkan. Aku yakin, Tuhan memberikan rencananya yang jauh lebih baik daripada rencana yang telah aku susun rapi.

"Dia bukan jodoh kamu, Dek," bisik Mas Endaru. Ketika laki-laki yang aku cinta kini telah mencium kening istrinya.

Aku melirik ke arah kakak laki-lakiku. "Gabby tahu, Mas."

Pernikahan mantan kekasihku tersebut hanya dihadiri orang terdekat karena cuma akad. Dan berlangsung di rumah mempelai sang pria. Setelah acara akad selesai, aku pun menemui Ibunya untuk berpamitan. Namun, langkahku terhenti ketika melihat Ibu yang aku kira akan menjadi Ibu mertuaku tersebut meneteskan air mata melihatku.

Beliau menghampiriku dan langsung memelukku erat sambil menumpahkan tangisnya. Aku terdiam, semua orang di sini memperhatikan. Keluarga mempelai pria menatapku iba, karena mereka tahu akulah orang yang selalu diajak di acara keluarga. Ibu melepeskan pelukannya, kemudian memegang kedua pipiku. "Maafkan Ibu, nak."

"Ibu tidak salah." Aku berusaha tersenyum, meski melihat beliau menangis selalu membuatku ingin menangis juga. Sepertinya aku sudah tidak pantas memanggil beliau Ibu lagi, karena pasti akan menimbulkan keanehan karena bukan aku yang menjadi menantunya.

"Kamu perempuan yang baik, Gab. Ibu yakin kamu akan mendapatkan laki-laki yang baik. Gentha bukan laki-laki yang baik untuk perempuan sebaik kamu," ucap Ibu Gentha dengan air mata yang terus menetes.

Sebenarnya ini yang aku takutkan ketika datang ke pernikahan Gentha. Bukan karena aku tidak sanggup melihat Gentha menikah dengan perempuan lain. Melainkan karena aku tidak sanggup melihat sosok wanita yang sudah aku anggap seperti Ibuku sendiri bersedih. Dua hari yang lalu, kakak ipar Gentha, Mbak Dini, menelponku dan mengatakan bahwa Ibu mertuanya ini selalu menangis akibat ulah anaknya. Mbak Dini bilang, aku adalah menantu idaman beliau.

"Ibu, Gabby tidak apa-apa." Aku melirik ke arah pasangan pengantin baru yang berada di kiriku. "Gentha bukan jodoh Gabby. Bukan karena Gentha buruk, tetapi karena Kiranalah jodoh Gentha."

Ibu memelukku kembali sambil membisikan sebuah kalimat yang membuat diriku semakin tidak kuasa menahan air mata. "Semoga kamu bahagia, nak, Ibu sayang kamu."

•••Palpable•••

Setelah berpamitan dengan keluarga Gentha, aku langsung pulang ke rumah. Mas Endaru sejak di dalam mobil sampai saat ini di rumah, terus saja mengomel. Aku hanya bisa memejamkan mata dan bersandar di sofa ruang keluarga sambil mendengarkan ocehan kakak laki-lakiku tersebut. Mbak Andrea sejak tadi mengusap-usap lengan suaminya. Sedangkan Ayah dan Ibu memilih menjauh.

"Mas, kata Mas... Gentha bukan jodoh Gabby. Sudahlah Mas, Gabby saja sudah memaafkan." Aku memandang Mas Endaru dengan tatapan lelah.

"Kamu tidak dengar tadi, Gab? Keluarga si pelakor itu menghina kamu, padahal kamu korban, Gabriela..."

Aku menghela nafas panjang. Aku juga sempat mendengar omongan dari keluarga Kirana saat melihat Ibu Gentha menangis. Mereka mengatakan bahwa, aku tidak berperasaan dengan mempelai perempuanlah, cari mukalah, dan lain-lain. Aku mendengarnya, dengan kedua telingaku sendiri.

"Keluarga Gentha ngapain mengundang kamu juga sih, mau membuat kamu lebih sakit hati melihat kekasihnya menikah dengan perempuan lain."

"Mas..." Aku berdiri, kemudian melanjutkan ucapanku, "Gabby baik-baik saja. Gabby tidak apa-apa kok datang ke pernikahan mereka. Gentha pernah berarti di hidup aku Mas. Keluarga mereka sangat baik terhadapku selama bertahun-tahun Mas. Aku menghargai undangan mereka, makanya aku datang. Aku juga ingin menyaksikan orang yang aku kira akan menjadi imam menikah  Mas."

Setelah itu aku pergi ke kamar. Sesampainya di kamar aku langsung berganti baju dengan pakaian santai. Hari ini adalah hari yang menyakitkan untukku. Kalau aku terus-terusan dikamar, pasti sekelebat bayangan bernama kenangan akan memporak-porandakan hati.

Aku butuh udara segar setelah seminggu mengurung diri di rumah. Tidak peduli nanti Ibu atau Mas Endaru akan mengomeliku, aku hanya butuh udara segar untuk menjernihkan pikiranku. Entah mengapa pikiranku langsung ke sebuah tempat dimana aku bisa menikmati udara segar, tanpa harus ke sebuah alam bebas.

"Mau ke mana, nduk?" tanya Ibu ketika berpapasan denganku di ujung tangga.

"Mau keluar bentar, Bu. Assalamu'alaikum."

Tanpa menunggu jawaban Ibu aku langsung pergi begitu saja. Menuju ke garasi, mengambil motor matic kesayanganku. Rasanya baru semingguan tidak mengendarinya, aku sudah merasa kangen sekali. Aku lebih suka mengendari sepeda motor daripada mobil. Karena aku bisa merasakan terpaan angin secara langsung, serta memandangan Yogyakarta yang indah ini secara leluasa.

Setelah sampai di sebuah tempat makan berlogo bambu, aku langsung memakirkan sepeda motorku. Kemudian memasuki sebuah tempat milik seseorang yang selama seminggu ini hanya terlihat makanan buatannya. Entah mengapa pikiranku langsung menunjukan arah ke sini. Rasanya ingin menikmati roof top yang pernah di tunjukkannya kepadaku.

"Chef Rezal ada?" tanyaku kepada salah satu pelayan.

Pelayan itu menganggukan kepala. "Ada mbak? Dengan siapa ya?"

"Gabriela."

"Sebentar mbak, saya sampaikan kepada beliau. Silakan duduk dulu!" Aku menganggukan kepala, kemudian dia berjalan menuju dapur.

Tak lama kemudian aku menemukan sosok yang aku cari sedang memakai pakaian koki. Terlihat aura ketampanannya semakin tampak jelas. Senyumnya pun terbit, tatkala melihatku. Membuat semua kaum hawa di sini semakin terpesona, termasuk aku.

"Ada apa?" tanyanya ketika duduk di hadapanku.

"Boleh pinjam rooftop?"

Dia terkekeh, duh kenapa aku baru sadar Rezal sangat tampan ya? Apa karena selama ini aku selalu menolak pesonanya karena menjaga hati untuk Gentha? "Jelas boleh dong, Gab. Kamu ke atas dulu ya. Nanti saya menyusul."

Aku menganggukan kepala, kemudian berdiri. Kakiku sudah berjalan dua langkah, namun aku hentikan dan berhadap ke belakang. "Terima kasih, makanannya enak."

•••Palpable•••

Ditulis, Exsalind

29 Oktober 2020

Palpable [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang