BAB 18 - BERAKHIR
Rasa canggung menyelimuti aku dan Gentha. Keheningan tercipta sejak perdebatanku dengan Mas Endaru berhasil diredakan Ayah. Mas Endaru tidak setuju aku berbicara dengan seseorang yang menyakiti adiknya. Dan aku bersikeras meminta waktu berdua dengan Gentha. Karena masih ada yang perlu diselesaikan diantara kami berdua.
Suara jam dinding mengisi keheningan di ruang tamu ini. Sejak tadi pun aku hanya memandang ke arah depan tanpa menatap wajah Gentha sama sekali. Sedangkan dia, kudengar sejak tadi menghela nafas entah berapa kali. Dan Mas Endaru kini tengah mengawasi kita dari lantai dua.
"Aku..." Gentha menahan ucapannya. Aku lirik sebentar, dia terlihat menompang kepalanya dengan kedua tangannya. "Aku minta maaf, Gab."
Ku beranikan diri memandangnya yang kini sudah duduk tegap dan memandangku pilu. Benar kata Mas Endaru, wajahnya membiru. Seperti baru mendapatkan pukulan yang sangat keras. Siapa yang memukulnya? "Memaafkan mungkin mudah, Gen. Tapi kamu tahukan melupakan rasa sakit tidak semudah aku berkata, iya aku memaafkanmu."
"Bukan hanya kamu yang salah. Aku pun juga. Aku salah karena masih bertahan padahal semua kenyataan yang menyakitkan itu sudah aku terima."
Mataku memanas, aku sadar kesalahan bukan sepenuhnya pada Gentha. Jika memutuskan berakhir sejak mengetahuinya berselingkuh, mungkin sekarang aku sudah dalam fase penyembuhan luka. Atau bahkan mungkin aku sudah berhasil melupakannya. Aku yang terlalu bodoh bertahan padahal ribuan jarum membunuh hati setiap kali menerima kenyataan.
"Soal backstreet... Aku, dulu tidak ingin kamu menjadi bahan omongan anak-anak di kampus, Gab. Kamu tahu sendiri reputasiku bagaimana dulu. Aku tidak ingin mereka memandangmu sebelah mata," ucap Gentha menjelaskan alasannya. Saat aku tanya, dulu Gentha hanya menjawab bahwa semua demi kebaikanku. "Dan, soal aku belum siap menikah. Sebenarnya alasannya ada dua, pertama karena aku memang belum siap. Yang kedua..."
Gentha tidak menggantungkan ucapannya membuatku memandang bingung ke arahnya. "Karena?"
"Karena Kirana." Gentha menundukkan kepalanya. "Ada kebingungan sejak aku kenal dengannya. Aku mencintai kamu, tapi juga dia."
Aku mendengus kesal. "Sebenarnya kamu bisa mengendalikan perasaanmu kalau kamu memang benar sepenuhnya mencintaiku."
"Aku memang salah, Gab. Kirana berhasil masuk ke dalam hubungan kita karena aku membukakan pintu. Maaf aku yang mempublikasikan Kirana daripada kamu." Aku tak sanggup melihat wajah Gentha lagi. Meskipun setiap penjelasannya membuat rasa sakit semakin menyakitkan. Namun aku butuh semua penjelasan. "Kirana awalnya tidak tahu aku mempunyai hubungan denganmu. Awalnya dia mengira kamu adalah selingkuhanku. Namun setelah mengetahui kebenaran, dia membuat status di sosial media dengan mengecualikanmu."
"Lalu... kebohongan apalagi? Mengapa kamu kembali bersamanya?"
"Sebenarnya, waktu Cia kecelakaan Kirana yang menolongnya. Maka dari itu, aku tidak memperbolehkanmu langsung menjenguk Cia." Gentha menghela nafas, kemudian melanjutkan ucapannya. "Dan sejak itu aku kembali kepadanya, karena dia hamil."
Aku menatapnya dengan raut muka sangat terkejut. Cia kecelakaan sudah hampir dua bulan yang lalu. Selama itu Gentha hanya diam tanpa bertindak sama sekali. Dia laki-laki bertanggung jawab bukan sih? "Jadi setelah baikan sama aku, kamu balikan sama Kirana?"
"Iya. Setelah kejadian di bandara aku memang langsung memutuskannya. Namun, kenyataan yang aku dapat mengekangku bersamanya. Dan aku belum sanggup kehilangan kamu, Gab. Jadi, membuatku menyembunyikan semuanya dan buru-buru membawa Kirana kembali ke Palembang."
Aku memejamkan mataku. Menahan emosi yang kini bergejolak dalam diriku. Laki-laki yang aku cintai ternyata seorang pembohong besar. Laki-laki yang aku impikan menjadi imamku kelak ternyata memilih berzina dengan perempuan lain.
"Siapa yang memukulmu?" tanyaku. Mengalihkan pembicaraan, agar emosiku terkendali.
"Aku tidak kenal. Setelah kamu pergi dari rumah Kirana, tiba-tiba seorang laki-laki memukulku." Aku memandangnya penuh dengan tanda tanya. Kemudian Gentha melanjutkan ucapannya, "dia berkata, Gabriela selalu berusaha menjaga hatinya dari lelaki lain demi Anda, Anda justru memilih perempuan lain. Karena Anda tidak berhasil membahagiakan Gabriela, maka saya yang akan membahagiakannya."
"Siapa?" tanyaku lirih.
"Kata Kirana dia pemilik restoran di tempat dia bekerja. Kamu ada hubungan apa dengannya?"
•••Palpable•••
Setelah menjelaskan tentang Rezal sejelas-jelasnya kepada Gentha. Gentha pun meminta maaf kepada semua anggota keluargaku. Ibu hampir saja memaki-maki mantanku tersebut namun berhasil di tahan Mas Endaru. Aku dan Gentha sudah mengakhiri hubungan kita. Aku sudah mengikhlaskan Gentha yang akan melangsungkan pernikahan seminggu lagi bersama Kirana.
Malam harinya keluarga Gentha memohon maaf sebesar-besarnya kepada keluargaku. Mamanya Gentha menangis dalam pelukanku. Beliau mengatakan belum bisa menerima kenyataan bahwa aku tidak jadi menjadi menantunya. Ibu Gentha terlihat terpukul atas kelakuan putranya. Ayah Gentha yang jarang berbicara kepadaku pun meminta maaf atas rasa sakit yang diberikan anak laki-lakinya.
Mereka juga mengundangku ke acara pernikahan Gentha dan Kirana yang akan berlangsung seminggu lagi. Akibat acaranya mendadak, keluarga Gentha hanya mengundang orang terdekat dan hanya melangsungkan akad. Acaranya akan dilaksakan di Jogja. Maka dari itu keluarga Kirana akan datang ke Jogja.
"Kamu yakin mau datang ke akad si Gentha?" tanya Mbak Andrea yang kini duduk di pinggir ranjangku.
Aku menganggukan kepala. "Yakin mbak. Aku kuat kok, lagian Mas Endaru juga mengizinkan asal aku datang bersamanya."
"Baiklah... Oh iya tadi ada kiriman makanan lagi, lupa tidak Mbak An bawa ke sini."
"Dari Rezal lagi?" tanyaku dan dibalas Mbak Andrea dengan anggukan. Selama dua hari ini Rezal mengirimkan makanan dua kali sehari. Dengan kartu ucapan yang bertuliskan berbagai kutipan-kutipan motivasi. Ibu saja sampai geram, karena aku memilih makanan buatan Rezal daripada masakan Ibu. "Yuk Mbak makan."
"Mbak minta ya, tadi mbak intip dikit sepertinya enak," jawab Mbak Andrea malu-malu membuatku terkekeh.
"Sudah tidak mual lagi mbak?" Sebuah kabar gembira datang ketika Mbak Andrea selalu mual mencium masakan Rezal. Membuat Ibu curiga kemudian memeriksakannya. Dan hasilnya aku akan mendapatkan ponakan. Mbak Andrea pun menjawab, "tadi sudah tidak. Yuk... Gab! Ponakan kamu sudah kepengen dari tadi."
Aku pun langsung bangkit dari dudukku dan menuju dapur. Selama aku mengajukan cuti semenjak di Palembang, Rezal memang sering mengirimkan makanan untukku. Kali ini bukan lagi kutipan dari Mario Teguh, Fiersa Besari, maupun dari Boy Candra lagi.
To : Gabriela
Aku memang menyuruh kamu menangis jika memang bersedih. Tapi jangan terus-terusan, Gab. Bangkitlah, kamu adalah perempuan yang kuat.•••Palpable•••
Ditulis, Exsalind
22 Oktober 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Palpable [Selesai]
Romance#Love and Hapinness 2 Perempuan keras kepala yang bertahan dengan rasa sakit. Bukannya mengobati luka, justru membuat luka untuk dirinya. Kapan menyerah? Kapan mau mencari obat untuk lukanya? Dan sampai kapan mengabaikan seseorang yang menawarkan di...