BAB 3 - SELALU SALAH

951 68 0
                                    

BAB 3 - SELALU SALAH

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


BAB 3 - SELALU SALAH

Makan siang kali ini berbeda. Biasanya aku makan siang dengan Nesta tapi sekarang malah dengan si kutu kupret bernama Rezal. Aku heran kenapa sih dia selalu mengusik kehidupanku akhir-akhir ini. Hidupku yang tenang baik-baik saja mendadak berbeda setelah kehadirannya.

Bukan berbeda menjerumus tertarik dengannya. Tapi berbeda ya beda, biasanya hidupku tenang jadi terusik olehnya.

Aku hanya bisa diam ketika Rezal berbicara panjang lebar. Tentang keluarganyalah, tentang restorannya, bahkan cerita tentang kenapa dia bisa jatuh cinta dengan Nesta.

“Nesta itu sulit didekati, tapi kenapa Adnan bisa meluluhkannya ya Gab?” tanyanya.

“Namanya juga jodoh. Ya pasti bersatu sesulit apapun itu,” jawabku lalu memakan steak yang berada di depanku ini.

“Iya benar juga sih.”

Ku harap Rezal segera menghabiskan makanannya dan kita segera pergi dari sini. Malas aku menanggapinya yang dari tadi terus mengoceh sana sini tak ada habisnya.

“Balik yuk,” ajakku. Semoga saja dia mau.

“Baru pukul dua belas lebih dua puluh,Gab. Bukannya kamu pukul satu ya mulai kerjanya lagi.”

Sialan. Kenapa hari ini waktu berjalan lambat sih. Perasaan tadi sudah lama di sini. “Saya sudah selesai makannya. Kerjaan saya banyak, Zal.”

“Ya ampun, kerjaan bisa dikerjakan nanti. Ini masih jam istirahat.”

Aku menghembuskan nafas, alasan apalagi yang akan aku sampaikan agar segera kembali ke butik.

”Kamu gak nyaman ya sama saya?” Sudah tahu nanya. Ingin ku balas seperti itu. Sungguh aku tidak nyaman. Aku ingin segera kembali ke butik tanpa gangguan Rezal lagi.

“Yaudah ayo.” Akhirnya Rezal menyetujuinya tanpa aku menjawab pertanyaan yang dilontarkannya.

•••Palpable•••

“Loh sudah selesai, Ta?” tanyaku kepada Nesta ketika melihatnya sudah duluan ada di butik. Namun, sepertinya ada yang berbeda, wajahnya terlihat murung dan cemas.

Aku pun menghampirinya dan duduk di sampingnya. “Kamu kenapa?”

Bukannya Nesta menjawab dia justru menangis sesenggukan. Aku bingung harus bagaimana melihat bosku yang terlihat sangat sedih ini. Aku pun mengusap pundaknya pelan. “Kalau ada masalah cerita aja, Ta.”

Nesta menghapus air matanya lalu tersenyum dan terlihat terpaksa. “Saya gak papa kok Gab.”

Dasar bosku satu ini. Sudah terlihat nangis sesenggukan masih aja berusaha menyembunyikan lukanya. “Gak usah bohong sama saya, Ta. Gak mempan.”

Dia justru terkekeh pelan. “Saya gak papa. Ayo kerja, wedding expo sebentar lagi, gaunnya masih banyak yang belum selesai.”

“Kadang cerita adalah cara membuat hati lega, Ta.” Aku mengabaikan ajakannya. Aku sangat khawatir dengan Nesta. Pasti ada apa-apa, gak mungkinkan gak papa tapi nangis.

“Tadi ketemu Ibunya Adnan lagi,” jawabnya sambil tersenyum miris.

Aku pun langsung paham apa yang terjadi. Dan aku langsung membawa Nesta ke dalam pelukanku. Tangisnya pun langsung pecah. Dan aku berusaha menenangkannya.

•••Palpable•••

Aku langsung berbaring di kasur di kamarku setelah pulang kerja. Menghilangkan segala rasa lelah yang aku rasakan hari ini.

Tok...tok...

“Masuk,” sahutku ketika mendengar suara ketukan pintu.

Dan tak lama kemudian munculah Ibu di ambang pintu kamarku. Beliau terlihat tersenyum melihatku, aku pun membalas senyumannya. Dan langsung merubah posisi menjadi duduk.

“Lelah, nduk?” Tanya Ibu.

Aku menganggukkan kepalaku. Lalu Ibu berjalan ke arahku dan duduk di sampingku. “Kerja sama orang ya gitu, Gab. Melelahkan. Ibu sudah pernah bilang, kamu lebih baik buka butik sendiri aja. Kamu pasti bisa.”

Ibu pasti selalu seperti itu, selalu tidak setuju dengan apa yang aku pilih. Beliau selalu ingin aku membuka butik sendiri. Membangun sendiri, mempekerjakan orang, bukan dipekerjakan orang. “Tapi, Bu. Gabby sudah nyaman kerja sama Nesta.”


“Apa gunanya kamu sekolah tinggi tata busana kalau kamu hanya kerja di butik? Kalau gitu kamu gak usah kuliah saja. Lulusan SMK tata busana bisakan masuk sana?”

“Ibu!”

“Apa? Mau melawan omongan Ibu?”

“Terserah Ibu. Gabby selalu salah dimata Ibu. Gabby lelah, Bu. Lebih baik kita bicarakan lagi lain kali.” Aku pun langsung masuk ke dalam kamar mandi. Mengabaikan Ibu yang mulai mengeluarkan omelannya.

Sampai kapan seperti ini? Aku harus tidak sependapat dengan Ibu. Jujur  saja sebenarnya aku takut harus melawan omongan Ibu terus. Tapi ucapan Ibu kadang salah, dan terlalu berlebihan. Jika aku membenarkan pasti selalu salah menurut beliau.

Dari dulu Ibu memang memintaku membuka butik sendiri. Menjadi seorang Designer, merancang gaun sendiri. Tapi, aku memilih menjadi asisten Nesta, berkerja bersamanya. Ibu bukannya tidak menyukai Nesta, Ibu hanya ingin aku punya karya. Aku  apa yang Ibu inginkan adalah untuk kebaikanku.

Aku masih ingin bekerja, masih ingin membantu Nesta. Membangun sebuah butik bukanlah hal yang mudah, butuh modal. Tidak salahkan aku menabung uang dahulu. Jika nanti uangku sudah terkumpul aku bisa membangunnya sendiri. Sekarang aku masih perlu banyak belajar, dan Nesta yang lebih mahir daripada aku selalu mengajariku hingga aku bisa.

•••Palpable•••



Exsalind
Ditulis, 09 Februari 2020

Palpable [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang