BAB 24 - SIAPA YANG TEPAT

579 52 0
                                    

BAB 24 - SIAPA YANG TEPAT

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


BAB 24 - SIAPA YANG TEPAT

Raut wajah Rezal berubah datar, kemudian dia mendengus kesal. Aku pun ikut-ikutan mendengus. Aku memang ingin suatu saat ada yang mau mengajakku ke dalam hubungan yang serius. Tetapi, tidak dilamar di kuburan juga.

"Gab, kamu merusak suasana."

"Kamu yang gak tahu suasana," sahutku dengan nada kesal. "Hai Shena... kenalkan, aku Gabriela. Aku mau tanya, mengapa kamu bisa jatuh cinta sama laki-laki ini sih? Masa dia melamar di kuburan, Na. Ya ampun..."

Rezal memandang batu nisan berukirkan nama Shena tersebut lagi. "Na, kamu bisa lihat sendiri. Dia berbeda, dan aku mencintainya bukan karena mirip kamu." Kemudian laki-laki itu berdiri dengan tangan yang masih menggenggam tanganku. "Aku pamit pulang, Na."

Aku pun mengikutinya yang keluar dari area pemakaman. Keheningan menyelimuti kami hingga mobil sudah berjalan menjahui tempat pemakaman umum.

"Mau makan dimana?" tanya Rezal.

Aku menyandarkan tubuhku, kemudian memandangnya. "Yang enak di Kulon Progo apa?"

"Tumben," jawabnya membuatku menyerit bingung. Kemudian dia terkekeh dan melanjutkan ucapannya, "biasanya perempuan selalu bersama kata terserah."

Aku tertawa, memang terkadang para kaum hawa suka sekali dengan jawaban seperti itu. "Pengen sate kambing deh, Zal. Sudah lama gak makan sate kambing."

"Saya juga lagi pengen. Hm... kebetulan saya tahu tempat sate kambing yang juara di sini," sahut Rezal sambil melirikku yang sejak tadi menatapnya. "Saya tahu saya ganteng, tapi gak usah dilihatin terus, Gab. Konsentrasi saya ambyar nanti, bahaya."

Aku mendengus kesal kemudian menegakkan badanku. "Ge er sekali Anda."

Rezal tertawa, dan perjalanan kita sampai di tempat makan diiringi suara tawa Rezal karena selalu berhasil membuatku kesal dengan rayuannya. Aku hanya menanggapi dengan tatapan kesal kepadanya. Sebenarnya, aku sejak tadi memikirkan jawaban apa yang akan aku berikan kepadanya.

Sebuah lamaran yang sangat anti mainstrem tadi sebenarnya membuat perasaan berbeda hadir dalam diriku. Aku bingung harus menanggapi ucapan Rezal tadi bagaimana. Semoga saja laki-laki itu tidak bertanya lagi, karena sekarang hati dan otak masih sedang berunding untuk menentukan jawaban yang tepat dan terbaik.

•••Palpable•••

"Saya lihat dari tadi kamu melamun terus, kenapa?" Pertanyaan Rezal disela-sela ketika kita menikmati makan membuatku terkejut. Bagaimana aku tidak melamun, belum genap satu jam tadi orang yang dihadapanku melamarku dan belum aku berikan jawaban. "Kamu memikirkan di kuburan tadi?"

Mulutku masih bungkam, dan tanganku memotong-motong lontong sate yang tersaji di piring yang berada di depanku. Logika kini semakin mencari-cari jawaban apa yang ada di hati. Menerka-nerka, apakah aku yakin dengan pilihan ini.

"Gab..."

"Mengapa pilihannya harus menikah? Saya belum kenal kamu sepenuhnya, Zal, dan sebaliknya." Aku memang menginginkan hubungan yang jelas semenjak hubunganku dengan Gentha semakin lama. Tetapi, Rezal adalah orang baru dalam kehidupanku. Bahkan aku belum mengenal sepenuhnya laki-laki di hadapanku ini.

Rezal tersenyum. "Kamu ingin pacaran dulu? Kita sudah sama-sama dewasa, Gab. Ketika kamu menerima saya, iya... tidak harus segera menikah jugakan? Kita saling mengenal satu sama lain dulu sebelum hari pernikahan nanti. Pacaran di usia kita sekarang rasanya sia-sia, Gab. Membuang-buang waktu, lebih baik langsung kejenjang menuju halal bukan?"

Laki-laki dihadapkanku ini menjelaskan dengan suara yang terdengar adem dan lembut, membuat jantungku berdetak lebih kencang. Terlihat ketulusan terpancarkan dari kedua matanya. Rezal benar-benar mencuri perhatianku selama satu bulan ini. "Kalau saya menolak?"

"Saya akan menunggu hingga kamu siap."

"Oke," jawabku sambil tersenyum.

Rezal mengerutkan kedua alisnya dengan raut muka bingung. "Oke apa? Ditolak nih, saya?"

"Saya mendambakan suatu hubungan yang jelas. Hubungan saya dengan Gentha dulu sangat tidak jelas, Zal. Dan sepertinya, Tuhan menjawab doa-doa saya selama ini. Kamu, mencuri perhatian saya semenjak saya sadar kamu selalu menjadi penompang saya ketika saya tak mampu menompang diri saya sendiri. Kamu sabar dengan sikap saya, dan sabar menunggu saya sadar akan kebodohan saya." Aku bisa melihat raut wajah Rezal semakin bingung, mencari-cari jawaban di antara kalimat-kalimat yang ku ucapkan. "Mempertahankan sesuatu yang sudah hancur itu sangat sulit, dan saya justru bertahan dengan rasa sakit. Ternyata rasa sakit itu adalah cara Tuhan menunjukan dia bukan yang terbaik, dan Tuhan sudah menyiapkan orang yang tepat untuk saya... kamu."

Sepertinya laki-laki tersebut masih memikirkan simpulan dari penjelasan yang sudah aku ucapkan. "Jadi diterima?"

"Simpulkan saja sendiri."

"Gabriela..." Rezal memanggilku dengan nada gemas mendengar jawabanku yang tidak langsung.

Aku tertawa puas mengerjai laki-laki ini. "Padahal sudah jelas loh, Zal. Iya-iya aku terima, Tap—"

"Alhamdulillah," potong Rezal dengan raut wajah bahagia membuatku mendengus kesal karena ucapku dipotong begitu saja.

"Tapi jangan bilang Ibu dulu loh, nanti Ibu heboh. Yang ada nanti disuruh nikah besok." Rezal langsung tersenyum misterius lalu menjawab, "bagus dong."

Dan aku pun langsung bergidik ngeri membayangkan besok dinikahkan. Aku mendengus kesal lagi, membuatnya terkekeh. "Kamu memangnya sudah merencanakan melamar di kuburan ya?"

"Ya enggak lah, Gab. Seharusnya nanti malam, tapi tadi mulut saya sudah tidak bisa ditahan untuk melamar," jawabnya sambil terkekeh. Kemudian laki-laki tersebut merogoh saku celananya, dan mengambil kotak belurdru berwarna merah maroon. Seketika perutku langsung merasakan kupu-kupu berterbangan di dalamnya. "Untung saya bawa cincinnya."

Laki-laki tersebut kemudian membuka kotak tersebut dan mengambil sebuah cincin yang simple namun terkesan elegan dan indah. Diraihnya jemariku kemudian menyematkannya di salah satu jemariku. Sangat pas, bagaimana dia tahu ukuran jariku? Mataku berkaca-kaca tanpa ku duga ketika memperhatikan Rezal menyematkan cincin tersebut. "Zal..."

Rezal memandangku lembut, tangannya kini menggenggam tanganku dengan kedua tangannya. "Terima kasih, aku mencintaimu."

•••Palpable•••

Perjalanan pulang kita diiringi dengan obrolan tentang Rezal. Laki-laki tersebut bercerita tentang dirinya sebelum mengenalku. Tentang perjuangannya membangun restoran hingga bisa membuka cabang di kota-kota besar di Indonesia. Dan tentang keluarganya, yang ternyata dia adalah anak tunggal.

"Dulu aku pengen banget punya adik, eh ternyata Allah tidak mengizinkan. Mama punya kanker rahim yang mengharuskan beliau menjalani operasi pengangkatan rahim."

Aku menatap Rezal yang bisa fokus menyetir dan bercerita. "Mama kamu wanita yang kuat, ya..."

"Iya, beliau sangat terlihat kuat, padahal impiannya ingin mempunyai anak laki-laki dan perempuan. Makanya aku kadang diteror untuk cari istri, supaya Mama bisa merasakan anak perempuan. Oh iya kapan Mama cerita soal Shena, Gab?"

"Hm... Aku lupa sih tepatnya kapan, yang pasti saat aku masih sama Gentha," jawabku kemudian menguap, rasa kantuk menyerangku. Mungkin karena selama ini aku sering begadang untuk menyelesaikan pekerjaan, membuatku lebih gampang mengantuk.

Ketika mobil berhenti di lampu merah, Rezal menatapku yang sedang berusaha menahan kantuk. "Ngantuk?" Aku pun mengangguk. Laki-laki tersebut kemudian mengusap puncak kepalaku dengan lembut. "Tidurlah, nanti aku bangunkan kalau sudah sampai rumah kamu."

•••Palpable•••


Exsalind
17 November 2020

Palpable [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang