BAB 14 - SEBUAH FAKTAHari minggu biasanya aku menikmati hari libur setelah enam hari bekerja. Berlama-lama di dalam kamar, mendengarkan musik kesukaan, membaca novel hingga beberapa judul. Namun, hari minggu ini aku harus berbelanja dengan Ibu karena nanti malam ada arisan ibu-ibu di rumahku.
Karena tadi Ibu lupa membeli beberapa bahan, akhirnya aku kembali ke supermarket. Tumben, Ibu lupa apa yang akan dibeli. Biasanya aku yang selalu lupa kalau belanja. Dan sekarang aku sudah menenteng satu kantong tas belanjaan. Ketika mau ke luar dari supermarket, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita memanggil namaku. "Gabby? Gabby yang kerja dibutik Nesta?"
Aku menoleh, menemukan wanita paruh baya yang tersenyum kepadaku. "Iya, tante." Aku mengingat-ingat siapa ibu ini. "Tante?"
"Saya Raina. Mamanya Rezal, ingat?"
"Oh iya Tan, ingat. Tante apa kabar?"
Tante Raina tersenyum. Meskipun Tante Raina sudah berumur, tapi beliau masih terlihat sangat cantik. "Tante, baik Gab. Kamu sendiri kabarnya bagaimana?"
"Alhamdulillah baik, Tan."
"Ngobrol dulu yuk. Tante ingi ngobrol sama kamu."
•••Palpable•••
Sekarang aku dan Tante Raina berada di sebuah cafe dekat dengan supermarket tadi. Kebetulan jam sepuluh pagi cafe ini sudah buka, Tante Raina pun mengajakku untuk ke sini. Tante Raina kini tengah menawariku beberapa menu di cafe bergaya vintage ini. Aku pun menjawab apa yang menarik di buku menu. Setelah pelayan cafe pergi, Tante Raina bertanya, "kamu beneran lagi tidak sibukkan, nak?"
Aku menganggukan kepala. Meskipun bahan makanan ini akan digunakan Ibu, tapi Ibu pasti sekarang masih membuat yang lainnya. Bisalah nanti dibuatnya, lagian Tante Raina bilangnya cuma sebentar. Aku jadi tidak enak dengan beliau. Biarlah nanti aku kena marah Ibu. "Enggak kok Tante."
"Bagaimana kerja dibutik bersama Nesta?" tanya Tante Raina dengan tersenyum. Sejak tadi Tante Raina selalu tersenyum manis membuat kadar kecantikan beliau semakin bertambah.
Aku pun juga tersenyum. "Alhamdulillah saya nyaman, Tan. Bisa menambah pengalaman di bidang yang saya sukai."
"Wah... Saya kagum sama kamu. Masih ingin terus belajar, padahal sudah dikategorikan mahir loh." Pujian Tante Raina membuatku tersipu malu. Kemudian beliau melanjutkan ucapannya, "Orang itu memang harus seperti itu, nak. Terus berusaha belajar dan menambah pengalaman."
Baru kali ini aku menemukan orang yang setuju dengan jalan yang aku pilih. Bahkan Ibu saja selalu menentang semua pilihanku. Sedangkan Ayah dan Mas Endaru hanya mengiyakan saja. Tapi Tante Raina bahkan mendukung keputusanku. "Saya belum mahir, Tan. Masih perlu banyak belajar."
"Keberhasilan Nesta dalam pekerjaannya tak luput dari kerja keras kamu, nak. Nesta pernah bercerita tentang kegigihan kamu dalam bekerja. Kamu beneran tidak sibuk, nak? Tante takut mengganggu."
"Gabby tidak sedang sibuk, Tan. Gabby justru senang bisa ngobrol sama, Tante," jawabku.
"Hari minggu seperti ini biasanya buat main sama teman atau pacar gitu." Tante tersenyum, kemudian melanjutkan ucapannya, "kamu sudah punya pacar ya?"
Dengan tersenyum aku menjawab, "sudah, Tan."
Tante Raina mengangguk-anggukan kepalanya pelan. Kemudian pesanan kita pun akhirnya datang. Tiba-tiba ponselku berbunyi tiba-tiba ada sebuah pesan masuk dari Gentha.
Gentha Giyanta
Gab, kangen :(Aku tersenyum melihat pesan dari Gentha. Bagaimana aku bisa melepaskannya jika sikap dia masih sangat baik kepadaku, meskipun membuat luka yang begitu dalam.
"Biasanya kalau lihat ponsel sambil senyum-senyum, pasti ada pesan dari sang kekasih. Tante benar, tidak?" goda Tante Raina membuatku tersipu malu. Ah... Aku lupa di hadapanku ada Tante Raina. "Dulu Rezal juga gitu."
Rezal? Sama siapa?
"Rezal dulu sangat menyayangi kekasihnya. Sayang, Shena sudah pergi meninggakan Rezal dahulu."
Entah mengapa aku tertarik dengan pembicaraan Tante Raina. "Pergi? Kalau boleh tahu karena apa, Tan?" Tante Raina terlihat sedih. Kemudian menceritakan kisah Rezal dan Shena yang sangat menarik perhatianku.
•••Palpable•••
Karena terlalu asik mengobrol dengan Tante Raina mengenai Rezal dan kekasihnya dulu. Aku sampai lupa waktu. Sampai rumah nanti, aku yakin Ibu pasti akan marah karena aku belum pulang juga.
Banyak hal yang aku obrolkan dengan Mamanya Rezal. Bukan hanya tentang Shena ataupun Rezal. Bahkan aku dan Tante Raina juga membicarakan tentang aku, dan hal yang lainnya. Ternyata Tante Raina orangnya baik banget. Aku bahkan sampai lupa waktu karena terlalu asik berbicara dengan beliau.
Tante Raina selalu memberikan tanggapan yang positif atas apa yang aku ucapkan. Tidak menyudutkanku meskipun tadi beliau juga membicaraan ketertarikan Rezal kepadaku. Beliau juga menghargai keputusanku untuk tetap lanjut dengan Gentha.
Aku menghembuskan nafas berulang kali ketika ingin membuka pintu rumahku. Aku yakin sebentar lagi, amarah Ibu akan keluar. Dengan perlahan aku masuk ke dalam rumah. Mengendap-endap seperti maling menuju dapur. Dapur masih terlihat terpakai karena beberapa adonan kue berasa di pantry, serta bahan masakan lainnya. Namun, aku tidak menemukan keberadaan Ibu.
Akhirnya aku bernafas lega. Setelah menaruh belanjaan, aku akan segera ke kamar untuk menghindari Ibu sementara waktu. Mencari alasan yang tepat dulu agar Ibu tidak terlalu marah.
"Ehem." Suara dehaman membuatku mematung. "Ibu suruh kamu belanja dan membantu Ibu. Bukan kelayapan."
Aku berbalik, melihat Ibu di ambang pintu sambil menyilangkan lengannya. "Gabby tidak kelayapan, Bu."
"Dari mana kamu?"
"Tadi ketemu..." Kalau aku bilang Tante Raina, Mamanya Rezal. Ibu pasti langsung mengintrogasiku lebih lama. Jawab apa ya? "Ketemu salah satu customer Starlyn, tidak enak kalau Gabby langsung pergi."
Ibu sudah tidak semenyeramkan tadi. Kemudian beliau mengambil kantung belanjaan yang berada di tanganku. "Kamu bisa bilang ada acara, Gabby. Ibu dari tadi repot sendiri. Punya anak gadis kok tidak mau membantu."
"Ibu... Maaf." Aku sangat merasa bersalah dengan Ibu.
"Ya sudah. Ayo bantu ibu, masih banyak yang harus diselesaikan."
•••Palpable•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Palpable [Selesai]
Romance#Love and Hapinness 2 Perempuan keras kepala yang bertahan dengan rasa sakit. Bukannya mengobati luka, justru membuat luka untuk dirinya. Kapan menyerah? Kapan mau mencari obat untuk lukanya? Dan sampai kapan mengabaikan seseorang yang menawarkan di...