BAB 11 - TEMU KANGEN
Sudah empat belas hari Gentha berada di Yogyakarta. Setelah acara baikanku dengan Gentha, dia selalu mengantar jemput aku kerja. Jadi, setiap hari kita bertemu. Sesekali makan malam bersama, entah berdua dengannya atau bersama keluarganya. Kadang juga makan malam dengan keluargaku.
Di hari libur ini, aku meluangkan waktu bersamanya, menghabiskan waktu seharian bersamanya. Menikmati keindahan tempat-tempat wisata di Yogyakarta, wisata kuliner khas Yogyakarta, dan terakhir kini kita di Malioboro. Menikmati keindahan malam di sepanjang jalan kenangan ini. Di jalan ini kenanganku bersama Gentha terukir indah. Anehnya, setiap kali ke sini kita tidak bertemu dengan teman-teman kita. Sehingga memperlancar hubungan backsreet antara aku dan dia.
"Gen ingat tidak? Kita pernah marahan di sini cuma gara-gara aku tidak mau makan?" tanyaku kepada Gentha, sambil membayangkan peristiwa di sini.
Gentha terlihat mengingat-ingat. "Ingat gak ya? Lupa deh sepertinya." Aku memukul lengannya pelan, sambil mengerucutkan bibir. Dia terkekeh pelan. "Apa sih yang tidak aku ingat tentang kamu, Gab."
"Kalau... duh banyak banget kenangan kita di sini. Yang mana ya?"
"Waktu kamu nangis saat aku mau ke Palembang?" goda Gentha sambil tersenyum.
Ah... Waktu itu, memalukan. Bisa-bisanya aku menangis di depan umum gara-gara Gentha pamit mau ke Palembang secara tiba-tiba. Bayangkan, dia bilang malam-malam dan besok pagi sudah berangkat. Aku belum mempersiapkan diri untuk LDR dengannya, tapi keputusannya membuatku pasrah. "Ish... memalukan lah itu, Gen."
Dia terkekeh sebentar, kemudian keheningan menyelimuti kami. Gentha menggenggam tanganku erat, kemudian menatapku. "Lusa aku berangkat ke Palembang lagi."
Aku menatapnya tak percaya. Dia bercandakan? Aku kira pekerjaanya di Palembang sudah selesai, dan menetap di sini lagi. Aku kira setelah apa yang terjadi pada hubungan kita dia akan memilih kerja di Yogyakarta. "Serius?"
Gentha menganggukan kepalanya. "Maaf."
"Aku kira kamu akan tinggal di sini, Gen," ucapku pelan sambil menatap nanar jalanan yang sudah mulai sepi.
Laki-laki itu mengusap lembut rambutku, kemudian membawaku ke dalam dekapannya. "Aku harus masih menyelesaikan pekerjaan di sana. Aku pasti akan kembali, Gab."
Dengan menahan air mata, aku menganggukan kepala sambil menatapnya. "Aku menunggumu, Gen."
•••Palpable•••
"Vino?" Aku menatap seorang laki-laki yang sedang bercanda dengan Ayah di ruang tengah rumahku. "Ngapain kamu di sini?"
Kedua laki-laki itu menatap ke arahku. "Sudah pulang, nak? Vino sudah menunggu sejak habis magrib. Gentha mana? Langsung pulang?"
"Gentha langsung pulang, Yah." Aku kemudian duduk di sofa dan menyandarkan tubuhku.
"Ayah ke atas, kalian ngobrol aja dulu melepas rindu." Ayah pamit ke atas dulu, aku pun menatap Vino yang terlihat menatapku kesal.
Aku tahu sahabatku itu pasti kesal karena semenjak tragedi di bandara, aku sama sekali tidak menjawab telfon dan pesannya. "Ngapain ke sini? Tina mana? Gak ikut?"
"Kamu ini kena pelet si Gentha, atau memang bodoh?" Bukannya menjawab pertanyaan-pertanyaanku, Vino justru memberiku pertanyaan yang aneh. "Gab... Astaga... Serius kamu balikan sama Gentha?"
"Aku gak pernah putus sama Gentha, Vin," terangku.
Dia semakin memelototiku. "Gila ya kamu, cinta membuat seorang Gabby jadi bodoh. Dia selingkuh Gab, dan kamu tidak memutuskannya? Dia selingkuh sudah satu tahun."
Satu tahun? Selama itukah Gentha berkhianat? Aku menatap Vino curiga, jangan-jangan laki-laki di sampingku ini membuat karangan atau melebih-lebihkan sebuah fakta. "Jangan mengada-ngada, Vin. Gentha masih Cinta sama aku, gak mungkin dia berkhianat selama itu. Dia hanya khilaf." Aku memandang lantai dua, kemudian melanjutkan ucapanku, "jangan keras-keras. Nanti Ibu dan Ayah tahu Gentha pernah selingkuh."
"Gabriela Levana." Aku memejamkan mataku ketika mendengar Vino menyebut nama lengkapku. Hanya satu alasan mengapa Vino memanggil nama lengkapku, yaitu kemarahan yang sudah memuncak.
"Vin, kamu tahu kan... Aku sayang banget sama Gentha. Aku belum sanggup kehilangannya. Tolong hargai keputusanku."
Vino terlihat menahan amarahnya. "Aku kira setelah mengetahui Gentha selingkuh, kamu bakal putus sama dia. Eh... Aku dapat kabar kamu ke pernikahan Vinny sama Gentha. Sudah berani publikasi dia?"
"Vin..."
"Sudah, kamu istirahat sana." Vino berdiri, lalu menatapku. "Bukannya aku tidak menghargai keputusan kamu. Aku hanya tidak ingin, sahabatku terluka karena laki-laki brengsek seperti dia."
Aku ikut berdiri, ingin rasanya memeluk sahabatku ini tapi dia sudah beristri. Vino adalah satu-satunya sahabatku yang bertahan hingga kini dari jaman SD. Bahkan ketika sahabatku semasa putih abu-abu kini dekat terasa jauh, Vino justru jauh terasa dekat. Katanya sahabat laki-laki dan perempuan itu pasti salah satunya jatuh cinta. Namun, kenyataannya aku tidak bisa jatuh cinta dengan sahabatku ini. Padahal perhatiannya, pasti membuat kaum hawa baper. Begitupun dengan Vino, dia tidak jatuh cinta denganku tapi jatuh cinta dengan teman semasa putih abu-abu dan kini mereka sudah menikah.
"Vino... Jangan bikin aku nangis." Mataku sudah berkaca-kaca. Aku rindu Vino, rindu perlindungannya ketika dunia membuatku menangis. "Peluk kamu boleh gak sih? Gak ah, nanti Tina marah. Kenapa ya dari dulu aku tidak bisa jatuh cinta sama kamu. Padahal kamu baik banget."
Vino menatapku ngeri. "Jangan coba-coba jatuh cinta sama aku. Tidak ada pendaftaraan istri kedua."
Aku tertawa mendengar ucapannya. "Siapa juga yang mau jadi istri kedua. Amit-amit deh."
"Sudah sana tidur." Sahabatku ini berlagak mengusirku padahal ini adalah rumahku.
"Kamu tuh sana pulang, kasihan Tina sendirian."
"Tina ditemani anak aku, tenang aja," jawabnya santai. "Pengen ketemu Tante Gabby loh, calon anakku. Besok Tina ingi bertemu kamu, jangan lupa."
"Ih jangan tante dong. Aunty, pokoknya aku mau dipanggilnya aunty. Dah sana pulang. Salam buat Tina, besok sore aku jemput untuk main." Aku mengibaskan tanganku ke arah Vino. "Hussss.... Pulang..."
"Dih dikira ayam apa," ucap Vino kesal tapi ujung-ujungnya tertawa saat sudah sampai pintu rumahku.
•••Palpable•••
Ditulis, Exsalind
27 September 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Palpable [Selesai]
Romance#Love and Hapinness 2 Perempuan keras kepala yang bertahan dengan rasa sakit. Bukannya mengobati luka, justru membuat luka untuk dirinya. Kapan menyerah? Kapan mau mencari obat untuk lukanya? Dan sampai kapan mengabaikan seseorang yang menawarkan di...