BAB 9 - TAK TERKENDALI
Cinta memang kadang membuat bodoh seseorang. Membuat orang jadi lupa diri dan sulit mengendalikan diri sendiri. Beberapa orang mungkin bisa mengendalikannya, namun ada juga yang tak mampu.
Cinta, kata itu magic. Cinta bisa membuat seseorang menjadi baik dan bahkan bisa membuat seseorang menjadi buruk. Seharusnya orang yang mempunyai cinta selalu melakukan yang terbaik. Bukan seperti jaman sekarang, karena cinta orang yang dicinta bisa terluka.
Cinta kali ini membuatku bodoh. Melanjutkan cerita padahal sudah tahu ada luka yang bisa saja akan terulang. Takut kehilangan, takut tidak menemukan orang yang sama, dan segala ketakutan lainnya. Mungkin itu alasan bagi orang-orang yang bertahan meskipun tersakiti.
Sedangkan aku memilih memaafkan Gentha serta memberikan kesempatan kedua kepadanya karena dia yang membuatku merasakan apa itu itu cinta. Bersamanya, aku bisa mengerti rasanya mencintai sekaligus dicintai. Dengannya, aku bisa merasakan bahagia.
"Kamu melanjutkannya, Gab?"
Pertanyaan Nesta secara tiba-tiba membuatku berhenti memotong pola yang telah aku buat. "Melanjutkan apa, Ta?"
"Hubunganmu dengan kekasihmu, siapa itu namanya duh lupa saya."
Aku tersenyum lalu menganggukan kepala. "Saya memberi kesempatan kedua untuknya, Ta."
"Kamu yakin, Gab?" Nesta lalu berjalan menghampiriku. "Bukannya aku mau menakut-nakuti kamu. Orang yang berkhianat biasanya melakukannya lagi. Tapi iya kembali lagi kepada orangnya, kalau benar-benar niat berubah pasti bisa berubah."
"Saya belum bisa kehilangannya, Ta. Saya yakin, Gentha tidak akan mengulanginya."
Nesta menganggukan kepala. "Ya sudah bila itu keputusanmu. Saya hanya bisa mendoakan semoga Gentha benar-benar berubah."
Aku menganggukan kepala sambil mengamini ucapan Nesta. Kemudian ketika Nesta hendak menuju ruangannya, dia berbalik ke arahku lagi. "Kamu mau izin menjenguk keponakannya jam makan siang lebih? Mending tidak usah kembali lagi, Gab. Bolak-balik entar. Langsung izin sampai sore sekalian ya!"
"Serius, Ta?"
"Iya, santai saja Gab. Kamu butuh waktu berdua dengan Gentha, untuk memperbaiki semua." Nesta terlalu baik. Aku tidak akan pernah lupa dengan bantuan yang Nesta berikan selama aku mengenalnya.
•••Palpable•••
Sekarang aku sudah berada di rumah sakit tempat Cia, keponakan Gentha, dirawat akibat kecelakaannya. Gentha sekarang menggandeng tanganku, membawaku ke sebuah ruangan VIP. Dan, ketika pintu ruangan itu terbuka suara Cia pun terdengar saat melihat kedatanganku. "Mbak Gabby, kangen."
"Mbak juga kangen, Ci. Bagaimana? Sudah baikan belum?" ucapku kepada gadis berumur lima belas tahun itu.
"Alhamdulillah sudah mbak."
Aku meletakkan buah-buahan yang tadi aku beli saat perjalanan ke sini. "Mbak kemarin pengen langsung ke sini, tapi sama Mas kamu ini gak boleh."
Cia menatap Gentha dengan tatapan aneh. "Kemarin..." Gadis itu menggantungkan ucapannya. Kemudian mengerjapkan matanya berulang kali. "Anu... Kemarin Mbak Gabby capek kata Mas Gentha. Gak papa mbak, Cia cuma lecet dikit kok. Mas aja yang lebay pakai rawat inap segala."
Aku menatap curiga ke arah mereka berdua. Kok aku merasa ada yang ditutupi ya. Ingin bertanya namun Gentha lebih dulu berbicara. "Takutnya luka dalam, Ci. Jadi perlu pemeriksaan lebih lanjut." Gentha kemudian menatap sekeliling. "Mbak Dini mana?"
"Mama lagi ngurus administrasi. Nanti sore sudah pulang, mas. Tidak ada luka serius kok hasil pemeriksaannya tadi."
"Mbak Dini sudah pulang? Kata kamu kemarin di Semarang?" tanyaku kepada Gentha.
Gentha pun menjawab, "langsung pulang, gara-gara Cia si manja tuh."
Mbak Dini adalah istri dari kakaknya Gentha, dan ibu kandungnya Cia. Pintu pun terbuka setelah keheningan beberapa menit. Mamanya Cia terlihat masih cantik seperti dulu, ah bahkan lebih cantik. Meskipun aku sudah kenal dekat dengan keluarga Gentha, aku jarang bertemu dengan mereka. Hanya sebulan satu atau dua kali saja. Dan karena beberapa bulan ini aku sibuk, belum sempat mengunjungi mereka.
"Eh ada kamu, Gab. Apa kabar? Sudah lama gak main ke rumah ibu. Ibu kangen loh."
"Kabar Gabby baik mbak. Maaf belum bisa mengunjungi Ibu." Aku menatap Gentha sedang memperhatikanku dengan raut bahagia. Kemudian dia berkata, "tuh kamu dikangenin Ibu. Ibukan lebih sayang calon menantunya daripada anaknya sendiri."
Aku memukul lengannya, sambil tersenyum malu. "Apa sih..."
"Makanya cepat halalin, Gen. Supaya ibu ketemu Gabby terus," sahut Mbak Dini yang semakin membuat pipiku kian memunculkan semburat merah.
Gentha menggandeng tanganku, kemudian ternyum datar. "Belum waktunya mbak." Sebuah jawaban yang membuat rasa senang dalam diriku beberapa detik yang lalu langsung lenyap akan kekhawatiran.
"Kamu ini dari dulu jawabannya gitu mulu. Nunggu siap sampai kapan pun kamu gak akan siap, Gen."
Sepertinya mood Mbak Dini juga berubah. Aku pun langsung mengambil tindakan sebelum makin panas. "Gen pulang yuk..." Aku berucap pelan kepadanya. Dia pun mengangguk.
"Mbak, aku sama Gabby pulang dulu ya." Mbak Dini pun menganggukan kepalanya. Aku kemudian menatap Cia. "Cepat sembuh Ci." Dan berganti menatap Mbak Dini. "Duluan mbak."
Setelah berada di dalam mobil kecanggungan pun mulai terasa. Sejak tadi aku diam, Gentha pun juga demikian. Aku sibuk bermain ponsel dan membaca chatingan dari grup teman-temanku kuliah. Kemudian menemukan sebuah undangan online dari salah satu temanku. Aku hampir lupa besok ada undangan pernikahan temanku itu, padahal aku sudah menerima undangan cetaknya dari seminggu yang lalu.
"Gen, besok datang ke pernikahan Vinny? Calon suaminya temen kamu SMA bukannya?" tanyaku memecah keheningan sejak tadi.
Gentha menoleh. "Vinny? Oh iya, kenapa?"
"Datang berdua yuk," ucapku hati-hati, takut Gentha akan marah karena dia selalu menutupi hubunganku dengannya di depan teman-teman kita.
"Gak."
Aku menghembuskan nafas kecewa. Ini bukan pertama kalinya Gentha menolak datang berdua ketika menghadiri acara yang ada teman-teman kita, namun rasa kecewa itu semakin bertambah ketika Gentha menolak lagi, dan lagi. "Sampai kapan, Gen? Sampai kapan kamu menutupinya? Kamu malu punya pacar aku? Kalau kamu malu kenapa mempertahankan hubungan kita. Lebih baik kamu lanjutkan saja dengan selingkuhan kamu itu. Dia lebih cantik bukan daripada aku."
"Gabby stop." Gentha langsung meminggirkan mobilnya dan berhenti. Kemudian memukul stir kemudi melampiaskan amarahnya.
Amarah Gentha membuatku ketakutan. Terakhir melihat Gentha marah adalah dua tahun yang lalu ketika aku bertanya soal pernikahan. Dia pemarah, dan aku selalu berhasil memancing kemarahannya. Makanlah murkanya Gentha, Gabriella.
"Gen, sorry. Aku..." Aku memejamkan mata sebentar, melihat wajah Gentha yang sedang marah benar-benar menakutkan. "Aku hanya lelah bersembunyi."
Melihatku yang ketakutan, Gentha menggenggam tanganku kemudian mengusapnya pelan. "Maaf. Aku membuatmu takut ya?"
Aku menganggukan kepala dengan pelan. "Jangan marah, aku takut Gen."
Gentha diam, memandang lurus ke depan. Tangannya masih menggenggam tanganku erat seolah takut aku akan pergi. "Oke. Kita datang ke pernikahan Vinny bersama. Besok aku jemput di rumah kamu."
•••Palpable•••
Ditulis, Exsalind
24 September 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Palpable [Selesai]
Romance#Love and Hapinness 2 Perempuan keras kepala yang bertahan dengan rasa sakit. Bukannya mengobati luka, justru membuat luka untuk dirinya. Kapan menyerah? Kapan mau mencari obat untuk lukanya? Dan sampai kapan mengabaikan seseorang yang menawarkan di...