17. Fakta Yang Sebenarnya

23 2 0
                                    

Thania merasa aliran darahnya berhenti dan degup jantungnya berdetak lebih kencang. Thania tidak tahu harus bagaimana saat Hira menatapnya ingin tau  apa yang sedang terjadi. Thania tau cepat atau lambat Hira akan tahu, tapi ia tidak menyangka akan secepat ini.

"Seharusnya lo tanya itu sama Rayhan, bukan gue." jawab Thania pelan.

Hira semakin tidak mengerti menatap gusar kedua sahabatnya itu, sebelum akhirnya berdiri dan menatap marah pada keduanya. "Ada apa sih sebenarnya? Kenapa kalian nggak mau jawab! Apa aku nggak berhak tau, apa yang sedang kalian sembunyiin dari aku. Ini ada sangkut pautnya sama aku kan?!" bentaknya membuat Rayhan dan Thania terkejut.

Thania menoleh pada Rayhan, "Jawab Ray! " teriak Thania kesal,

Rayhan membuang nafas kasar dan berdiri memandang Hira di depannya dengan penuh keberanian. "Gue Cinta sama lo." tegasnya pada perempuan itu.

Hira menatap Rayhan dengan tidak percaya, namun sebelum ia berbicara. Rayhan lebih dulu menghentikannya dengan berkata, "Tiga tahun Hira, selama itu aku Cinta sama kamu. Tiga tahun aku pendam perasaan ini buat kamu, tiga tahun aku menjadi pengecut dengan bersembunyi di balik topeng persahabatan.  Aku tau kamu kaget dan pasti nggak menyangka, tapi ini lah kenyataan sebenarnya."

"Aku minta maaf Hira, aku nggak pernah bermaksud untuk membohongi kamu. Aku nggak pernah menginginkan berada di posisi seperti sekarang, jatuh Cinta sama kamu yang jelas hanya menganggap aku cuma sebagai sahabat. Sedangkan aku? Aku sangat berharap suatu saat nanti bisa lebih dari sahabat buat kamu, karena jujur saja. Aku nggak bisa melupakan kamu, bahkan untuk mencobanya saja aku nggak mau. Karena aku cuma mau kamu Fahira Marselia, cuma kamu." katanya dengan suara tercekat dan frustasi.

Hira menggelengkan kepalanya mencoba mengelak, "Nggak, nggak mungkin..." katanya dengan air mata yang mengalir deras di pipinya.

Rayhan maju ingin mendekat, namun Hira menahannya. "Hira, kamu harus terima inilah kebenarannya."

"Gimana aku bisa terima Rayhan?! Kamu yang selama ini menjadi sahabat aku, tiba-tiba menyatakan cinta sama aku! Aku nggak pernah menyangka ini, dan kamu bilang aku harus terima?! Ini nggak semudah yang kamu bilang, ini nggak mudah buat aku." kata Hira dengan nada tinggi,

Rayhan menatap bersalah Hira, "Maafin aku Hira, apa aku salah suka sama kamu. Apa aku salah, kalau aku ingin memperjuangkan kamu. Aku ingin kamu melihat aku sebagai seorang lelaki bukan hanya sekedar sahabat. Apa aku salah?"

Hira mengangguk cepat, "Tentu salah Rayhan! Karena kamu sendiri tau, aku sudah sama Kahfi. Dan kamu tahu sendiri secinta apa aku sama dia. Kamu harus lupa---

"Aku nggak mau! Aku ingin kamu jadi milik aku Hira, sudah cukup aku nunggu selama ini." potong Rayhan cepat.

Hira menggelengkan kepalanya tidak setuju, "Nggak! Kamu nggak bisa maksa aku untuk sama kamu, aku nggak cinta sama kamu Rayhan!! Aku benci sama kamu!!" balasnya sembari mendorong kuat Rayhan dan berlari turun meninggalkan Rayhan yang ingin mengejar namun di tahan Thania yang sejak tadi hanya diam.

Thania menggenggam kuat lengan Rayhan dengan sekuat tenaganya. Thania menangis tanpa suara saat mendengar suara isak tangis Rayhan yang kini terduduk lemas di sofa panjang yang mereka duduki tadi. Thania juga merasakan apa yang Rayhan rasakan, karena sekarang Thania pun masih sangat mencintai Rayhan. Walaupun kini ia melihat sendiri bagaimana Rayhan yang begitu mencintai Hira.

Rayhan bersandar di kepala sofa sembari menyesalkan apa yang baru saja ia katakan pada Hira. Rayhan tidak sadar mengatakan hal tersebut, ia terlalu kalut dan tidak berpikir jernih. Yang ada di pikirannya hanya ingin memiliki Hira, dan Hira. Ia sungguh sangat takut Hira akan benar-benar membencinya. Ia tidak ingin itu terjadi.

Rayhan mencoba bangkit dari sofa, ia harus mengejar Hira dan menjelaskan pada perempuan itu kalau ia tidak bermaksud untuk memaksanya. Namun lagi-lagi lengannya di tahan, Rayhan tau masih ada Thania. Tapi ia mencoba untuk mengabaikannya, terdengar jahat memang. Namun itu lah yang memang harus di lakukannya.

"Lepasin gue." katanya tanpa menoleh pada Thania.

Thania menggelengkan kepalanya tidak setuju, "Nggak untuk saat ini. Gue tau lo mau ngejar Hira, tapi Rayhan. Lo juga harus tau, Hira butuh waktu untuk menerima ini semua. Ini nggak mudah buat dia, biarin dia sendiri. Biarin dia tenang dulu, begitu juga elo. Tenangin diri lo, dan jangan gegabah. Gue tahu apa yang lo rasain, karena gue juga ngerasain." katanya menasehati Rayhan,

Rayhan membenarkan ucapan Thania dan segera duduk kembali, sebelum itu ia melepaskan tangan perempuan itu dari lengannya. Rayhan memejamkan matanya kembali bersandar di kepala sofa, merilekskan diri dan pikirannya sendiri.

Thania tersenyum sedih melihat tangannya sendiri dan segera menghapus air mata yang kembali mengalir. Thania menarik nafas dalam-dalam segera beranjak dari sofa dan turun menuju lantai satu. Thania memanggil salah satu karyawan Rayhan untuk mendekat ke arahnya.

"Tolong buatin teh hangat sama makanan buat Rayhan ke atas ya." kata nya meminta tolong,

Karyawan tersebut pun mengangguk mengiyakan, dan segera masuk ke dapur untuk membuatkan yang Thania minta. Setelah itu, Thania kembali ke atas dan melihat Rayhan yang sudah tertidur dengan nafas teratur. Thania melirik lemari kerja Rayhan dan membukanya pelan-pelan mencari sebuah selimut yang di sering di pakai lelaki itu kalau sedang menginap di caffe.

Thania tersenyum senang mengambil selimut yang ia temukan. Thania beranjak dari lemari menuju Rayhan yang tertidur nyenyak dan segera memakaikan selimut tebal yang ia temukan tadi untuk menutupi tubuh Rayhan sampai ke batas leher. Thania berdiri tegak kembali saat karyawan Rayhan datang sembari mengulurkan sebuah nampan berisi teh hangat dan makanan ringan pesanannya tadi. Thania mengucapkan rasa terima kasih pada karyawan tersebut sebelum karyawan itu pergi lagi.

Thania meletakkan nampan tersebut ke atas meja kerja Rayhan, setelah itu menarik sebuah meja kayu pendek yang tergeletak di samping meja kerja Rayhan. Thania menarik pelan meja tersebut dan meletakkannya tak jauh dari Rayhan. Thania mengangkat nampan tadi dan memindahkan ke atas meja kayu pendek tersebut.

Thania tersenyum lega dan memandang Rayhan sejenak, sebelum akhirnya melangkah pelan menuruni tangga untuk segera ke kampus. Hari ini ia masuk siang, karena Dosen yang mengajar di kelasnya memundurkan jamnya.

"Semoga aja lo nggak nekat lagi Ray." katanya pelan.

Aku, Kamu dan Dia (COMPLETE) √√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang