19. Semakin Tak Tergapai

20 1 0
                                    

Thania pikir Rayhan mengajak naik ke atas untuk mengucapkan terima kasih atau menanyakan keadaannya yang datang setengah basah seperti sekarang. Tapi nyatanya hanya Hira yang di ada di pikiran Rayhan. Lalu untuk apa ia repot-repot datang kemari lagi, kalau bukan karena mengkhawatirkan Rayhan. Ia tidak mungkin berada di sini sembari menahan rasa lapar yang sejak tadi siang mengganggunya. Karena terlalu memikirkan kedua sahabatnya, ia jadi lupa pada diri sendiri. Apalagi dengan sikap Rayhan yang sama sekali tidak memperdulikannya.

Thania mengelap sisa air hujan yang ada di jaketnya, ia merasa miris pada dirinya sendiri. Yang rela hujan-hujanan hanya untuk mengetahui keadaan orang yang ia, perdulikan. Namun yang di perdulikan malah memperdulikan sahabatnya sendiri. Thania merasa ingin menangis sekarang, apalagi dengan tidak sengaja ia melirik Rayhan yang memandangi foto Hira dalam diam.

Bodoh lo Thania! Apa yang lo harapin dari lelaki yang mencintai perempuan lain? katanya berteriak dalam hati.

"Gue balik ya," kata Thania tanpa melihat pun sudah tau kalau ucapannya tidak di gubris oleh Rayhan yang masih terus memandangi foto Hira.

Luruh sudah air matanya dan dengan cepat berlari turun dari tangga dan melewati beberapa karyawan yang menyapanya. Thania memilih terisak di jalanan setelah keluar dari caffe Rayhan, hujan masih mengguyur kota Jakarta. Seakan hujan memang sengaja di turunkan untuk ikut merasakan sedih karenanya.

Thania berteduh di bawah halte bus yang tidak jauh dari caffe, ia memeluk dirinya sendiri kala dingin mulai menusuk kulitnya. Thania menunggu kedatangan bus, ataupun ojek yang belum kelihatan. Tubuh kecilnya sudah merasa menggigil, apalagi angin yang terasa sangat kencang. Serta baju yang sudah basah semua.

"Thania!"

Thania mengangkat kepalanya menoleh ke samping menemukan Rayhan dengan payung serta jaket nya berjalan ke arahnya. "Lo kenapa hujan-hujanan gini sih? Kenapa nggak ngomong dulu kalo mau pulang, kan gue bisa nganterin lo. Daripada hujan-hujanan kayak begini, kalo lo sakit nanti gimana coba." kata Rayhan sembari membuka jaketnya dan memakaikannya pada Thania.

"Gue sudang bilang kok tadi, lo nya aja yang nggak dengar." katanya dengan nada bergetar karena menggigil.

Rayhan sontak terdiam dan kembali berbicara, "Ya maaf gue nggak dengar tadi,"

Rayhan merangkul Thania agar mendekat ke arahnya dan mereka berjalan kembali ke caffe dengan payung yang di bawa Rayhan tadi. Sesampainya di caffe, Rayhan membawa Thania ke lantai atas dan memberikan handuk pada perempuan itu untuk mengeringkan badannya. Rayhan membuka lemari kerjanya membuka laci bawah tempat ia menyimpan baju. Di sana, ia menemukan baju Hira yang pernah di tinggalkan perempuan itu saat menginap kemari.

Rayhan memberikan baju tersebut pada Thania, "Ganti baju sono, entar lo masuk angin lagi. Gue ke bawah bentar, minta Helen buatin teh hangat." katanya sembari turun ke lantai bawah.

Thania segera mengganti pakaian dengan baju yang di berikan Rayhan. Thania tau bahu ini milik Hira, karena ia juga punya baju seperti ini sama percis. Karena mereka memang membeli samaan, tapi ia tidak tahu bahwa baju ini ada di sini.

"Apa mungkin Hira pernah nginap di sini? Berdua sama Rayhan gitu?" tanyanya dalam hati.

Thania sudah selesai mengganti bajunya sembari mengikat handuk di kepalanya untuk mengeringkan rambut. Sepertinya hari sudah malam, dan ia pun terpaksa berbohong pada orang tua nya dengan berkata bahwa ia menginap di rumah Hira.

Rayhan datang kembali dengan membawa sebuah nampan sama seperti yang Thania lakukan saat tadi pagi.

"Ini lo minum dulu, gue yakin lo juga belum makan kan? Untung gue punya karyawan yang siap masak buat gue kapapun." kata Rayhan sembari meletakkan nampan tersebut ke tangan Thania.

Thania sendiri tidak banyak bicara dan mulai meminum teh hangatnya sembari memakan makanannya dengan lahap. Thania benar-benar sangat lapar, hingga dengan cepat menghabisi makanannya. Thania bersendawa karena kekenyangan, membuat nya menjadi malu namun sepertinya Rayhan tidak mendengarnya.

Suara dering telfon Thania berbunyi saat Thania meletakkan nampan di dekat tangga. Thania segera meraih ponselnya sembari melihat siapa yang menelponnya malam-malam seperti ini.

"Siapa?" tanya Rayhan, kepo.

"Bagas." jawabnya pelan, kemudian kembali duduk di samping Rayhan sembari meletakkan ponselnya di sofa.

Thania lebih memilih menyisir rambutnya dengan sisir yang di bawanya dari dalam tas. Daripada mengangkat telpon yang terus berbunyi.

"Kenapa nggak di angkat sih Than?" tanya Rayhan lagi, melihat nama Bagas tertera di layar ponsel perempuan itu.

"Nggak ah males." jawab Thania mengendikkan bahunya malas,

"Lo gimana sih? Bagas kan pacar lo," kata Rayhan,

"Udah putus kali," sahut Thania cepat,

"Apa? Putus?" tanya Rayhan dengan wajah tercengang, "Kenapa?" tanyanya lagi,

"Ya karena gue nggak cinta, lagian gue nggak mau ngasih harapan palsu ke dia. Bagas pantas dapat yang lebih baik dari gue." jawab Thania sembari tersenyum kecut,

"Dan menurut lo? Lo nggak baik buat dia gitu?"

"Iya, apa yang Bagas harapkan dari cewek seperti gue. Gue nggak cantik, nggak kaya, nggak pintar juga."

Rayhan menggelengkan kepalanya tidak setuju, "Nggak, Bagas nggak mungkin seperti itu. Gue yakin dia tulus sama lo, dan nggak mikir hal begituan juga."

Thania tertawa miris, "Sekarang gue balik pertanyaannya, kenapa lo nggak mencoba sama gue? Gimana kalau kita pacaran?" tanyanya telak,

Rayhan tercekat, "Thania--

"Jawaban gue sama seperti lo, karena itu nggak mungkin. Karena di hati gue cuma ada lo, dan di hati lo cuma ada Hira." potong Thania menatap sendu Rayhan.

Aku, Kamu dan Dia (COMPLETE) √√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang