Silakan dilanjut....
Angin malam berembus melewati lorong dimana Reena berdiri di depan ruang perawatan neneknya. Ia terpaku memandangi wajah nenek dari balik kaca pada pintu di hadapannya.
Sejak mengetahui biaya operasi yang akan dijalani neneknya, pikiran Reena terus dikerubungi ribuan pertanyaan bagaimana cara mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu sesingkat itu.
Reena berjalan keluar dari rumah sakit karena bosan dengan bau obat-obatan, ia duduk di bangku pada taman depan. Menatap langit malam bertabur bintang, berdoa dalam hati agar segera mendapatkan solusi dari masalahnya.
Ketika melihat di samping taman ada cafe kecil, Reena segera ke sana dan memesan secangkir wedang ronde. Ia abaikan beberapa orang dengan ekspresi datar yang tengah menikmati minuman masing-masing. Beberapa di antara mereka meliriknya, barangkali heran melihat gadis berseragam SMA ada di luar malam-malam begini.
"Semua sakit pasti ada obatnya, bersabarlah."
Reena mengeja tulisan di dinding cafe itu dalam hati. Ia lalu menggenggam semangkuk minumannya begitu seorang gadis bertubuh kurus pendek mengantarkan pesanannya. Dahi Reena dibuat berkerut ketika waiters tersebut menaruh sepiring pay apel di mejanya.
"Saya hanya pesan wedang ronde saja."
"Ini gratis, Kak, selamat menikmati. Semoga malam Kakak menyenangkan," ucap gadis itu seraya mempersembahkan sunggingan senyum.
"Te-terima kasih." Reena balas tersenyum, pandangannya lalu tertuju ke para pekerja di kafe itu yang semuanya memasang wajah sumringah. Ketika mendongak ke atas, Reena menemukan salib putih terpasang di dindingnya, membuat hatinya setenang danau.
Sebelum akhirnya Reena bergegas pergi dan mendapat kenyataan bahwa wedang rondenya juga gratis, matanya berkaca-kaca di hadapan waiters tadi. "Terima kasih, Dek," ucapnya lirih. "Siapa namamu?"
"Claudia, kalau Kakak?"
"Saya Reena, senang bisa mengenalmu."
Sang waiters tersenyum tulus dan meminta Reena bersabar, barangkali ia tahu setiap pengunjung kafe kecil itu adalah seseorang yang sedang menunggui orang sakit. Reena mengangguk ketika gadis itu memintanya datang kembali jika butuh minuman atau cemilan. Ia juga memberikan nomor handphone-nya ke Reena, gadis itu bersedia menanyakan kabar pasien ke dokter jika sewaktu-waktu Reena tak bisa datang membesuk. "Untuk jaga-jaga, Kak."
Reena tersenyum seraya menerima secarik kertas itu, ia lantas menyimpannya di tas selempangnya. "Tuhan memberkatimu, Dek."
Malam mendingin ketika Reena kembali ke ruang perawatan neneknya, wanita yang kini tampak menggigil itu belum juga membuka matanya. "Nenek yang sabar ya, semua ini pasti akan segera berlalu. Reena akan mengusahakan yang terbaik. Nenek ingat, kan, kita sama-sama punya harapan besar? Nenek akan segera sembuh dan jadi pelatih berkuda di SMK Bhakti Karya," ucap Reena sembari mengusap lengan neneknya.
Melihat neneknya kedinginan padahal sudah berselimut, Reena yang mengetahui jam baru menunjukkan pukul 21:00 memutuskan pulang untuk mengambilkan neneknya selimut tebal kesukaan beliau.
Beberapa saat kemudian Reena sudah berada di depan rumah sakit dan memesan ojek pangkalan, sebenarnya ia ingin memesan ojek online, tapi handphone-nya ketinggalan di rumah. Jarak rumah sakit ke rumah Reena sekira satu kilometer, membuat perjalanan itu tak terlalu membutuhkan waktu lama.
Namun satu kejadian yang membuat Reena kesal terjadi, motor yang ditungganginya mogok di tengah jalan.
"Maafkan saya, Dek," ucap Tukang Ojek sembari meringis dan menunjukkan rona merasa bersalah.
Reena hanya mengangguk dengan senyum getir dan napas berembus cepat. Jalanan menuju rumahnya tampak gelap, usai mengeluarkan uang untuk biaya ojek yang ternyata malah digratiskan oleh si tukang ojek, Reena cepat-cepat melenggang pulang, menembus dinginnya malam yang terasa merasuk hingga ke tulang.
Melewati jembatan gantung yang biasa ia lewati sepulang sekolah, Reena yang celingukan dan tak memapasi satu orangpun semakin mempercepat langkahnya hingga napasnya memburu. Pikirannya terus tertuju kepada nenek, juga uang tiga puluh lima juta.
Selepas melewati jembatan yang minim pencahayaan, Reena berlari karena jalan di depan yang menuju ke desanya begitu gelap. Tiba-tiba ia melihat sesosok pria bertubuh tinggi berjalan ke arahnya, membuatnya kaget lalu segera memutar arah langkah. Napas Reena kian memburu, ia terus berlari di antara kekalutan pikirannya, hingga....
Bruck!
Reena tersandung bebatuan dan jatuh tersungkur. "Sial!" gerutunya kesal, terlebih saat merasakan kenyerian akut di lututnya. Dengan napas yang terus memburu, Reena menoleh ke arah sesosok pria tadi yang ternyata kian dekat dengannya.
Reena memejamkan mata karena takut, tiba-tiba sosok itu mengulurkan tangan dan sedikit menyentuh pundaknya. Reena mencium aroma parfum cowok yang begitu menenangkan.
Waktu seakan berhenti, ketakutan Reena yang menggunung hampir membuatnya menjerit. Namun beberapa saat ia menunggu, tak terjadi apa-apa dengannya. Bahkan saat ia membuka matanya, semuanya baik-baik saja.
Pria di depannya ternyata masih mengulurkan tangan, rupanya ia menawarkan bantuan. Sesaat kemudian Reena yang kesusahan untuk bangkit segera meraih tangan orang tersebut. Baru setelah ia berdiri dan orang tersebut menyalakan sebuah senter, Reena segera sadar dan mengenali orang itu dari pakaiannya. Ia adalah cowok bule yang siang tadi dipapasi Reena sedang bermain bunga dandelion dengan anak-anak di desanya.
"Thanks," ucap Reena lirih, tiba-tiba jantungnya berdebar aneh. Dilihat olehnya pemuda tersebut segera berlalu meninggalkan Reena dalam keterpakuan. Reena sempat melihat di punggung pemuda tersebut ada bedil yang diselempangkan ke belakang sebelum akhirnya pemuda itu mematikan senter dan berjalan menjauh.
Reena siap melanjutkan langkah menuju rumah, namun dahinya dibuat berkerut ketika menundukkan kepala, ia melihat selembar kertas putih di atas tanah. Ia sempat celingukan mencari pemuda tadi, berpikir barangkali kertas itu milik sang pemuda, namun nyatanya pemuda itu telah lenyap dalam kegelapan, membuat Reena memutuskan untuk memungut kertas tersebut, melipat dan menyimpannya di tas selempangnya sebelum akhirnya melenggang pulang.
"Lomba balap kuda berhadiah 50 juta rupiah?!"
Mata Reena terbelalak begitu tiba di rumah dan membuka lipatan kertas tadi.
Terima kasih, vomen dulu sebelum lanjut, see you next week, Manteman!
Salam literasi dan semoga selalu rendah hati!
Segala kritik dan saran kuterima dengan senang hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
BANG MY HEART ✓ [Selesai]
Teen FictionGadis pembalap kuda bertemu pemuda ahli tembak? [Selesai- Buku bisa dipesan melalui penerbit Crystal Books] Hidup Falovre Reenata terasa jungkir balik setelah neneknya, satu-satunya keluarga yang ia miliki, jatuh sakit dan harus melakukan operasi gi...