Bagian Dua Puluh Enam

136 19 2
                                    

Silahkan dilanjut, Guys....

◀️☸️☸️☸️▶️

STADION Bandongan dipenuhi riuhnya sorakan penonton ketika tiga peserta pemegang diamond ticket memasuki arena. Hari ini adalah babak akhir lomba dimana para peserta akan memperebutkan hadiah sebesar 50 juta rupiah.

  Reena terus berdoa dalam hati ketika ia dan Blacky mendekati garis start. Ia begitu bersemangat meski ia kurang tidur. Kedekatannya dengan Steve tadi malam membuatnya terus memikirkan wajah pemuda itu, terlebih semalam usai latihan berakhir pada pukul 23:30, Steve mengantarnya pulang dan mengacak-acak rambutnya lalu berkata. "Semangat untuk hari esok Ren. Aku minta maaf besok bakal telat untuk menyaksikan babak final itu."

  Ucapan itulah yang sampai detik ini membuat Reena tersenyum bahagia.

  "Reenata! Reenata!" Suara supporter Reena terdengar meriah dari arah kanan Reena, ketika ia menoleh, Reena mendapati Eric dan beberapa orang Rejosari duduk di sana seraya melambai-lambaikan tangan ke arahnya.

  "Dalam hitungan mundur, babak final loma ini dinyatakan dimulai! Tiga! Dua! Satu! Gooo!" Suara sang pembawa acara tiba-tiba mengalun lantang, membuat Reena yang tersentak segera melarikan Blacky sekuat tenaga.

  "Hiyaks!" Reena membungkukkan badannya, sehingga kuda hitam itu lebih mudah diatasi dan lari lebih kencang, membawa Reena ada di posisi dua.

  Di babak final ini Reena tak bisa memungkiri bahwa kuda yang ditunggangi kedua lawannya lebih besar dari Blacky, larinya cepat dan tampak sangat terlatih, membuatnya kewalahan hingga ia kaget ketika tiba-tiba diselip lawannya dan membuatnya ada di posisi paling belakang.

  Gemuruh sorakan penonton pun menggelegar menggetarkan hati Reena. Pada setengah track, Reena merasa beruntung karena berhasil menyelip lawannya lagi sehingga mengembalikan posisinya semula di urutan ke dua.

  Mendapati lawan di depannya yang sangat sulit diselip, Reena pun berusaha menyemangati dirinya sendiri. Kamu harus menang, Ren! Harus! Jangan mengecewakan orang yang sudah menolongmu, batinnya mantap. "Hiyaks!"

  Persaingan berlangsung memanas ketika akhirnya Reena berhasil ada di posisi pertama, sontak gemuruh suara penonton pun menggegar dahsyat.

  Begitulah perlombaan, yang tadi ada di posisi pertama dan sulit untuk Reena selip, kini malah ada di paling belakang.

  Sorak sorai penonton pun kian meriuh, sebab menjelang garis finish, ketiganya sejajar.

  Hingga....

  "Garis finish masih lima ratus meter lagi!" Sang pembawa acara berseru lantang.

  Ayo Blacky! Ayo! Reena semakin membungkukkan badannya, tatapannya terus fokus tertuju ke jalan yang akan dilaluinya. Blacky, please, percepat larimu.

  "Astaga!" Reena kaget bukan main saat kuda hitam yang ditungganginya itu malah tampak memperlambat larinya.

  Tanpa Reena duga, tiba-tiba seorang lawan berhasil menyelipnya, membuat sorak-sorai penonton semakin bergemuruh.

  Blacky, please! Napas Reena seketika berembus memburu, jantungnya berdegup kencang.

  Garis finish sudah di depan mata Reena, namun lawan di belakang Reena tiba-tiba menyelip lagi, hingga....

  "Sangat tak terduga! Reenata yang tadi sempat di posisi pertama kini tertinggal!" Seru sang pembawa acara. "Kita lihat bagaimana selanjut...."

  Penonton menggila.

  Tiba-tiba....

  Kedua lawan Reena melarikan kuda mereka seperti kesetanan hingga berhasil menembus garis finish lebih dulu.

  "Nooo!" Reena menjerit melihat itu, mukanya seketika berubah merah.

   Ketika mendapat kenyataan bahwa ia jadi yang terakhir, begitu ia menembus garis finish, tubuh Reena ambruk dan melemas di punggung Blacky.

  Diiringi seruan pembawa acara dan meriahnya seruan penonton, air mata Reena berlinang, sontak wajah Mr. Houghton muncul di pikirannya, lengkap dengan bayangan rona kecewa di wajah lelaki itu.

  Tapi, kompetisi memang sudah berakhir. Di antara kemeriahan supporter yang uyel-uyelan turun ke lapangan untuk mengerubungi jagoan masing-masing, Reena turun dari punggung Blacky dengan kepala tertunduk dan tubuh melemas. Tak ada yang mendekatinya. Menghiburnya.

  Ketika penyerahan medali dilaksanakan, medali perunggu terkalung di leher Reena lalu ia dinyatakan berhak atas hadiah juara ke tiga sebesar 10 juta rupiah. Saat itu juga, tak ada seorang pun yang datang dan mendekati Reena. Bahkan hingga stadion menyepi. Tak ada Mr. Houghton, tak ada warga Rejosari, tak ada Eric, tak ada siapapun.

  "Hiks!" Reena sesekali terisak. Ia lantas mengikat Blacky dan duduk di salah satu kursi tribun. Ia kembali terisak-isak, dadanya menyesak dan terasa panas.

  Keheningan menyeruak, yang Reena lihat selanjutnya di tempat itu adalah para cleaning service yang mulai bertugas membersihkan sampah-sampah.

  Nenek, maafin Reena. Reena mengusap air matanya dengan punggung tangan seraya terus terisak. Rasa bersalahnya kepada Mr. Houghton menggunung, juga rasa bersalah kepada diri sendiri. Segala andai-andai segera merajam pikirannya. Andai tadi aku lebih fokus, batinnya di antara derasnya aliran air matanya.

  Keheningan menyeruak.

  Tiba-tiba dari arah pintu masuk stadion seseorang tampak berlari ke arah Reena, seorang pemuda dengan ekspresi khawatir dan buru-buru. Dialah Steve.

  Reena masih menunduklan kepala, tak menyadari kedatangan pemuda itu.

  Begitu Steve sampai dan akhirnya berdiri tepat di depan Reena, Reena segera mengangkat wajahnya yang sendu dan berurai air mata. Mereka bertemu pandang sesaat hingga Reena yang kaget lantas segera mengusap-usap air matanya.

  "Heyyy, everything gonna be alright, Ren," ucap Steve lirih, mencoba menenangkan Reena. pemuda yang mengenakan kemeja putih dan jaket denim itu lantas duduk di sebelah Reena. Menatap gadis itu yang terus terisak.

  Disaksikan terik mentari yang kian memanas di tengah siang ini, Steve meraih tangan Reena dan menggenggamnya erat, mencoba mengalirkan kesabaran. "Ini wajar dalam semua perlombaan Ren, tenanglah," ucapnya lagi dengan suara lembut.

  Reena terus terisak-isak.

  Sedetik kemudian, tanpa Reena sangka-sangka Steve mendekap tubuhnya, membuat Reena mematung kaget dibuatnya.

  Hening. Reena tak menyangka oleh dekapan itu, yang ia dengar selanjutnya hanya hembusan napas Steve yang menerpa ubun-ubunnya.

  "Ren, dengarkan. Aku mengkhawatirkanmu," lirih Steve seraya mengusap-usap punggung Reena.

  Di antara kesedihan dan kegugupannya, Reena memberanikan diri menempelkan pipinya di dada Steve yang penuh detak-detak kencang. Hingga, dalam dekapan itu, entah kenapa hati Reena terasa dilindungi dari rumitnya masalah-masalah yang ia harapi.

  Steve memeluk Reena lama, hingga tiba-tiba....

  Ringgg!

  Sebuah dering telepon berbunyi di ponsel Reena, membuat Reena tersentak.

  Steve lantas melepas pelukan dan ia beradu pandang kembali dengan Reena. "Please don't cry," ucap Steve lirih, Reena pun mengangguk-angguk paham.

  Panggilan dari Rumah Sakit? batin Reena ketika menengok ponselnya. Ia pun segera mengangkatnya. "Halo?" sapanya dengan suara bergetar.

  "Selamat siang saudari Falovre Reenata, bisakah anda datang ke Rumah Sakit sekarang? Siang ini nenek anda harus menjalani cuci darah."

  "Hiks!" Reena kembali menangis, ia lalu meletakkan ponselnya di pangkuan dengan tangan melemas.

  "Segera temui nenekmu, Ren. Blacky biar kuatasi."

  BERSAMBUNG....
  Vomment yuk!

BANG MY HEART ✓ [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang