Happy weekend, guys
And happy reading!Wes, ngono wae
💕
Reena tiba di rumah pagi ini setelah menjaga Nenek semalaman, ia harus memberi makan Milky-White, mengurus taman dan beberapa urusan rumah lainnya. Pikirannya terus tertuju ke lomba balap kuda dua hari mendatang.
Pikirannya lumayan tenang oleh kabar dari Dokter semalam yang mengatakan neneknya sempat sadar dan mau makan, selain itu selama menjaga beliau semalaman, Reena melihat wajah nenek tampak semringah, tak lagi pucat seperti hari kemarin. Namun meski begitu, prioritasnya saat ini tetap sama, segera mendapatkan uang untuk biaya operasi beliau.
Aku harus latihan berkuda pagi ini juga, batin Reena sembari berjalan menuju gudang penyimpanan jerami di belakang rumah.
◀️☸️☸️☸️▶️
Usai menyelesaikan tugas rumahnya, Reena sarapan seadanya lalu mandi. Sekira setengah jam setelahnya, ia yang sudah mengenakan pakaian berkuda secara lengkap segera melarikan Milky White menuju padang rumput.
Mentari yang bersinar keemasan seolah mewarnai desa Rejosari, mengusir putihnya kabut dingin di musim kemarau ini.
Reena terus melarikan kuda putihnya mengelilingi padang rumput itu, segala teknik berkuda yang diajarkan sang Nenek terus dicobanya, sebab lomba balap kuda tidak hanya mengandalkan kecepatan lari, tapi juga soal keselamatan diri sendiri dan juga lawan demi lancarnya keberlangsungan lomba.
Di putaran ke delapan, Reena menghentikan laju kudanya di bawah pohon mahoni besar di tengah padang rumput itu, ia ingin mengistirahatkan Milky White barang sebentar. Ia lantas turun, memasang sebuah pasak di tanah lalu mengikat kudanya di sana.
Ketika Reena ingin duduk di bangku kayu di dekatnya, matanya yang menerawang jauh menemukan siluet seorang pria menunggangi kuda hitam yang berjalan santai menuju ke arahnya. Dari warna rambutnya, juga pakaiannya, Reena mengenali pria itu. Mr. Houghton? batinnya heran dengan dahi mengernyit.
Pria itu datang dari jalan setapak yang menuju ke bukit Setri.
Di antara semilir angin pagi yang cukup mendinginkan kegerahan Reena, ia menunggu kedatangan Mr. Houghton. Siap menyambut dengan sopan pria Belanda yang telah menolong kehidupannya itu.
"Hey, Ren. Kenapa berhenti?" tanya Mr. Houghton ketika sudah dekat, beliau lantas menghentikan laju kudanya dan turun, mengikat kudanya lalu mendekati Reena.
"Saya sedang mengistirahatkan kuda saya, Tuan," jawab Reena sembari menggeser duduknya dan mempersilahkan dengan ramah lelaki itu untuk duduk.
Mr. Houghton tersenyum lalu duduk. "Saya mengamati latihanmu dari tadi, Reen."
Reena tersenyum tipis.
"Melihat kelihaianmu berkuda, saya yakin masa depanmu akan bagus kalau kamu terus menekuninya."
Senyum Reena semakin melebar.
"Lombanya tinggal dua hari lagi, Ren. Selain banyak berlatih, kamu juga harus beristirahat yang cukup," ucap Mr. Houghton dengan pandangan menerawang.
"Terima kasih, Tuan."
"Kalau boleh tahu, apa motivasi terbesarmu mengikuti lomba ini, Ren?"
Hening.
Pandangan Reena menerawang di antara gerombolan awan putih yang terbang arak berarak. Jantungnya berdebar kencang, bayangan wajah Nenek seketika terbentuk dari awan-awan di langit. "Hadiah lomba tersebut untuk biaya operasi Nenek, Tuan." Kata-kata itu keluar begitu saja dari bibir Reena, berbanding terbalik dengan logikanya yang sebenarnya tak ingin menceritakan masalahnya kepada orang lain.
Raut wajah Mr. Houghton yang semula setenang danau mendadak diwarnai ekspresi iba. "Jesus. Kau anak yang baik, Ren, saya salut." Beliau menatap Reena dan keduanya bertemu pandang sesaat.
Hening. Reena tersenyum getir.
"Kapan operasi beliau akan dilakukan, Ren?"
"Minggu ini, Tuan. Tapi menunggu saya melunasi biaya adiminstrasinya dulu."
"Dan kalau tidak segera dilunasi, nenekmu akan batal dioperasi dan dipulangkan begitu saja?"
Reena diam dan tertunduk, ia menelan ludah getir.
"Sudah jadi rahasia umum, prosedur banyak Rumah Sakit di negeri ini sangat kacau."
Mata Reena memerah, dan ia menyembunyikannya.
"Ren, kau harus tahu, tujuan saya menemuimu pagi ini adalah untuk memberitahukan bahwa tadi jam tujuh, panita lomba tersebut menelpon saya, mengabarkan bahwa sesi lomba itu dibagi menjadi tiga dan harinya berbeda, hari pertama dan kedua adalah babak penyisihan sementara hari berikutnya adalah finalnya. Jika kau menang, hadiahnya pun baru akan diberikan dua minggu setelahnya."
Mendengar itu Reena terperanjat, kaget bukan main, hal yang membuat matanya terbelalak.
"Dan mendengar penuturan kamu barusan, saya khawatir Nenek kamu akan dipulangkan oleh pihak Rumah Sakit bahkan sebelum kamu menyelesaikan banyak sesi dari lomba itu."
Hening. Seketika hati Reena terasa nyeri. Bagaimana tidak? Usahanya mencari solusi untuk mendapatkan biaya operasi yang beberapa kali mendapat rintangan, malah berakhir seperti ini. Ia jadi membayangkan ketika pihak Rumah Sakit memulangkan neneknya dan kesehatan beliau jadi menurun. Air mata Reena menetes.
Keheningan menyeruak.
Tiba-tiba ponsel Reena berdering, sebuah panggilan menanti untuk dijawab. Dan setelah ia mengeceknya, ternyata Claudia.
"Halo, Kak Ren!" Suara Claudia terdengar lantang begitu Reena mengangkat teleponnya.
"Ya, Claud. Ada apa?"
"Cepat kemari! Nenekmu kritis!" jawab Claudia dengan napas terengah-engah. "Pihak rumah sakit sudah menelpon rumahmu tapi tak ada yang mengangkat."
"Astaga! Iya, iya, aku segera ke sana!" sahut Reena cepat, ia segera mematikan teleponnya dan bangkit dari duduknya. Dilihatnya dahi Mr. Houghton mengernyit, raut wajahnya seolah berhias tanda tanya. "Nenek saya kritis, Tuan. Saya pamit dulu," ucap Reena gugup, napasnya memburu, sepercik air mata menghiasi ekor matanya, ia siap berlalu.
Mr.Houghton menampakkan wajah iba seraya bangkit. "Tunggu, Ren!" Beliau menangkap pergelangan tangan kanan Reena, membuat Reena yang sudah mulai melangkah segera menoleh.
"Saya siap membayar biaya operasi nenekmu, akan saya transfer siang ini," ucap Mr. Houghton mantap, rona iba masih tertahan di wajahnya, kali ini berhias ketulusan.
Seketika mata Reena terbelalak, ia terperanjat. Jesus! Thank you! batinnya kaget. Apa dia benar-benar malaikat yang diutus Tuhan? Refleks Reena langsung memeluk pria itu. "Terima kasih, Tuan! Terima kasih!" ucap Reena cepat, ia sangat terharu, air matanya mengalir deras.
Mr. Houghton lantas mengusap-usap pundak Reena seolah mengalirkan kesabaran. "Ren, dengar." Ketika pelukan itu berakhir, beliau memegangi pundak Reena. "Kamu gadis muda yang mandiri, mendapat masalah serumit ini dan kau tak pernah mengeluh membuat saya trenyuh. Temui nenekmu segera, Ren. Saya tahu kamu sangat menyayanginya, maka lakukanlah yang terbaik untuknya. Saya akan segera menelpon pihak Rumah Sakit dan mentransfer biaya operasinya agar Dokter segera ambil tindakan." Mata Mr. Houghton memerah.
"Tapi, Tuan. Kenapa Tuan sebaik ini kepada saya?" Reena terisak.
"Saya memandangmu sudah seperti putri saya sendiri, Ren."
Reena yang masih merasa seperti mimpi hanya bisa mengucapkan kata terima kasih berulang-ulang. Ia lantas pamit.
Sepeninggal Reena, Mr. Houghton menatap gadis itu yang melarikan kudanya dengan kencang. Air mata beliau menetes, beliau segera mengambil tisu di sakunya.
◀️☸️☸️☸️▶️
Trims atas waktunya, sudah mau baca episode ini. Semoga nenek Reena baik-baik aja ya, Guys.
Stay Tuned!
Jangan lupa vomment, follow, dan masukkan Bang My Heart ke rak baca kamu.
See you!
![](https://img.wattpad.com/cover/197539308-288-k545445.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BANG MY HEART ✓ [Selesai]
Teen FictionGadis pembalap kuda bertemu pemuda ahli tembak? [Selesai- Buku bisa dipesan melalui penerbit Crystal Books] Hidup Falovre Reenata terasa jungkir balik setelah neneknya, satu-satunya keluarga yang ia miliki, jatuh sakit dan harus melakukan operasi gi...