Bagian Tiga Puluh Tujuh

161 23 6
                                    

  Reena dan keluarga Mr. Houghton baru saja menyelesaikan makan malam di ruang makan hotel itu, mereka siap membubarkan diri.

  Ketika Reena melenggang lebih dulu dan meninggalkan ruangan itu, Mr. Houghton tampak berbisik kepada Eric seraya menepuk pundak putranya itu. Di belakangnya, sang istri berdiri dengan kepala tertunduk. Wanita itu tak bicara sepatah katapun sejak makan malam dimulai.

  "Aku harus ke toilet, Ayah. Kurasa Steve bisa melakukannya." Eric menyahut.

  Steve yang berjalan di depan mereka segera menoleh. "Ada apa?" tanyanya dengan dahi mengernyit.

  "Antar Reena ke kamarnya," ucap Mr. Houghton.

  Dahi Steve masih mengernyit, ia malah mematung.

  "Lakukan saja," lanjut Mr. Houghton. "Pastikan dia langsung menuju kamarnya dan beristirahat, kalau dia keluar-keluar kamar lapor kepadaku."

  "Baiklah," jawab Steve yang lantas melanjutkan langkah, dilihatnya Eric berlari menyalipnya, sepertinya adik tirinya itu sudah tak sabar untuk sampai ke toilet.

  Sementara itu Reena yang terus berjalan menuju ke kamarnya juga diselip oleh Eric. "Duluan ya, Reen!" ucap pemuda itu. Reenapun hanya tersenyum tipis untuk menanggapinya.

  Entah kenapa Reena merasa pikirannya tak enak malam ini, melihat keanehan di wajah Mr. Houghton. Ia sering menyaksikan kekakuan sikap Mr. Houghton di meja makan karena ketidak-harmonisan hubungan Steve dengan beliau, sang istri dan Eric. Tapi malam ini berbeda, bukan hanya kekakuan, ia melihat sorot mata Mr. Houghton berhias kebahagiaan, kepuasan, dan kejahatan. Hanya saja sebuah perisai seakan menghalangi itu semua untuk ditampilkan. Hingga perisai kuat itu membuat suasana ruang makan jadi menghening sepanjang makan malam berlangsung.

  Entahlah, batin Reena seraya terus melanjutkan langkah. Melewati depan kamar Eric, ia lihat ruangan itu terbuka lebar, membuat dahinya mengernyit. Entah kenapa intuisinya seakan menyuruhnya menghentikan langkah dan memandangi kamar yang lebih mewah berkali-kali lipat dari kamarnya itu. Hingga sebelum Reena mendekat, ia sempat celingukan, memeriksa keadaan di sekeliling, memastikan tak ada siapa-siapa di lorong besar dan terang benderang dengan banyak patung dewa-dewi Yunani itu.

  Reena berdiri di ambang pintu kamar itu, ia dengar Eric tengah berada di kamar mandi dengan suara mp3 mengalun lirih disusul senandung dari bibir pemuda itu. Kamar yang berantakan, batin Reena lagi seraya bergidik menyaksikan ranjang besar di kamar itu yang dipenuhi barang-barang. Ada pakaian, snack, laptop, kabel data, earphone dan beberapa handphone.

  Handphoneku? Mata Reena terbelalak melihat handphone merahnya tergeletak di meja pada samping ranjang. Tidak, tidak, tidak, aku pasti sedang berhayal, batinnya tak yakin seraya mengedipkan mata beberapa kali. Namun ketika ia memastikan sekali lagi dengan memandangi benda itu lekat-lekat, handphone itu memang benar-benar miliknya.

  Reena terpaku dengan napas berembus cepat. Bagaimana bisa handphoneku dicopet seseorang lalu ternyata ada di Hotel ini. Di tangan anak Mr. Houghton?

  Reena beberapa kali menghentakkan kakinya karena gelisah. Ambil Ren, batinnya mantap sembari melangkahkan kaki.

  Kreekkk!

  Sebuah suara pintu dibuka langsung menghentikan langkah Reena, seketika suara Eric yang sedang bersenandung terdengar semakin jelas. Sadarlah Reena kalau pemuda itu sudah menyelesaikan urusan di kamar mandi.

  Ambil handphone-mu, Ren. Selagi ada kesempatan. Hati kecil Reena seakan meraung, membuat napasnya berembus sangat cepat. Karenanya, keputusannya langsung membulat dengan cepat. Reena siap menyelinap ke ruangan di hadapannya itu. Namun tiba-tiba....

BANG MY HEART ✓ [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang