Siap melanjutkan?
Yuk kutemani 😀
Jangan lupa vomment ya!Happy reading!
◀️☸️☸️☸️▶️
Waktu sudah menunjukkan pukul 18:00 ketika Reena mengantar keberlaluan Dokter yang baru saja memeriksa neneknya. "Terima kasih, Dokter," ucap Reena dengan senyum tersungging.
"Sama-sama, Dek Ren. Saya tinggal dulu, kalau ada apa-apa panggil saya dengan menekan bel di sebelah kanan ranjang. Oh iya, di jam tujuh nanti, datanglah ke ruangan saya di dekat lobi, ada yang harus kita bicarakan."
Reena mengangguk-angguk.
Usai sang Dokter berlalu, Reena mengambil kursi dan duduk di dekat neneknya yang terbaring lemas. Pikirannya tak karuan ketika menatap kekurusan tubuh beluau. Optimisme di hati Reena untuk memenangkan lomba di Bandongan besok sedikit tergoyahkan. Ia tak mampu meninggalkan Nenek dalam keadaan seperti ini, tapi di sisi lain ia ingat janjinya dengan Mr. Houghton. Dia sudah sangat baik mau menolong keluargamu, Ren. Jangan kamu kecewakan lelaki itu, batin Reena sambil berusaha tersenyum.
Keheningan menyeruak. Air mata Reena menetes menatap kerut-merut wajah neneknya. Bagaimana kalau aku kalah dalam lomba besok? Tidak tidak, kamu harus menang, Ren. Jangan mempermalukan dirimu sendiri, lagipula mengikuti lomba besok adalah keinginanmu sendiri.
Reena lantas membayangkan jika dirinya menang, ia akan membuat bangga neneknya. Tapi setelahnya aku akan diajak pergi jauh menuju Kota Bandung, batinnya lagi dengan kepala tertunduk layu. Kenapa sesulit ini, Tuhan?
"Cepatlah sembuh, Nek. Agar kita segera bisa menjalani hari seperti biasanya, latihan berkuda bersama, memasak bersama, tidur bersama," ucap Reena lirih di dekat telinga sang Nenek. "Nek, banyak cerita yang akan Reena ceritakan setelah Nenek sembuh nanti, termasuk, Reena merasa kesepian tanpa Nenek di rumah."

Air mata Reena menetes lagi.
"Reena juga akan bercerita banyak tentang seseorang yang baru Reena kenal, seorang pemuda yang hanya dengan tatapan matanya, jantung Reena diburu debar-debar yang terasa asing. Namun di antara rasa asing itu, Reena merasa tenang berada di dekatnya."
Reena menyeka air matanya dengan punggung tangan ketika wajah tampan Steve datang ke dalam ingatannya. Ia lantas jadi tersenyum tipis.
Detik demi detik dilalui Reena dalam keheningan, yang ia dengar hanya hembusan napasnya sendiri, juga detak-detak jam di dinding.
Reena melepas sebuah leontin dari lehernya, leontin silver yang ia pakai sejak kecil. Kata Nenek itu peninggalan kedua orang tuanya.
Seraya menggenggam leontin itu, kali ini ia mencium kening sang Nenek. Ia ingat, nenek pernah bercerita kepadanya tentang kedua orang tuanya.
Seketika pikiran Reena jadi mengembara ke masalalu.
"Nek, bisa ceritakan sesuatu tentang mereka?" Reena pernah bertanya seperti itu ketika ia masih kecil, sebuah potret kedua orang tuanya yang berbingkai kayu ada di pangkuannya.
"Reen, dengarkan, hanya ada satu hal yang perlu kamu tahu dan contoh dari mereka."
Reena kecil menunggu dengan wajah penuh harap.
"Keduanya tak mempunyai rasa takut untuk mencoba apapun," ucap Nenek kala itu seraya mengusap kepala Reena.
Tok tok tok!
Beberapa ketukan di pintu tiba-tiba membuyarkan ingatan Reena. Ketika ia menoleh, ia menemukan seorang wanita berseragam cleaning service menunggunya di luar.
Reena segera menemuinya. "Reena tinggal dulu, Nek," ucapnya sebelum berlalu, ia mengecup kening neneknya sekali lagi.
"Adek yang bernama Reena kan, ya?" tanya sang cleaning service ketika Reena sudah membuka pintu.
"Be-tul," jawab Reena seraya mengangguk.
"Adek dipanggil Dokter, beliau menunggu di ruang kerjanya di dekat lobi."
Reena mengangguk-angguk. "Terima kasih, Buk."
Sang cleaning service pun tersenyum sebelum akhirnya pamit.
Sepeninggal wanita itu, Reena segera bergegas menuju lobi. Oke, Ren, jangan pernah mempunyai rasa takut untuk mencoba, batinnya mantap.
Ketika ia berlalu, Reena iseng-iseng menatap deretan ruangan ICU yang menuju ke lobi, ia melihat dari balik kaca pintu, banyak sekali pasien di dalamnya yang ditunggui keluarga masing-masing. Hingga ketika ia melewati depan ruangan terakhir, Reena melihat punggung seorang pemuda yang tak asing baginya. Steve?! batinnya kaget, membuat langkahnya terhenti. Reena jadi menghentikan langkah dan mengintip dari kaca jendela. Oh iya, dia sedang menunggui asisten rumah tangganya.
Sebelum akhirnya berlalu, Reena tersenyum melihat pemuda itu yang tampak sedang membaca Al-Kitab di dekat ranjang asistennya.
Begitu sampai di lobi, Reena segera masuk ke ruangan kerja sang Dokter dan diantar oleh seorang wanita di bagian administrasi.
"Dek Ren, sore tadi nenek adek mengalami pendarahan di bagian yang selesai dioperasi. Ketika kami mengeceknya, ada banyak arteri yang membengkak dan pecah akibat beliau yang terus dilanda kegelisahan pasca siuman, tapi kami sudah melakukan pencegahan yang terbaik dengan menyutikkan obat penenang. Hanya saja saya akan meminta izin operasi pembedahan kedua untuk implant pembuluh darah yang sudah rusak."
Reena sedih mendengar itu, sangat, mulutnya menganga, matanya menitikkan air mata. "Apa ada biaya lagi yang harus dibayar, Dok?"
Keheningan menyeruak. Tiba-tiba wanita di bagian administrasi yang sejak tadi berdiri di belakang Reena mendekat dan menyerahkan selembar kertas berisikan rincian biaya operasi kedua untuk nenek Reena.
"Dua puluh lima juta?!" Reena terperanjat mengetahui nominalnya.
Bersambung....
[Pict from argafeb.blogspot.com]
KAMU SEDANG MEMBACA
BANG MY HEART ✓ [Selesai]
Fiksi RemajaGadis pembalap kuda bertemu pemuda ahli tembak? [Selesai- Buku bisa dipesan melalui penerbit Crystal Books] Hidup Falovre Reenata terasa jungkir balik setelah neneknya, satu-satunya keluarga yang ia miliki, jatuh sakit dan harus melakukan operasi gi...