Bagian Tiga Puluh

125 22 3
                                    

  Tiga hari kemudian....

  SESUAI yang tertera di tiket, bus malam yang akan Reena tumpangi menuju Bandung berangkat pukul 18:00, lokasi agen busnya di Jl. Ahmad Yani no.94, Magelang, sekira tiga kilometer dari rumahnya.

  Usai mengurus keberangkatan Milky White —yang sudah sembuh— menggunakan mobil truk sewaan Mr. Houghton di jam 17:00 sore ini, Reena segera menyeret kopernya keluar pagar dan berdiri terpaku menunggu taksi online pesanannya. Di tangannya ada sekerat roti yang perlahan dilahapnya karena perutnya sangat lapar.

  Melewati tiga hari setelah Neneknya siuman dari komanya, perasaan Reena terus diburu rasa bersalah kepada wanita malang itu, terlebih meski belum bisa bangkit, kini Neneknya sudah bisa membuka mata, berbicara, bergurau dan menggerakkan beberapa anggota badannya.

  Tapi Reena memang harus pergi walaupun rasanya memang berat. Ia pikir, langkah yang diambilnya ini juga untuk kesembuhan neneknya. Masalahnya, kalau tidak berangkat, neneknya bisa syok saat sudah sembuh nanti dan mengetahui hutangnya kepada Mr. Houghton yang menumpuk.

  Langit bersinar keemasan senja ini, menaungi kepergian Reena menaiki taksi yang melaju kencang.

  Ketika mobil taksi mulai meninggalkan Rejosari, hati Reena terasa nyeri. Sampai jumpa, Nek, batinnya sendu. Setelah urusan Reena di Bandung selesai, Reena yakin kita bisa bercengkrama lagi di rumah, berlatih berkuda dan hidup kita akan lebih bermakna oleh ujian yang bertubi-tubi ini.

  Sekitar tiga puluh lima menit, Reena sampai di alamat agen bus, ia turun dari taksi setelah melakukan pembayaran. Begitu ia menurunkan koper dan menyempatkan diri memberi rating pada perjalanannya, ia siap melenggang menuju tempat yang dipenuhi banyak orang itu.

  Ketika ia sedikit membungkuk untuk menarik pegangan kopernya, tiba-tiba seseorang menabraknya hingga ia hampir ambruk. "Astaga!" ucap Reena penuh kekagetan. Ia yang  merasa kesal segera mendongakkan kepalanya.

  Dahi Reena dibuat mengernyit, ia yang semula ingin marah jadi mengurungkan niatnya karena seseorang yang menabraknya barusan ternyata seorang wanita paruh baya berambut putih dengan tubuh bungkuk. "Maafkan saya, Nak. Saya sedang buru-buru dan tak melihat jalan," ucap wanita itu dengan rona merasa bersalah.

  Melihat wanita itu Reena jadi ingat wajah neneknya. "Ti-tidak apa-apa, Bu. Tidak apa-apa."

  Wanita itu menunduk dengan wajah berselimut duka. Sebelum akhirnya berlalu, ia mengangguk sopan ke Reena.

  Reena menghela napas memandangi wanita yang ditunggui ojek itu. Begitu wanita tua dan ojeknya itu berlalu dengan cepat, Reena segera menyeret kopernya dan membawanya ke tempat pelaporan tiket.

  "Astaga antriannya," batinnya dengan napas berat, melihat antrian di depannya yang cukup panjang. Merasa jenuh, Reena jadi ingin memainkan ponselnya dulu.

  Mata Reena terbelalak ketika meraba kantong jaketnya. Ponselnya tak ada! "Jesus!" Ia meraba saku jaketnya di sisi lainnya. Tidak ada juga.

  Merasa panik dan wajahnya pucat pasi, Reena segera mengedarkan pandangan. Ia menemukan petugas keamanan. Ia lantas berlari ke arah orang tersebut dengan napas memburu. "Pak, titip koper sebentar, ponsel saya hilang!" ucapnya cepat.

  Sebelum sang petugas keamanan mengiyakan, Reena buru-buru lari menuju tempat ia turun dari taksi dan ditabrak orang tadi. Semua kantong pakaian atas dan bawah ia periksa. Bahkan hingga tas selempangnya. Namun ponselnya benar-benar tidak ada.

  Reena jadi mematung dengan jantung berdetak liar. Tak berselang lama beberapa orang petugas keamanan menghampiri Reena, salah satunya meminta tiket busnya untuk pelaporan tiket karena bus akan segera berangkat. Sementara yang lainnya sedikit mendebat Reena hingga tercipta sebuah kesepakatan ia akan mengumumkan kehilangan ponsel Reena ke pengeras suara.

  Air mata Reena menetes. Ia menundukkan kepala seraya menjambak rambutnya. Abai dengan tatapan semua orang. Merutuk dirinya yang seceroboh itu.

  Ketika bus akhirnya siap berangkat dan petugas keamanan meminta nomor Reena lainnya yang bisa dihubungi untuk menginformasikan jika ponselnya ditemukan nanti, Reena malah jadi terisak, sebab nomornya satu-satunya ada di ponsel yang hilang tersebut.

  Reena berjalan lunglai memasuki bus. Duduk sendirian di kursi nomor 8. Ia terisak lagi, pikirannya jadi merambah kemana-mana. Bagaimana aku harus mengabari Mr. Houghton setelah sampai nanti? Bagaimana aku akan tahu keadaan Nenek?

  Reena diam di antara orang-orang yang sedang sibuk mencari nomor kursi masing masing. Tiba-tiba seseorang mendekat dan duduk di sampingnya. "Ren, kamu kenapa?" tanya orang tersebut.

  Reena segera mengangkat wajah. Ia sedikit kaget mengetahui siapa itu. Steve?! batin Reena kaget. Menyadari wajahnya berantakan oleh air mata, Reena segera menghapusnya secepat mungkin.

  "Ren, whats going on with you? Kenapa kamu nangis?" tanya Steve dengan dahi berkerut merut.

  "Ponselku dicopet."

  "Astaga! Kapan?!"

  "Tadi, pas turun dari taksi."

  Steve menggeleng-gelengkan kepalanya penuh kekagetan. "Terus, udah lapor ke petugas?"

  Bus mulai berjalan. Semua lampu dimatikan.

  Reena mengangguk-angguk. "Aku akan dihubungi kalau barangnya ketemu, tapi bukankah itu mustahil? Aku sudah tak punya nomor lain yang bisa dihubungi."

  "Sebentar, sebentar. Kamu yang tenang ya? Berhubung bus sudah berjalan, kita tak mungkin minta balik lagi. Aku coba telepon nomor agen tadi, supaya kalau ponselmu ketemu nanti orangnya lapornya ke nomorku."

  Mendengar itu, hati Reena sedikit tenang. Ia lantas mengangguk-angguk.

  Steve segera mengeluarkan tiketnya, mencatat nomor agennya dan segera menelponnya.

BERSAMBUNG....
Siap mantengin sweet momment Reena dan Steve gak nih? He he
Stay Tuned!

BANG MY HEART ✓ [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang