Bagian Tiga Puluh Satu

112 18 2
                                    

  Waktu menujukkan pukul 20:00.

  "Menemanimu sampai Bandung adalah perintah ayahku," ucap Steve, mencoba mencairkan suasana yang sejak tadi membeku, sebab Reena terus diam sejak ia berhasil menelpon agen bus dan sang agen menyetujui permintaan Steve.

  "Makasih," jawab Reena lirih. "Maafkan aku jadi merepotkanmu, Steve."

  "Nggak pa-pa, Ren. Lagipula aku juga tak tega melihat gadis seumuranmu sendirian dalam perjalanan jauh."

  Jantung Reena berdegup kencang mendengar itu, sejenak ia jadi melupakan kerumitan pikirannya akibat hilangnya handphone-nya.

  "Apa kamu biasa melakukan perjalanan jauh, Steve?"

  "Sering. Pakai mobil pribadi," jawab Steve lirih. "Biasanya berdua sama supir ayahku."

  Reena mengangguk-angguk, ia jadi paham bahwa Steve jarang naik bus. "Boleh tahu, kapan terakhir naik bus?"

  Steve diam sejenak. "Lupa, Ren, sudah lama sekali."

  Astaga, beruntungnya aku ditemani dia, batin Reena sambil tersenyum tipis.

  Keheningan menyeruak.

  "Steve."

  "Ya Ren?"

  "Aku mau mengucapkan terima kasih sekali lagi, kamu jadi harus naik kendaraan umum malam ini."

  "Aku selalu berusaha menuruti semua permintaan ayahku, walau semuanya berubah total setelah ia menikah lagi dan membawa istrinya pulang bersama Eric. Perintahnya seringnya penuh tantangan. Tapi aku senang menjalaninya."

  Reena mengangguk paham. "Apa Eric akan ikut ke Bandung?"

  "Yap, bersama ibunya. Jadwal terbangnya besok pagi jam lima, dari Jogjakarta."

  Astaga, mereka naik pesawat dan mengabaikan Steve? Reena jadi merasa simpati kepada pemuda di sampingnya itu. "Maafkan pertanyaanku, Steve."

  Steve tersenyum lalu menelan ludah getir. "Kau seperti sedang berdoa, Ren. Penuh permintaan maaf."

  Reena jadi ikut tersenyum. "Nenekku mengajarkannya sejak aku kecil, khawatir kalau ucapanku kepada orang lain diselipi kesalahan yang menyinggung perasaan."

  "Oh iya, kalau kau ingin tahu kabar nenekmu, kau bisa menggunakan ponselku. Aku ada nomor rumah sakitnya."

  "Benarkah?" Reena hampir terkejut dan tak menyangka oleh kebaikan Steve.

  Steve tersenyum tulus. "Kau tinggal bilang saja kapan mau menelpon rumah sakit."

  "Baiklah. Mungkin besok pagi saja."

  Steve mengangguk paham.

  Bus melaju dengan kencang.

  "Barangkali kau mau tidur dulu, Ren. Harimu tadi pasti sangat melelahkan."

  Reena tersenyum. "Akan kucoba."

  Tiba-tiba Steve mengeluarkan sebotol air mineral dari ranselnya. "Kau akan kehausan, nanti," ucapnya seraya menyerahkannya ke Reena.

  Ketika Reena menerimanya, tangan mereka tiba-tiba bersentuhan lama. Hingga mereka jadi diam dengan pandangan lurus ke depan.

  Jantung Reena berdegup kencang, sentuhan tangan Steve itu cukup membuat adrenaline dalam hatinya melaju kencang, ibarat melarikan seekor kuda, semakin kencang ia merasa nyaman.

  Usai menerima sebotol minuman itu dan meletakkannya di tempat minuman pada kursi di depannya, entah kenapa Reena merasa ada kehampaan di sisi hatinya. Maka ketika kehampaan itu menjelma debar-debar tak menentu di jantungnya, Reena dengan mantap meraih tangan Steve dan menggenggamnya.

  Steve tak bergerak sama sekali ketika telapak tangannya digenggam oleh tangan lembut oleh gadis itu.

  Di antara laju bus yang kian mengencang, juga jantungnya yang berdetak aneh, Steve memejamkan matanya dan membalas genggaman itu dengan lembut. "Tidurlah yang nyenyak, Ren," ucapnya lembut di dekat telinga Reena.

BERSAMBUNG....
Thanks for reading, vomment please.

BANG MY HEART ✓ [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang