Bagian Dua puluh Dua

239 20 2
                                    

Ditemani secangkir kopi panas berasap mengepul, dengan ini kunyatakan bagian 22 siap dibaca....
Happy reading!

◀️☸️☸️☸️▶️

  "Hei Ren, sekali lagi selamat! Kau telah meraih golden ticket dan masuk 15 besar dengan pencapaian waktu terbaik." ucap Mr. Houghton malam ini usai beliau datang ke Rumah Sakit dan melihat keadaan Nenek Reena. Kini mereka duduk berhadapan di sebuah restoran tak jauh dari Rumah Sakit. Mr. Houghton mengajak Eric dan pemuda itu tampak tengah menikmati makan malamnya.

  "Terima kasih banyak, Tuan."

  Mr. Houghton tersenyum, beliau lantas melahap hidangan sapi panggang di hadapannya.

  "Sekali lagi aku bangga denganmu, Ren," ucap Eric yang tengah memotong bistik kalkun di piring makannya.

  Reena tersenyum lebar mengingat Eric sudah mengucapkan kalimat itu berkali-kali sejak ia menang lomba siang tadi. Reena segera menikmati makan malamnya berupa sup daging sapi dan sepiring roti pita.

  Rasa syukur terus Reena ucapkan dalam hati karena Tuhan telah mempertemukannya dengan orang sebaik Mr. Houghton dan keluarganya. Walau ia merasa ada yang hampa usai perlombaan hari ini selesai, ia tak menemukan wajah pemuda yang selalu mendebarkan jantungnta, Steve Coogan.

  "Oh iya, saya harap malam ini kau beristirahat yang cukup, Ren. Sebab lomba esok hari akan berlangsung lebih awal. Buatlah nenekmu bangga dengan mendapatkan diamond ticket agar kau bisa masuk tiga besar hingga menuntunmu menuju babak final, lusa," pesan Mr. Houghton seraya menatap Reena penuh kepercayaan.

  Reena mengangguk mantap walau jantungnya tiba-tiba berdetak tak karuan. Mendengar neneknya disebut, Reena jadi ingat soal operasi ginjal kedua bagi neneknya yang membutuhkan biaya 25 juta.

  "Dan." Tiba-tiba Mr. Houghton membuka obrolan lagi. "Saya turut bersedih karena keadaan nenekmu yang kian kritis." Beliau menatap Reena dengan wajah iba.

  "Te-terima kasih, Tuan."

  "Sore tadi saya mengobrol dengan bagian administrasi Rumah Sakit, nenekmu harus dioperasi lagi dan masih menunggu persetujuanmu."

  Reena mengangguk. "Benar, Tuan."

  "Tolong ceritakan kenapa kau belum menandatangani surat persetujuannya, Ren? Jangan sungkan." Kali ini Eric yang berbicara.

  Reena menundukkan kepalanya sementara itu Mr. Houghton menatap Eric dengan dahi berkerut.

  Keheningan menyeruak.

  "Andai kau cepat-cepat bilang kepada saya soal biayanya, Ren. Pasti nenekmu segera dioperasi."

  Reena diam.

  "Pihak administrasi tadi menyebutkan biayanya pada saya, Ren. Nominalnya dua puluh lima juta. Betul kan? Dan sudah saya bayar."

  Reena mengangkat wajahnya, matanya terbelalak seketika. "Astaga, benarkah Tuan?"

  Mr. Houghton mengangguk dan tersenyum tulus, begitupun dengan Eric, senyum pemuda itu segera tersungging.

  "Tuan, te-terima kasih banyak," ucap Reena di antara perasaannya yang kaget sekaligus bahagia. Ia sampai terisak-isak karena saking bahagianya.

  Mr. Houghton lantas menyodorkan surat persetujuan dari Rumah Sakit yang memerlukan tandatangan Reena, membuat Reena terus terisak. Sembari mengusap air matanya dengan punggung tangan kiri, Reena menandatangani surat persetujuan yang sudah dicap dengan stampel bertinta biru dengan kata 'LUNAS' itu.

  "Operasinya akan dilakukan besok, Ren."

  Mendengar itu, jantung Reena seakan berhenti berdetak.

◀️☸️☸️☸️▶️

Yuhuuu!
Thanks for reading!
Jangan lupa tinggalkan jejak,
Masukkan Bang My Heart ke rak baca kamu dan tinggalkan vomment!

Stay Tuned!

BANG MY HEART ✓ [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang