Yuk, dilanjut!
💙◀️☸️☸️☸️▶️
Nenek Reena akan dioperasi nanti siang, hal itu cukup membuat jantung Reena berdebar-debar sejak semalam. Ketika ia ingat harus memberi makan Milky White dan mengurus rumah, di jam 08:00 pagi ini, ia memutuskan pulang dulu, meninggalkan neneknya yang masih terbaring koma dengan badan semakin mengurus.
Pada kepulangannya kali ini, Reena berencana membawa selimut kesayangan Nenek dan mencucinya untuk kemudian ia tukar dulu dengan selimut lain yang ada di rumah.
Hingga, ketika Reena melipatnya dan mengedarkan pandangan, ia melihat jaket milik Steve masih tersampir di sandaran sofa di dekatnya. Oke, kucucikan juga, pikirnya seraya menyambar jaket itu dan melipatnya lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik besar.
Tak berselang lama, Reena bergegas meninggalkan Rumah Sakit dengan menenteng kantong kresek itu, ia menaiki Ho-Jek hingga beberapa menit kemudian sampai di rumah.
Ketika akhirnya sang Driver menurunkannya tepat di depan rumah, dahi Reena dibuat mengernyit. Ia melihat Mr. Houghton menunggunya. Beliau duduk di bangku besi tempa pada beranda rumah seraya menghisap rokok dalam cerutu hitam.
"Hei, Ren!" sapa pria Belanda itu dengan ramahnya.
Reena tersenyum lebar. Usai membayar biaya Ho-jek dan sang Driver berlalu, ia lantas mendekati Mr. Houghton dan menyalaminya. "Selamat pagi, Tuan," sapanya tak kalah ramah.
"Gimana keadaan nenekmu sekarang, Ren?"
"Nenek masih terbaring koma, Tuan, namun keadaannya stabil sehingga akan dioperasi siang ini," jawab Reena lirih. "Mari masuk, Tuan."
Reena segera mengambil kunci di tas selempang rajutnya dan membuka rumah, begitu ia mempersilahkan Mr. Houghton duduk di ruang tamu, ia bersiap membuatkan minuman untuk pria itu, namun sebelumnya ia menawari dulu tamunya ingin teh atau kopi.
Sayangnya Mr. Houghton menolak dengan halus. "Tidak usah repot-repot, Ren. Sungguh. Saya baru saja minum kopi di rumah."
Menanggapi itu Reena pun hanya tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Duduklah dulu sebentar saja, Ren. Saya ingin mengatakan sesuatu," ucap Mr. Houghton dengan ekspresi serius.
Reena segera menurut dan duduk menghadap lelaki itu.
"Saya datang sepagi ini karena ingin minta tolong ke kamu, Ren. Boleh?"
Jantung Reena seketika berdebar kencang. Semoga tidak ada hubungannya dengan kengambekkan Steve kemarin malam, batinnya was-was. "Dengan senang hati, Tuan. Selama saya mampu," jawabnya kemudian.
Dilihat oleh Reena, Mr. Houghton mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya, selembar kertas cokelat yang lantas ditunjukkan ke Reena. "Ada lomba balap kuda lagi, Ren, yang bertanggal delapan hari dari sekarang."
Reena segera menerima selebaran itu dan dibuat terpana oleh desainnya yang begitu mewah.
"Saya harap kamu bisa mengikutinya setelah lomba di Bandongan selesai."
Hening.
Reena terus mengeja dalam hati setiap kata di selebaran itu, hingga pikirannya terusik oleh satu hal. Astaga, lokasinya di Kota Bandung? batinnya kaget.
"Bisa ya Ren? Lagipula itu berselang sekitar tiga hari setelah lomba di Bandongan usai, kamu masih ada banyak waktu untuk latihan. Dan jika Tuhan berkehendak, pada hari itu nenekmu sudah selesai menjalani operasinya dan dalam masa penyembuhan."
Seketika pikiran Reena tertuju ke lomba yang ada di Bandongan, hal yang sejak kemarin justru ia lupakan sejenak karena ia sedang fokus kepada kesembuhan neneknya.
"Kamu gadis yang penuh optimisme dan kerja keras, Ren. Melihat prestasimu sebelumnya, saya yakin kamu akan memenangkan lomba yang di Bandongan, apalagi yang ini."
Jantung Reena dibuat berdebar semakin kencang, bahkan rasanya hampir copot dari singgasanaya. Kota Bandung? Ia masih tak percaya.
Sebenarnya hal itu bukan masalah besar bagi Reena, terlebih ketika ia ingat kebaikan Mr. Hougthon yang telah melunasi biaya operasi neneknya, jadi ia menganggap ini saat yang tepat untuk balas budi. Namun di sisi lain, Reena ingat keadaan neneknya, ingat ketika harus meninggalkan beliau ke luar kota. Siapa yang akan merawat Nenek? Jika beliau kenapa-napa siapa yang mau menolong?
"Oh iya, kalau kamu bersedia, tolong tandatangani ini, " ucap Mr. Houghton lagi seraya menyodorkan kertas kedua. Kali ini sebuah surat berjudul: Surat perjanjian.
Melihat kepala surat itu, dahi Reena dibuat mengernyit, ia belum bisa berpikir jernih, sehingga tulisan kecil di bawahnya pun terlihat buyar.
"Dan ini uang saku untukmu selama di Kota Bandung, Ren. Terimalah, nominalnya tiga juta rupiah." Mr. Hougton menyodorkan sesuatu kembali, kali ini sebuah amplop cokelat tebal.
Hening.
Reena dan Mr. Houghton seketika saling tatap. Dilihat oleh Reena, ekspresi lelaki itu tampak penuh permohonan, sementara ekspresi Reena yang menampakkan rona semringah berhias senyum tipis sebenarnya menyimpan kegugupan dan kebimbangan.
Aku tak bisa menolak tawaran orang sebaik dia, batin Reena sendu, kebaikan demi kebaikan Mr. Houghton kepada ia dan neneknya membuatnya sulit untuk menolak.
Setelah beberapa menit menundukkan kepala seraya memahami lagi selebaran lomba di tangannya, juga wajah nenek yang tersenyum di pikirannya, Reena akhirnya mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga, ini bisa membuat nenek bangga. Aku harus memenangkan setiap sesi lomba ini, sehingga semoga ini bisa menjadi bentuk balas budiku atas kebaikan Mr. Hougthon.
Reena mengatur napas dan menerima bulpen hitam dari Mr. Houghton. "Baiklah, saya bersedia, Tuan," ucapnya mantap lalu segera membubuhi tanda tangan pada surat perjanjian itu.
"Oh, Jesus! Thank you!" ucap Mr. Houghton dengan nada senang bukan main. "Do your best, Ren! Saya yakin masa depanmu akan cemerlang. Semoga suatu hari kamu bisa menjadi atlet berkuda seperti nenekmu dulu."
"Sama-sama, Tuan," jawab Reena seraya menyunggingkan senyum lebarnya. "Tapi Tuan, bukannya menolak, sebaiknya uang sakunya disimpan Tuan dulu saja, lagi pula ke Bandungnya masih lama, kan?"
"Tidak Ren, saya tetap akan meninggalkannya untukmu, ini sebagai bentuk rasa terima kasih saya karena kamu sudah mau menolong saya." Mr. Hougton menyodorkan seamplop uang tiga juta di hadapan Reena.
"Tuan juga sudah banyak menolong kehidupan saya."
Tak ada percakapan lagi yang berarti pada pertemuan Reena dan Mr. Houghton pagi itu selain beliau yang lalu segera pamit dan mendoakan semoga operasi Nenek Reena berjalan lancar.
Meski debar-debar di jantungnya semakin meriuh, Reena terus berusaha menghibur diri dengan segera memulai rutinitasnya. Everything gonna be alright, Reen, don't over worry, batinnya, berusaha menghibur diri.
◀️☸️☸️☸️▶️
Thanks for reading
Komentarnya dipersilahkan
⬇️⬇️⬇️Votenya Share juga boleh
⬇️⬇️⬇️ ⬇️⬇️⬇️Stay Tuned!
![](https://img.wattpad.com/cover/197539308-288-k545445.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BANG MY HEART ✓ [Selesai]
Teen FictionGadis pembalap kuda bertemu pemuda ahli tembak? [Selesai- Buku bisa dipesan melalui penerbit Crystal Books] Hidup Falovre Reenata terasa jungkir balik setelah neneknya, satu-satunya keluarga yang ia miliki, jatuh sakit dan harus melakukan operasi gi...