Bagian Duabelas

182 25 4
                                    

Selamat sore, selamat melanjutkan!

***

  "Kamu sekolah di SMK Bhakti Karya, Ren?" tanya Mr. Houghton malam ini ketika ia dan Reena berada di ruang makan rumahnya.

  "Betul, Tuan." Reena melahap sepotong kebab di piringnya. Ia mencuri pandang ke arah Steve dan Eric yang duduk di dekat sang Ayah, sementara itu istri Mr. Houghton, wanita berkulit putih dan langsing, tampak menikmati makan malamnya di samping Reena. Tubuh wanita itu terbalut gaun sutra merah selutut. Dandanannya sangat rapi, bahkan tak sehelai rambutpun yang salah tempat.

  Saat masuk ke ruangan itu Reena sempat tertegun melihat hidangan makan malam yang begitu beraneka ragam dan semuanya terlihat asing baginya.

  "Saya ikut prihatin dengan kehidupan keluargamu, di saat libur sekolah seperti ini nenekmu malah terbaring di rumah sakit," ucap istri Mr. Houghton seraya mencelupkan secuil roti pita dalam semanguk baba ghanous lalu melahapnya.

  Reena tersenyum.

  "Selepas makan malam Steve akan mengantarmu ke rumah sakit, Ren," ucap Mr. Hougthon tegas, wajah lelaki itu menunjukkan rasa bersalah.

  "Bukannya menolak, tapi saya akan ke sana sendiri, Tuan. Soalnya saya harus pulang dulu, ada beberapa tugas rumah yang harus saya kerjakan."

  "Tugas?" Kali ini Eric melantunkan suaranya. Cowok berwajah semringah itu tampak sedang membenamkan sekerat roti pita ke mangkuk berisi hummus.

  Reena mengangguk.

  "Tugas apa saja, Ren?" tanya Mr. Houghton seraya memasukkan sekerat dolma ke dalam mulutnya.

  "Salah satunya memberi makan kuda." Reena kembali memotong kebabnya. "Juga menyirami tanaman."

  "Jesus. Karena ulah putraku, Steve, kau jadi telat mengerjakan tugasmu," Mr. Hougthon kaget. Tatapannya lalu tertuju kepada Steve yang sejak tadi diam sebelum akhirnya kembali menatap Reena. "Kamu santai saja, Ren, biar Steve yang mengerjakan semua tugasmu, itu hukuman atas ulahnya. Terlebih saya terus merasa bersalah ke kamu karena sakitnya nenekmu begitu terkenal di desa ini."

  "Tidak usah, Tuan, saya sudah memaafkan putra anda."

  Hening.

  "Kalau begitu buatlah satu permintaan untuk menghapus rasa bersalah saya, saya akan mengabulkannya."

  Hening,

  "Ayo Ren, ucapkan saja permintaanmu, ini sebagai ungkapan terima kasih keluarga kami karena kamu sudah menemukan dompet Ayah." Eric tampak bersemangat.

  Reena diam. Pikirannya kembali tertuju kepada biaya operasi neneknya. Tidak, Ren. Nenek tidak mengajarkanmu mengeluh kepada orang lain, batinnya. "Maaf, Tuan. Saya tidak meminta imbalan apapun, perihal dompet itu yang sudah kembali ke pemiliknya, saya sudah senang."

  Mr. Houghton tersenyum.

  Makan malampun terus berlanjut dalam keheningan.

  "Nenekmu veteran atlet balap kuda, right?" Mr. Houghton telah menyelesaikan makannya, beliau lalu diberi segelas air putih oleh istrinya.

  "Benar, Tuan."

  "Bagaimana denganmu, hobi berkudakah?"

  "Setiap hari saya berlatih berkuda."

  "Kamu ada prestasi dalam balap kuda, Ren?" Mr. Houghton tampak tertarik dengan pitutur Reena.

  Ketika Reena melahap makanan terakhir di piringnya, meraih tisu lalu minum, ia segera menjawab. "Saya menjuari lomba De La Prix antar SMK se Magelang tahun lalu."

BANG MY HEART ✓ [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang