Sing Sing Correctional. New York City. Amerika Serikat. 16.00 pm.Sebulan lebih sudah Alexandra menjalani masa tahanannya, setiap harinya ia lalui hanya dengan termenung lalu menangis, tubuhya sangat kurus, bahkan tulang pipinya sangat nyata tak seperti seperti ibu hamil pada umumnya.
Yeah, semua itu terlalui bersamaan rasa mual dan keinginan yang tidak terpenuhi. Seperti saat ini, Alexandra ingin berendam di bathub yang penuh dengan bunga-bunga, Alexandra tidak tahu mengapa tiba-tiba menginginkan hal konyol tersebut. Tapi pada saat keinginannya itu tidak terpenuhi maka kesedihan dan tangisan akan memenuhi ruangan dingin tersebut. Hingga petugas penjaga lapas menghampiri dan bertanya dengan wajah sangar mereka.
Alexandra mendengar derap langkah mendekat. Wanita itu yang semula meringkuk di sudut dengan wajah di lutut, kini mendongak menatap seseorang berjalan mendekati sel.
Alexandra hanya terdiam, matanya tak lepas dari sosok tersebut.
"Aku membawakan mantel hangat untukmu."
Alexandra menatap mantel bulu berwarna coklat di tangan Bastian. "Sebentar lagi musim dingin,"
Alexandra bangkit dari duduknya, lalu berjalan mendekati Ayahnya. "Tidak perlu, putri kesayanganmu lebih membutuhkannya."
Bastian menggenggam kuat mantel ditangannya. Tanpa mengatakan apa-apa, pria paruh baya tersebut meninggalkan Alexandra dengan senyum mirisnya. Ayahnya benar-benar seperti orang asing sekarang. Namun, seseorang kembali datang menghampirinya dengan senyum mengejek.
"Setidaknya terimalah pemberian Daddy agar kau bisa menjalani tahanan lebih lama lagi," Martha memasukkan mantel tersebut ke sel lewat sela-sela besi. Martha kembali tersenyum mengejek. "Memiliki anak bersama pria yang telah mati, menyedihkan."
Alexandra mengepalkan tangannya dengan kuat, bahkan kuku panjangnya sedikit menusuk telapak tangannya, matanya telah berkaca-kaca, menahan tangisan karena ucapan Martha, andai saja mereka tidak terhalang dengan besi-besi sial itu, Alexandra bersumpah ia akan menjambak rambut Martha hingga botak.
"Kau lupa? Ibumu juga memiliki anak bersama orang yang sudah mati? Bahkan dengan tidak malunya, dia dan putri sialannya merebut Ayah orang lain," Alexandra terkekeh sinis membuat Martha geram.
"Setidaknya ibuku pintar, memiliki pengganti yang bisa di bodohi," Martha tertawa mengejek. "Dan Ayahmu sendiri berkata malu memiliki putri yang memiliki catatan kriminal."
Martha berbalik hendak beranjak dari sana, namun wanita itu kembali berbalik. "Dan...kita tidak tahu apakah seorang anak bisa menerima ibu dari mantan narapidana. Ku sarankan sebaiknya kau bunuh diri sebelum kau menyesal." Martha tertawa keras bak tokoh antagonis yang berhasil menang di akhir cerita.
Alexandra bersandar di besi sel perlahan merosot turun hingga terduduk dengan air mata perlahan turun membanjiri pipi tirusnya. Tangannya bergerak mengelus perutnya yang mulai terbentuk. "Kita akan tetap hidup, Sayang. Kau satu-satunya titipan si brengsek itu untukku."
Times Square. Manhattan. New York City. Amerika Serikat. 19.54 am.
Seperti biasa Times Square terkenal dengan area yang tak pernah sepi. Bisa di katakan tempat ini adalah tempat yang tak pernah tidur dan menjadi ciri khas negara Paman Sam. Namun kali ini baik pengendara dan pejalan kaki terpaku pada papan reklame dan televisi layar lebar yang terpasang di setiap sisi area itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Wife, Lexa
RomanceHampir menabrak seorang wanita, lalu diminta pertanggungjawaban yang to the point. "Pokoknya, aku minta tanggung jawab!!" "Oh god! Tanggung jawab seperti apa maksudmu?" "Nikahi aku." Uhuk! Uhuk! "OKE" ___________ Start 27 juni 2019 Budidayakan F...