Aku tak tahu kapan akhir dari kata selamanya.
Entah seratus tahun, sepuluh tahun, atau bahkan esok?
Yang jelas, selagi waktu masih berjalan, aku akan selalu di sisimu.
Sincerely,
Kim Hyunjin.
[Completed 04/06/21]
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kedua gadis berjalan beriringan di tengah dinginnya malam. Meski begitu tetap tak mampu mengalahkan hangat eratnya tautan tangan mereka.
Tak banyak kata yang keluar dari mulut mereka. Salah satu diantara mereka merapatkan kemeja yang tersampir di bahunya tatkala punggung tangannya diusap dengan lembut.
"Sudah sampai."
"Ah," gadis di sebelahnya melihat dengan kegaguman pada rumah di hadapannya, "ini belanjaanmu."
Bukannya meraih kantong belanjaannya, justru tangan yang digenggamannya dia tarik untuk masuk ke dalam rumah.
"Aku obati dulu lukamu."
Saat mereka masuk, seorang pelayan di rumah tersebut mengambil alih kantong-kantong belanjaan.
"Duduklah, tunggu sebentar." Gadis tersebut kemudian pergi mengambil kotak P3K.
"Permisi Nona, mau saya buatkan minum apa?" tanya seorang pelayan.
"Ah, apa saja. Tolong cukup panggil saya Hyunjin." Pelayan tersebut mengangguk dan pergi mengambil minum.
Disaat yang bersamaan gadis yang sudah kita ketahui bernama Heejin datang dengan kotak P3K dan duduk di tepat di samping Hyunjin.
Heejin mulai membersihkan luka dengan kain yang sudah dibasuh oleh air. Sedangkan Hyunjin hanya menikmati indah pemandangan di hadapannya.
"Sshh," Hyunjin mendesis menahan sakit.
Tangannya terangkat menggenggam pergelangan tangan Heejin kala dia tak sengaja menekan dengan sedikit kuat.
"Maaf."
Mereka terdiam beberapa saat. Hyunjin merekam tiap detail dari wajah elok di hadapannya, seseorang yang selalu dia nanti kehadirannya.
"Dimana orang tuamu?"
"Mereka masih menjalankan bisnis di luar kota. Mungkin mereka akan pulang kemari seminggu sekali."
Hening. Tak ada lagi sepatah kata yang keluar, hanya netra mereka yang saling menyuarakan rindu. Tanpa diduga, air mata Heejin seolah mendesak ingin keluar.
"Kenapa menangis? Apa aku melakukan kesalahan?"
Heejin menggeleng dan memeluk gadis dihadapannya, "Aku merindukammu. Sangat."
"Aku juga."
Dekapan mereka mengerat, seolah tak membiarkan siapaun kembali menjauhkan mereka. Meski takdir sekalipun.
"Temani aku malam ini."
****
Malam semakin larut namun keindahan langit malam malah semakin menjadi. Membuat Heejin dan Hyunjin enggan meninggalkan balkon kamar.
Keduanya duduk bersebelahan dengan selimut yang menjadi tameng mereka berdua dari angin malam. Heejin menyandarkan kepalanya di bahu Hyunjin. Nyaman dan hangat, itu yang dirasakan.
Saling bertukar cerita membuat mereka mengerti keadaan satu sama lain sejak perpisahan itu. Terasa sedikit menyakitkan ketika harusnya mereka saling menguatkan, malah bertatap muka saja tak bisa.
Ayah Heejin sering berpindah-pindah kota untuk meningkatkan bisnisnya. Mau tak mau Heejin harus ikut.
"Kau tahu, saat pertama kali aku pindah sekolah, memperkenalkan diri adalah hal tersulit."
"Kenapa?" tanya Hyunjin pada gadis di sebelahnya yang menatap jauh ke langit.
"Aku takut mereka tak suka akan denganku. Namun ternyata sangat jauh dari dugaanku." Heejin memberi jeda, sedangkan Hyunjin mendengarkan dengan tenang dan tatapan yang terkunci padanya.
"Aku sendiri bingung kenapa. Apa karena Bunda mengantarku hingga depan kelas? Atau tas baru yang ku kenakan? Seragam rapi, putih bersih, dan jepit rambut yang terselip? Yang jelas aku lega saat itu."
"Syukurlah, aku tak perlu susah payah mencari orang yang membuatmu menangis."
"Jadi kau tak ingin mencariku?" Heejin menarik kepalanya dan duduk tegak menatap tajam pada Hyunjin.
"Kalau begitu pulang sana!" Heejin mendorong bahu Hyunjin, sesekali memukulnya pelan.
Puas dengan reaksi Heejin, gadis tersebut tertawa sambil menahan tangan Heejin yang memukulnya. "Tentu aku mencarimu."
Setelah berhasil menghentikan tawanya, Hyunjin tersenyum. Tangannya menepuk-nepuk pundak kiri, meminta Heejin menyandarkan lagi kepalanya.
Sekali lagi Heejin memukul pundak Hyunjin dengan kesal dan perlahan meletakkan kepalanya, mencari posisi ternyaman.
"Apa kau masih suka memukul anak-anak yang mengganggu?"
"Dulu saat SMP, mereka menjatuhkan bekal Hyejoo dengan sengaja. Anehnya, setelah puas menangis, anak itu malah meminta uang ganti rugi untuk makanannya."
"Lalu, mereka memberi?"
"Tentu, dia mengancam bahwa aku bisa memukul mereka lagi jika tidak memberi dan mengadu orang tua." Hyunjin terkekeh mengingat kejadian tersebut.
Namun bukannya ikut tertawa, Heejin malah mencubit perut Hyunjin. Tentu saja gadis tersebut mengaduh kesakitan dan melayangkan tatapan protes.
"Kau mengajarkannya hal seperti itu?"
"Tidak, tentu bukan aku yang mengajarinya. Mungkin Kak Taehyung," bela Hyunjin.
"Aku jadi merindukan yang lain," perkataan Heejin berhasil menghadirkan keheningan diantara mereka.
Pikiran mereka melayang jauh dimana mereka bersama dan tertawa bahagia. Seakan tak ada kata esok, apalagi perpisahan.
Mata Hyunjin menangkap sesuatu yang tak asing di langit, meski banyak sekali bintang, terlihat satu yang sedikit mencolok.
"Kau bisa lihat bintang berwarna kemeraham itu?" tanya Hyunjin sambil menunjuk bintang yang dimaksud.
"Hm," Heejin berdehem saat matanya menangkap bintang merah tersebut.
"Itu sebenarnya bukan bintang, tapi planet Mars. Dia tak terlihat setiap saat, bisa dibilang kita beruntung malam ini."
"Hmm."
"Saat subuh hari dan setelah matahari tenggelam, kita juga bisa melihat Merkurius dan Venus karena jarak mereka yang dekat dengan bumi. Jadi..." ucapan Hyunjin terhenti saat telinganya menangkap suara seperti dengkuran halus.
Dilihatnya Heejin yang sudah tertidur dengan nyaman di pundaknya. Dari jarak sedekat ini, Hyunjin dapat mencium aroma green tea dari gadis di sebelahnya.
Tanpa membangunkannya, Hyunjin menggendongnya menuju kasur yang berada di kamar. Perlahan dia meletakkan tubuh Heejin di atas kasur, dengan boneka beruang kesayangannya di atas sana.
Melihat perubahan wajah Heejin yang semakin sempurna berhasil membuat jantung Hyunjin berdetak tak karuan. Apalagi ini pertemuan pertama mereka setelah bertahun-tahun.
Dalam hati Hyunjin memohon pada takdir untuk berhenti bermain-main. Tak lagi membiarkan kata perpisahan kembali hadir dalam kamus mereka.