08

1.5K 145 90
                                    

Ada yang spesial dari part kali ini,  mau tau?

Baca aja.

_______________________

"Ada yang mau ke perpus ngak?” tanya ku pada Evita, Feby dan Misel saat bel istirahat kedua berbunyi.

“Enggak, "  jawab Misel.

Feby menatapku dan menggelegkan kepala datar, sedangkan Evita masih sibuk dengan ponsel nya tanpa mengubrisku.

“Gue ke perpus bentar yah, mau minjem buku, ” kataku pada Misel yang masih merespon ku.

“Di anterin nggak?”

“Gak Sel biar gue sendiri aja. ”

“Oh, yaudah. ”

Aku pergi ke perpus sendirian, karna aku tidak ingin merepotkan mereka, toh jarak perpustakaan tak terlalu jauh dari kelasku.

Setelah pelajaran Pak Ridwan tadi, aku memang berniat untuk memimjam kamus bahasa Jerman di perpustakaan. Seperti yang aku bilang tadi kalau aku tidak suka pelajaran bahasa Jerman, maka dari itu nilaiku  selalu di bawah rata-rata. Jadi, pikir ku tidak ada salahnya kalau aku meminjam kamus untuk di pelajari.

Setelah melewati beberapa kelas,  akhirnya aku sampai di sebuah ruangan besar yang menghadap ke barat itu.

SMA HARBA mempunyai perpustakaan yang terbilang besar dan mewah di kalangan sekolah elit,  tampak dari rak-rak besar yang berjejer rapi,  dan juga buku-buku di dalamnya.
Ada berbagai macam buku,  dari buku cetak,  Ensiklopedia, pelajaran, novel,  majalah, komik dan lainya.

Seperti biasa, suasana perpustakaan sepi dan tenang. Sepi bukan karna tidak ada orang di sana, tetapi karna hampir tidak ada suara yang terdengar.

Semua orang  anteng menekuni buku di depanya, ada juga yang mengelilingi rak mencari buku yang sesuai. Aku menapakkan kakiku perlahan.
Takut langkah ku menggangu.

Aku mencari  rak yang berisi kamus-kamus, tapi karna terlalu banyak rak dan ruangan aku kesulitan menemukanya.
Aku telah melihat petunjuk arah, tapi tetap saja tidak berhasil menemukanya.  Yang terlihat hanya jajaran buku paket dan mata pelajaran lainya.

Aku berniat untuk bertanya pada Mbak Nia si penjaga perpus  yang terkenal galak itu, tapi melihatnya yang fokus membaca buku dan mengunakan earphone, aku menggurungkan niatku.
Aku khawatir jika nantinya hanya akan mendapat tatapan tajam dari Mbak Nia, karena aku tau kalau dia sangat tidak suka di ganggu jika sedang membaca.
Lalu ku putuskan untuk menyusuri rak  di bagian belakang.

Ternyata susah juga mencari kamus yang aku cari, tidak sesuai perkiraan ku tadi.

“Nyari buku apa?” aku kaget mendengar seseorang yang tiba-tiba bertanya padaku, aku menoleh.

Seorang cowok berada tak jauh dariku, dia bersandar di dinding pojok dengan buku di tangannya, ia kini sedang menatapku.
Wajahnya tidak asing, sepertinya aku pernah melihatnya tapi entah dimana.

“Lo nyari buku apa?” dia mengulangi kalimatnya.

“E.. buku.., kamus kak, iya kamus.” Aku terkejut, sampai gugup saat berbicara dengannya.

“Buku apa kamus?” dia menaikkan sebelah alisnya.

“Kamus kak, aku lagi nyari kamus hehe, ” jawabku kikuk.

Aku melihat bet sekolahnya yang berwana kuning. Ternyata dia kelas sebelas. Aku tidak tau dia siapa, name tag nya pun tidak terlihat jelas dari sini.

“Tempat kamus bukan di sini, ikut gue!”

Cowok itu berjalan melewati ku, aku hanya menatapnya bingung.
Dia berjalan menuju rak sebelah kanan yang berada di bagian tengah.
Cowok itu menyuruhku mengikutinya, dengan ragu-ragu aku berjalan pelan di belakangnya.

“Kamus apa?” tanyanya tiba-tiba tanpa melihat ke arahku, dia fokus pada rak di depannya.

“Ehm, kamus bahasa Jerman kak. ”
Cowok  itu sibuk menatap rak di depannya yang berisi banyak kamus, lalu dia mengambil salah satu kamus  dan di tarik nya perlahan, yang ku yakini itu adalah kamus bahasa Jerman.

“Yang ini?” dia menyodorkan kamus Jerman  bercover biru tua kepadaku, itu kamus yang sama yang di gunakan Pak Ridwan saat mengajar di kelas.
Persis seperti yang aku inginkan.

“Iya kak, ini bener kamus yang aku cari. Makasih ya kak udah bantu aku nyari kamus ini,” aku tersenyum kearahnya.

“Gue kasian aja sama lo, dari tadi mondarmandir gak jelas, ” jawabnya dengan muka datar tanpa membalas senyumku.

Aku membelalakkan mataku saat dia mengatakan aku tidak jelas, padahal sudah jelas kalau aku sedang mencari kamus. Wajah datar nya membuatku ragu untuk tersenyum lagi kepada nya.

“Yaudah kak makasih, ” kataku sekali lagi, yang kini sedikit tidak  ikhlas mengucapkan kata terima kasih.

Dia hanya mengangguk lalu melangkah pergi.
Cuek, tapi terlihat baik.

Karena Rasa penasaranku sedari tadi tidak dapat di bendung, aku menyempatkan untuk melihat name tagnya sebelum dia beranjak pergi.
Terpampang  jelas namanya tertera di sana dengan huruf kapital,

“NATANAEL RAKHA S”

Seketika aku tercenggang,
Kelas sebelas bernama Natanael?

Sepertinya aku tidak pernah mendengar nama itu. Tapi kalau Kak Nael, aku pernah mendengar nya dari cerita Feby.
Yang di ceritakan oleh Feby waktu itu adalah kak Nael, tapi Feby tidak menyebutkan nama lengkapnya, juga tidak menyebutkan kalau nama Kak Nael itu Natanael.

Jadi bisa saja kalau cowok yang tadi itu bukan Kak Nael yang di maksud Feby.

Sebenarnya cowok yang membantu ku tadi lumayan ganteng,  dan melihat dari sikap cuek nya tadi tidak  menutup kemungkinan kalau dia memang kak Nael.

Tapi tetap saja aku tidak bisa menyimpulkan dengan pasti.

_______________________

Akhirnya Nael muncul Juga :)
Gimana, Udah nyambung kan sama cerita nya?
_

Pilih mana?

Nael.

Atau

Rehan.

See you malming besok 😉

REHAN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang