12

1.3K 98 3
                                    

Tak terasa sudah dua minggu aku bersekolah di SMA Harapan Bangsa. Tittle anak baru perlahan pudar seiring berjalanya waktu.  Aku mulai menikmati keseharianku di sekolah,  semua berjalan lancar.  Juga tentang Kak Rehan. Kini dia semakin akrab dengan ku, setelah aku memberanikan diri mengirim pesan via WhatsApp beberapa hari yang lalu kami jadi semakin akrab. Kak Rehan membalas chatku ramah, Lalu mengakhirinya dengan apik juga.

Kemajuan terbesarnya adalah kami tidak hanya ngobrol di chat tapi juga di depan umum. Di kantin misalnya.  Seperti beberapa hari yang lalu setelah kejadian dia mengantarku pulang keesokkan harinya dia menyapa ku dengan senyuman.  Walau pun sedang bersama teman-temannya dia tidak sungkan-sungkan menyapa ku. Tentunya aku langsung membalas senyum manisnya itu.

Ternyata Kak Rehan orang nya baik dan menyenangkan,  dia bukan tipe orang yang cuek,  walaupun kesan pertama kali saat melihatnya, terlihat dingin.  Semua orang juga mengatakan seperti itu.  Tapi percayalah saat sudah kenal dengan Kak Rehan,  semua akan tau kalau dia tidak sedingin kelihatanya.

Tapi satu hal yang membuat ku resah,  apa karena sikapnya yang baik itu membuat dia di juluki sebagai playboy kelas atas?
Maksud ku, bukankah dengan sikap friendlynya,  dia terkesan menyenangkan dan mempesona?

Dan aku tidak bisa memungkiri kalau senyum Kak Rehan bisa membuat banyak perempuan jatuh hati. Aku takut kalau gosip tentang dia playboy itu memang benar adanya,  tapi sejauh ini kabar Kak Rehan dekat dengan seseorang belum sampai terdengar ke telingaku,  bahkan tentang pacarnya. 

Hati kecil ku selalu berharap dia belum punya pacar.

Eh, Apa-apaan kamu ini Salsa! jangan terlalu berharap.

***

"Guy's kalian duluan aja,  gue mau ke perpus dulu," ujarku saat pelajaran Pak Heru selesai,  kami semua baru saja keluar dari Laboratorium Kimia.

"Lo bukan mau minjem kamus Jerman lagi kan?" Evita tertawa di sela perkataannya.

"Hehe ya enggak lah, kemarin kan gue udah minjem, udah di kembaliin malah," Jawabku.

"Di temenin ngak?" Tanya Misel.

"Hm enggak usah deh,  kalian balik duluan aja."

"Ya udah kita duluan yah Sa," Sahut Misel.

 "Awas lo nanti ketularan pakek kacamata bulet kayak kutu buku lainya loh, kalo keseringan ke Perpus, hahaha." Feby mengejek ku sebelum beranjak pergi.

Aku hanya memutar bola mataku, tak begitu menanggapi ocehan Feby, lalu melambaikan tanganku ke arah mereka sebelum akhirnya benar-benar pergi menjauh.

Aku berjalan menuju Perpustakaan. Terakhir kali aku kesana ketika mengembalikan kamus Bahasa Jerman beberapa hari yang lalu,  dan di sana aku kembali melihat Kak Nael. Walau tak bertegur sapa dengannya,  karena langsung menuju penjaga Perpus dan mengembalikan kamus itu,  kurasa saat itu Kak Nael tidak melihatku.

Sesampainya di Perpus, tampak  suasana perpus yang tidak begitu ramai,  tidak seperti biasanya, hari ini yang datang ke Perpus hanya segelintir orang. Aku melihat Mbak Nia si penjaga Perpus sedang membaca buku di mejanya seperti biasa. Juga dengan wajah datarnya.

Aku langsung menuju rak buku yang tak jauh dari meja, aku memilah buku-buku yang menarik untuk di baca, lalu mengambil salah satu buku dari sana dan segera duduk di bangku yang menghadap meja berukuran sedang.

Hari ini aku memang ingin pergi ke Perpus untuk sekedar meluapkan kejenuhan. Atau lebih tepatnya mencari ketenangan. pelajaran kimia di Lab tadi sedikit menguras fikiranku. Apalagi dengan zat-zat kimia yang sulit ku mengerti itu,  tidak ada salahnya 'kan kalau aku ke Perpus sekedar menghibur diri.

REHAN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang