; Hujan

513 54 51
                                    

Musim hujan melanda kota beberapa hari ini. Bahkan beberapa daerah lain di Indonesia juga mengalami hujan deras belakangan ini.

Seakan-akan tidak pernah lelah; dari siang, hujan masih saja turun dengan deras. Padahal Zen sudah siap-siap mengambil mobilnya, tapi hujan seakan-akan mengamuk. Susah baginya untuk menghadang rintikkan alam itu. Bisa-bisa terjadi sesuatu padanya. Zen tak mau ambil resiko.

"Diundur besok?" Suara dari seberang terdengar serak. Hening sejenak, dengan latar bunyi hujan dari masing-masing penelepon.

"Gue gak yakin," Zen dapat mendengar kalau Adhit bergumam.

"Lo pada di mana ini?" Pemilik suara serak; Erpan—kembali bersuara.

"Gue di rumah," Zen memandang ke luar jendela. Semakin deras.

"Gue juga di rumah. Listrik mati, kan sial," Nelson terdengar menggerutu. Zen tertawa renyah mendengarnya.

"Nasib lo, Nel. Rumah gue baik-baik aja, nih," Adhit terkekeh pelan. Dari kata-katanya, Zen yakin bahwa Adhit masih berada di rumahnya.

"Lo di mana, Pan?" Adhit yang bertanya.

Hening sejenak, yang di tanya tak langsung menjawab.

"Rumah,"

Hening lagi. Latar hujan mengisi pendengaran mereka. Antara yakin tak yakin, Zen menebak kalau Erpan berbohong. Dari ketiga orang lainnya, suara hujan dari tempat Erpan-lah yang paling keras.

"Gak bohong?" Tanya Zen to the point. Ia tak mau Erpan terserang flu akibat berada di luar. Kembali memandang jendela, dan benar, hujan tak berhenti turun. Masih saja deras.

"Enggak," suara Erpan semakin serak. Kadang ia terbatuk kecil.

"Lo beneran di luar?" Kali ini Adhit yang menanggapi.

"Mau gue jemputin, Pan? Ntar lo sakit kan berabe," Nelson menawarkan.

"Enggak woi, orang gue di rumah," Erpan kembali mengelak. Membuat Zen tambah kesal.

"Shareloc, gue jemput,"

"Gue gak di luar, Zen," ucap Erpan lirih, namun penuh penekanan. Zen tidak peduli. Ia tahu Erpan ada di luar rumah. Segera Zen mengambil kunci mobil, menuju garasi rumahnya lalu menyalakan mesin.

"Zen, gila! Lo di mobil, kan?" Kali ini suara Nelson.

Zen tidak mengindahkan pertanyaan Nelson. "Pan, gue ke rumah lo. Awas lo kalo gak di rumah! Tak jitak we!" (Gue jitak lo!)

"LO NGAPAIN OGEB," Zen tahu Erpan berteriak, walau seruannya kalah dengan suara hujan.

"Tunggu gue di rumah,"

"IYA-IYA! Gue di Kopi Lain Hati. Tadi habis sama Billa, terus gue anterin dia pulang soalnya gerimis. Pas dia dah pulang, yaudah gue ke sini. Malah hujan deres," Erpan mendengus. Ketiga orang yang masih tersambung telepon itu dapat mendengarnya.

"Oke, lanjut chat aja," Nelson mengusulkan. Tidak ada protes, Nelson anggap semuanya setuju. Semua panggilan terputus.

Cogan gang rumpi (4)

Pan, jangan blg lo nongkrong di terasny krn penuh?
[14:12]

||Erpanda🐼||
Huum, gmn lgi? Gue naik motor. Dripada kehujanan. Dalem penuh
[14:12]

||Nelson Lolicon katanya||
Pantes lo kyk flu gtu pan. Ga heran gw :v
Btw gw ikut ah zen. Kan sejalur. Jemputin gw dulu dong :3
[14:13]

||Adhit Shota katanya||
Lah, gw ikut jg njir. Masak sendirian
[14:13]

Ya ya, gue jemput klian dulu. Pan, dalem bener" gk ada tempat?
[14:13]

||Erpanda🐼||
Buat duduk gk ada anjg. Tpi gue pesen minum dulu aja gmn? Buat lo bertiga juga. Mayan yg penting masuk
[14:13]

||Adhit Shota katanya||
Asique, boleh"
[14:13]

Oke, otw
[14:14]

---









Brak!

"Makasih, Zen," Erpan duduk di kursi belakang, di sebelah Nelson. Zen menyetir dan Adhit duduk di sebelahnya. Hujan masih saja deras. Adhit dan Nelson ngeri sendiri saat Zen menerobos hujan. Padahal mulanya ia takut. Demi Erpan, ia menerobos begitu saja. Ckck.

"Nih, buat kalian," Erpan menyerahkan dua gelas plastik berisi es kopi. "Punya lo di sini ya, Zen."

"Huum," Zen menjawab singkat. Butuh konsentrasi menyetir di tengah hujan begini.

"Habis ini ke mana?" Adhit memandang lurus ke depan. Jalanan tidak terlihat jelas akibat hujan.

"Rumah gue aja yang deket. Gimana?" Erpan menawarkan.

"Okelah. Gas,"





Mereka berempat menghangatkan diri di kamar Erpan. Jujur saja, walau hanya keluar sebentar, tubuh mereka langsung kedinginan. Hujan hari itu tidak main-main.

Empat gelas kopi mereka atur di atas meja. Padahal mereka baru saja kedinginan, tapi minummya es kopi. Ckck.

Erpan hendak meminum es kopi miliknya, tapi dicegah oleh Zen. Pria itu menaikkan satu alisnya. "Mau minum gue!"

"Lo masih flu. Gue buatin kopi panas aja," yang paling tua berdiri, hendak keluar kamar.

Erpan mengendus sebal. "Gak adil, lo bertiga minum Kopi Lain Hati, guenya malah diseduhin Luwak White Coffee."

Zen tersenyum kecil. Ia memberikan kopinya—yang belum ia minum sama sekali—itu kepada Nelson. Sedangkan kopi milik Erpan diserahkan kepada Adhit. "Buat lo aja Nel, Dhit. Gue nemenin Erpan."

Kedua lelaki yang mendapat porsi lebih itu tersenyum girang. Sedangkan Erpan yang baru saja kehilangan es kopinya merengut. Ia kesal. "Sialan," umpatnya kecil.

Zen malah tertawa. Tangannya mengusap pucuk kepala pemilik surai cokelat itu. "Lo tambah flu nanti, gak bisa record. Ntar gue, Adhit sama Nelson diprotes Bijikers sama 4Tress, gimana?"

Wajah Erpan sudah merah sedaritadi. Ia benar-benar flu. "Serah lo, ah! Kesel gue!"


---
26/12/2019

/a/n/
Gatau nulis apaan. Wkwk. Idenya terlintas gitu aja. Di kotaku kemaren dari siang smpe malem hujan terus, deres pula:"D

Idenya absurd, i know. Wkwk.

Angin RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang