; Tidur

285 29 25
                                    

Tengah malan. Sang rembulan meredupkan cahayanya, tidur tenang dengan dikelilingi gumpalan awan kelabu. Masih terlalu awal, fajar tak mau mengusir dewi malam yang terlelap di singgasananya.

Malam yang sepi. Tak banyak suara, terlebih di kamar ini. Terletak di lantai enam, membuatnya lebih senyap. Damai rasanya.

"Eungh..,"

Suara lenguhan kembali terdengar. Sudah tiga kali suara itu menggelitik telinga Nelson, membuatnya terjaga. Apa boleh buat, ia paham. Pemanas kamar tidak berfungsi dengan baik, sedang udara di luar sana sangat dingin; dua derajat celcius. Pasti ia kedinginan.

Tubuh kecilnya meringkuk di balik selimut. Surai hitamnya berantakan, sampai beberapa anak rambut menutup sebagian matanya yang terpejam. Manis dan damai. Seakan-akan hawa dingin bisa menusuk tulang, namun tidak mengacaukan wajah manisnya itu.

"Dingin..," Adhit mengigau.

Tanpa sadar, Nelson menangkup pipi Adhit dengan tangannya yang hangat. Manik sehitam arang itu menatap sendu sosok di hadapannya. Sangat tenang dan damai. Bisakah Nelson berharap berada di posisi ini lebih lama? Suasana yang membuat hatinya teduh, bahkan tersenyum lebar. Getaran yang tercipta mampu membuat tubuhnya menghangat.  Seakan rasa hangat yang diberikan tersalurkan; Adhit berhenti mengigau.

Tangan yang semula bertengger di pipi, merayap ke pucuk kepala. Dengan hati-hati, Nelson menyingkirkan anak rambut yang menutup wajah Adhit, lalu merapikannya ke belakang. "Kalo liat lo tidur gini, bawaannya pengen senyum terus. Jadi keinget lagunya Queen Iduna yang di Frozen 2, kan."

"Where the north wind, meets the sea. There's a river, full of memory,"

Alunan suara yang manis sekaligus merdu membuyarkan keheningan. Jemarinya mengusap lembut wajah sang sahabat yang masih menyelam dalam alam mimpi. "Sleep, my darling, safe and sound. For in this river, all is found."

Menarik kedua ujung bibirnya, melukiskan sebuah senyuman yang mengandung sejuta rasa. "Tetep jadi mentari, Dhit. Jangan pernah capek buat senyum, ketawa, dan bikin orang lain bahagia," tangannya kembali membelai kepala sang sahabat. "Kalo liat lo bahagia, orang lain bisa teracuni buat bahagia. Kayak gue contohnya. Liat lo senyum aja rasanya damai banget."

"Gue gak mau liat lo nangis,"

"Gue gak mau liat lo tersakiti,"

"Gue maunya lo bahagia. Adhit pantes dapet itu,"

"Jadi, mulai sekarang," pemuda jangkung itu masih setia membelai surai hitam milik Adhit. "--jangan nutup diri dari orang lain. Keluarin amarah, kesedihan, kecemasan, dan apapun rasa yang lo pendam selama ini, Dhit."

Suaranya yang memanggil nama Adhit seakan menggema memenuhi ruangan. Nelson dan Adhit, seolah semesta hanya tentang mereka. Ruangan ini bak dunia yang sempit; mempertemukan kedua insan yang berbeda dalam kisah yang sama.

"Gue bakal terjemahin lagu yang gue nyanyiin tadi. Pake versi gue sendiri. Dengerin, ya," Nelson tersenyum. Walau ia tahu tidak ada yang mendengarnya. Hanya Dia yang di atas, sang kesunyian malam, dan dirinya sendiri.

"Di mana kedua insan bertemu, disatukan oleh semesta dalam 'sungai' yang sama. 'Sungai' yang menyimpan sejuta kenangan dan memori,"

Suara lembutnya menyapu halus keheningan, membuat senyap bercampur damai. Ditatapnya wajah si pemilik surai hitam yang terpancar sinar rembulan. Lagi-lagi kedua sudut tertarik untuk naik, membentuk lengkungan tipis yang melukiskan kedamaian hati. Tak bosan menatapnya, tak jenuh pula dalam posisi yang sama. Sampai kapanpun berharap; tetaplah jadi seperti ini.

"Dan lirik terakhir berkata; tidurlah, sayang. Karena di 'sungai' inilah kita menemukan segalanya,"










---
3/1/2020

/a/n/

agustnq SKSKSKS. MAAP KLO KRG BISA BIKIN BAPER DAN MALAH ANEH. TIBA" MAMPET😭

Tapi jujur. Bagiku sendiri, pas nulis ini sambil ngebayangin, dan aku senyum" sendiri. Yg nulis siapa, yg baper juga siapa. Hoiii. Kebayang ini mereka beneran. 😭❤

Angin RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang