; Jangan Takut

150 17 5
                                    

"Serius mau nonton film ini? Horror-thriller lho, Dhit,"

Menganggukkan kepala, sembari tersenyum riang. "Kenapa, sih? Kan gue suka."

"Iya, suka. Tapi malemnya gak bisa tidur," Nelson tertawa meremehkan sembari menepuk-tepuk pucuk kepala yang lebih muda. Sedangkan Adhit, ia mendelik dan mendengus kesal. Rasanya memalukan. Harga diri sebagai lelaki dewasa seperti jatuh begitu saja.

Bukan, bukan karena ia takut film horror. Itu karena Nelson mengucapkannya dengan begitu lantang, membuat orang-orang di bioskop memperhatikan keduanya, lalu tertawa.

"Gue gak secupu itu, cuk. Lagian, LO YANG PENAKUT," menyambar dua tiket yang digenggam oleh Nelson, lalu membawanya pergi. Yang ditinggal pun tertawa sembari mengejar. Lucu rasanya melihat Adhit merajuk seperti ini.

"Iyaa, deh! Emang gue yang penakut. Lagian, udah beli tiket juga. Tetep nonton, lah,"

"Yaudah, sih. Berisik ah, lo! Orang-orang pada ngeliatin, tuh!"

Yah, benar yang dikatakan oleh Adhit. Kini beberapa orang di sekitar mereka justru memperhatikan keduanya. Heran, mungkin? Sesama lelaki, sudah begitu datang hanya berdua. Apalagi, Nelson kerap menggoda Adhit dengan cara merangkulnya, mengusak pucuk kepala, atau mencubit lengan. Kan, beberapa orang jadi salah paham.

Jangan ditanya bagaimana reaksi Adhit. Dia sedikit malu, tentu saja. Seharusnya, mereka nobar berempat, bersama Erpan dan Zen juga. Tetapi, Erpan malah sakit, dan Zen harus menemui orang tuanya di Jogja.

'Theater 5 telah dibuka. Penonton yang telah memiliki karcis, dipersilahkan untuk segera memasuki ruangan theater,'

Suara pengumuman dari speaker berkumandang, membuat beberapa orang yang merasa terpanggil langsung beranjak menuju ruang theater.

"Yuk, Dhit!"

"Ini anak satu kenapa semangat banget, dah? Liat aja nanti, apa dia bakal tetep nonton sampe akhir,"

---

Yah, dan benar saja apa kata Adhit. Setelah berjam-jam bergelut dengan ketegangan juga rasa takut di dalam ruangan gelap, kini Nelson terus bergidik dan membuntuti Adhit.

Benar, kan? Nelson memang ketakutan.

"Tangan lo dingin, cuk. Pake itu jaketnya," ujar Adhit sembari menunjuk jaket abu-abu yang melingkar di pinggang Nelson.

Yang diajak bicara hanya menggeleng dengan wajah pucat. Kini keduanya dalam perjalanan menuju parkiran mall, tapi pemuda jangkung itu masih saja ketakutan. Mungkin, Adhit salah memilih film?

"Nel, itu film fiksi, kali! Cuma karna si pembunuh berantai di film itu ngincernya cowok-cowok tinggi, bukan berarti lo diincer juga. Boongan doang, njir,"

"G-Gue gak takut, Dhit. Kedinginan doang!" Nelson berdalih sembari mengibas-kibaskan tangannya di depan wajah, berusaha meyakinkan Adhit bahwa ia tidak ketakutan. Namun, ekspresinya mengatakan sebaliknya.

"Kan, gue dah bilang. Kalo kedinginan, dipake jaketnya! Ntar meriang kek Erpan pula,"

"Iya, iya. Gue pake!" Pemuda jangkung itu mendengus sembari melepas jaket yang melingkar di pinggangnya.

Puk!

"Nah, gitu doー"

Adhit bermaksud untuk menepuk pundak Nelson, namun pemuda itu justru terkejut, dan berakhir berteriak secara jantan di tengah keramaian mall.

Oke, kuulang. Berteriak secara jantan di tengah keramaian mall.

"ANJIR, YA, DHIT! Ngapain sih pake ngagetin segala?! Malu-maluin!" Nelson berbisik dengan nada penuh penekanan, sedangkan Adhit menutup wajahnya dengan tangan, merasa malu karena menjadi pusat perhatian banyak orang.

Angin RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang