; Pura-Pura

113 15 4
                                    

Terkadang, kejujuran bisa jadi pedang bermata dua. Tak semua kejujuran itu indah, tak semua kejujuran bisa dilakukan atas nama perdamaian. Kerap justru mengundang pertengkaran antara beberapa pihak.

Bila ditanya, mana yang akan kau pilih?

Jujur dan menyakiti orang yang menyayangimu, atau..

Berpura-pura saja?

---

"Trus kalo gue pura-pura kenapa, hah?!"

Netra hitam arang memandang kecewa sang pemuda bermanik kecokelatan. Apa yang ia katakan justru tak selaras dengan ekspresi yang diberikan. Meletupkan amarah dengan wajah menahan pilu, yang pastinya menyedihkan untuk dilihat.

"Pan!" Kini yang paling muda yang menyahut. "Lo gak perlu paksain jika emang hendak ninggalin. Yang lo lakuin itu, sama aja kayak ngasih harapan palsu buat mereka!"

"Terus, peduli lo apa?!" Rahangnya mengeras, kedua tangan mengepal kuat. Erpan tak mengerti, sejak kapan ia seemosional ini? Hanya karena ini, ia merasa badai mulai berkecamuk dalam dirinya.

"Gila apa gue gak peduli? Lo sahabat gue, Pan! Lo.. sahabat kita bertiga," pemuda mungil itu menundukkan wajahnya, enggan menatap sang 'kakak kedua' yang mampu membuat emosinya memuncak. "Pan, tolong, lah. Sekali ajaー"

Menghembuskan napas berat, sembari menatap tajam ke arah ketiga pemuda di hadapannya. "Oke, sekarang gue balik tanya! Bisa, gak, sekali aja kalian gak usah ngurusin hidup gue?!"

Deg! Perasaan ketiganya bak dicabik-cabik. Perkataan Erpan barusan seakan menghantam hati mereka.

"N-Ngurusin gimana, Pan? Kita peduli sama lo, bukannya ngurusin!" Yang paling tua menanggapi, bahkan hampir berteriak saking lantangnya suara yang ia keluarkan. Senyap seketika, tak ada yang menjawab.

Bunyi jam dinding mengisi suasana senyap dan canggung. Keempatnya saling menatap satu sama lain dengan sorot canggung dan penuh kekesalan.

"Gue juga gak pengen gini," pemuda bersurai hitam-pirang itu menunduk sembari memegang lengannya. Suaranya lirih dan sedikit bergetar, memecahkan hening yang menyelimuti sejak dua menit lalu.

"Gue pengen bebas berpendapat. Pengen bebas melakukan hal-hal yang gue mau," ia melanjutkan, dengan suara serak juga lirih. "Tapi, kalian tau sendiri. Yang gue lakuin kerap bertentangan sama yang diinginkan mereka."

"Mereka selalu mengelu-elukan Erpan yang mereka kenal, dulu. Iya, gue Erpan. Tapi, kenapa rasanya beda? Ya karna gue udah gak ada feel, tapi dipaksa,"

Tiga orang lainnya bungkam berkat ucapan dari Erpan. Tak disangka, ternyata sang pemuda penyuka sarkas itu mengalami 'kehilangan dirinya sendiri'. Menyakitkan, memang. Seakan separuh dari kehidupan hilang, digantikan dengan sesuatu yang menciptakan ketidaknyamanan.

Nelson mengepalkan tangannya kuat-kuat, lantas menatap tajam pemilik manik cokelat di hadapannya. "Jadi.. karena itu lo milih pura-pura? Dibandingkan jujur, dibandingkan ngomong yang sebenarnya ke kita? Lo bisa jujur ke kita, tapi kenapa gak pernah lo lakukan?!"

"Dikira ngomong yang sejujurnya itu gampang?! Semua yang gue lakuin itu selalu salah, Nel! Dibandingkan harus pergi dan semakin kehilangan diri sendiri, lebih baik gue sembunyi!"

"Lo gak akan kehilangan diri lo, Pan! Kami berusaha mengerti apa yang lo mau. Kita bisa kasih pengertian ke satu sama lain. Kalaupun banyak yang menentang, jangan ragu buat jadi diri sendiri,"

"Gue gak mau melukai perasaan orang. Lebih baik gue yang sakit,"

"P-PAN!"

"Jadi, berpura-puralah opsi yang paling tepat," Pemuda berusia duapuluh-satu tahun itu mengacak rambutnya sendiri, lantas beranjak meninggalkan ruangan, disertai suara dentuman akibat pintu yang ditutup terlalu keras.

Senyap kembali mengisi, entah untuk yang keberapa kalinya. Kalimat terakhir yang dilontarkan Erpan pun terngiang kembali di benak masing-masing.

Berpura-pura?

Apakah pura-pura bisa menyelesaikan masalah?

"Mungkin kita juga salah," Adhit mencicit, sembari memandangi telapak tangannya sendiri. "Kita gak pernah mikirin perasaan Erpan kek gimana."

"Gue tau, Erpan pura-pura enjoy, kembali jadi 'dia yang dulu', demi membuat fansnya seneng. Tapi, hal itu ngebuat dia sendiri sakit," Zen memijat pelipisnya, merasa pening akibat pertengkaran tadi.

"Erpan terlalu maksain diri, bukan begitu?  Gue paham, jujur bisa jadi pilihan yang berat. Bahkan, jujur bisa melukai perasaan orang lain. Tapi, apakah pura-pura juga bisa nyelesaiin masalah?"

"Kalau ditanya, sebenernya bakal sulit untuk jawab, Nel," Zen mendudukkan diri di tepi ranjang, diikuti oleh kedua pemuda lain. "Jujur itu benar, walau terkadang bisa melukai perasaan orang lain. Tapi, berpura-pura juga bukan pilihan yang bagus. Lo bisa pura-pura untuk menjaga perasaan orang lain, tapi bagi yang menyadari, pura-pura itu bentuk pelarian yang menjerumuskan."

"Setelah tau kalo Erpan berpura-pura senang dengan 'kembali jadi dirinya yang lama', gimana perasaan kalian? Gue pribadi, sih, makin sakit,"

"Gue setuju sama lo, Dhit,"

"Mungkin, Erpan butuh pendengar dan sandaran. Gue jadi merasa bersalah karna menuntut dia. Haha," pemuda tertua itu tertawa miris sembari mengacak rambutnya sendiri. Kedua orang lain hanya mengangguk, lalu diam.

"Dia gak boleh kehilangan dirinya sendiri. Entah itu Erpan 'yang lama', atau Erpan 'yang sekarang', yang pasti, dia harus jadi dirinya sendiri,"

"Ayo, kita samperin dia,"

.
.

Tak ada dari mereka yang tahu, semenjak percakapan ketiga orang lain di dalam ruangan, ia menguping dari luar. Terduduk dengan bersadarkan pintu kayu, berusaha mendengarkan apa yang mereka pikirkan tentangnya.

Erpan tak mengerti. Jadi, siapa yang salah di sini? Yang mulanya menyuruh jujur, pada akhirnya tetap akan berpura-pura untuk melindungi perasaannya.

Bahkan, ia sendiri. Yang pada awalnya berpura-pura untuk menutupi kebenaran nan menyakitkan, kini terpaksa jujur untuk mengungkap perasaannya.

Jikalau semula 'pura-pura' ditujukan untuk menjaga hati, dan kini yang dijaga mengerti tentang apa yang sejujurnya terjadi,

Apa pura-pura kembali jadi pilihan, untuk yang kedua kali?

.
.

"Pan, lo bisa kembali ke kita kalo lo butuh sandaran. Maaf, kami salah. Kami salah karena gak ngertiin perasaan lo,"

"Gue juga minta maaf kalo gue terlalu kasar. Lain kali, gue bakal lebih jujur tentang perasaan gue ke kalian,"

.
.

Dan pada akhirnya, 'pura-pura' kembali jadi opsi yang dianggap paling tepat. Jadi, sama saja, kan? Tak ada yang paling benar, dan tak ada yang paling salah.

Terkadang, kebenaran yang sesungguhnya terlalu rumit untuk dimengerti.

---
4/6/2020.

/a/n/

Hai! Aku kembali dengan yang galau-galau lagi, sama seperti Angin Rindu pada biasanya;)

Aku hanya ingin menyalurkan perasaanku terhadap suatu hal, dalam bentuk ketikan. Maaf kalau tulisanku downgrade, ya. Atau mungkin kurang feel juga? xD

Gak ada maksud gimana-gimana, kok. Aku masih Bijikers, masih sayang Erpan. Masih sayang semua 4Bro juga. Aku pernah kehilangan diriku sendiri juga, jadi tau gimana rasanya. So-- yah, begitulah:')))

Merasa kehilangan, tapi tak mau untuk menuntut. Gak berkenan juga untuk meminta lebih. Kita sebagai fans, cukup support, ya?

Yah, mungkin kalian ada yang tau, kenapa aku tiba-tiba buat chapter ini. Huehue. Kalo yang enggak tau maksudku, yaudah deh, gakpapa. Semoga hari kalian menyenangkan! 💖

Angin RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang