"Lek nggak bar-bar iki masalah virus. Kangen aku ambek pacarku,"
(Mana nggak selesai-selesai ini masalah virus. Gue kangen, nih, sama pacar gue)"Gue mah juga kangen Billa, Dhit. Gimana lagi, masa kayak gini, lebih baik kita nurut dan stay di rumah,"
"Gue kangen yang ada di sana, ketemu baru beberapa kali doang,"
"Yeu, pacaran aja kagak. Ngarep aja lo, Zen!"
"Yii, picirin iji kigik. Ngirip iji li, Zin! Ah elah, sirik amat lo, Dhit. Gak bisa liat gue bahagia apa gimana?"
Brak!
"He?"
Menggebrak pelan meja kerjanya sebagai penarik atensi ketiga sahabatnya. Posisi yang semula duduk berubah menjadi berdiri, dengan kedua tangan di permukaan meja, juga dengan wajah yang menghadap ke arah layar komputer. Wajahnya memelas, seolah akan memulai drama kecil-kecilan seperti yang biasa ia lakukan.
"LAH LO SEMUA ADA PACAR YANG DIKANGENIN. GUE GIMANAAA? Kangen temen, sih, iya. Tapi gue gak masalah rebahan mulu, tuh," kembali mendaratkan diri di kursi gaming kesayangannya, lantas bersedekap dada untuk menunjukkan kekesalannya. "Gak ada yang peka. Gue kan paling kangen sama kalian bertiga. Lo pada gak ada yang balik kangenin gue."
Nelson hanya bercanda. Ia tak benar-benar kesal atau bahkan mempermasalahkan hal itu. Hanya saja, ia memang merindukan ketiga sahabatnya. Dua bulan berlalu semenjak pertemuan mereka, namun, dengan kurang ajarnya, rindu malah datang dan menyusup begitu saja.
Dari layar komputer yang menampakkan wajah mereka berempat, Erpan tampak berdecih karena sudah paham apa yang dilakukan Nelson. Berusaha menyamai alur pembicaraan, ia pun memperagakan posisi memeluk; merentangkan kedua tangannya, lalu mendekatkan diri ke layar. "UTUTUTUUUU, SAYANGKU KANGEN, YA? SINI, ABANG PELUK."
"Gue kasian sama pc lo kalo beneran lo peluk," Adhit mendesis, sok kelihatan seperti orang yang tengah jijik. "Peluk guling, noh, biar gak ngenes amat."
"Kok lo sirik, sih, Dhit? Ngajak ken--uh-- deh,"
"Heh, omongannya," Zen hanya geleng-geleng melihat aksi random para sahabatnya yang gesrek itu.
"Kencan, Zen. Pikiran lo ngeres ternyata,"
"Karepmu, lah,"
(Terserah lo, lah)"Btw, gak ada yang mau mabar? Gabut, nih," Nelson mengetuk-ketukkan jemarinya di atas meja, menunjukkan kalau ia memang sedang bosan.
"Males, ah. Lagi pengen nyantai sama kalian," Zen tersenyum, yang seketika mampu membuat ketiganya ikut menyunggingkan senyum.
"Cielah, keliatan. Yang paling kangen kita itu Zen," si pemuda mungil yang menjawab. Ia tampak menenteng seruling yang kerap dijadikannya sebagai pengisi kebosanan. Baru-baru ini, ia sedang mempelajari kembali tentang seruling.
Menyadari apa yang ditenteng oleh Adhit, Nelson pun terkekeh. "Adhit kode-kode mau mainin something, nih. Mainin, dong, Dhit. Cover apa gitu, buat kita. Apa mau collab?"
"Solo aja Adhit mah, Nel. Gak usah ditemenin," Erpan berbicara dengan nada sok sarkas, membuat Adhit kembali mendesis ke arahnya.
"Aku ki wong Suroboyo, lek Solo yo adoh karo nggonku. Zen kae, cedhak Solo,"
(Aku ini orang Surabaya, kalo Solo ya jauh sama tempatku. Itu, si Zen, rumahnya deket sama Solo)"Yo aku ngerti nek kowe wong Suroboyo (ya aku tau kalo kamu orang Surabaya)," pemuda tambun yang manis itu terkekeh, "yaudah, mainin apa gitu, Dhit. Pengen denger gue," Zen tersenyum lebar, menunjukkan rasa antusiasnya.
Adhit mengangguk mantap, lantas memainkan alat musik berbentuk panjang itu. Nelson yang menyaksikan dari layar komputer hanya bisa senyam-senyum, tak henti memuji keahlian sahabatnya dalam benak.
Setelah permainannya selesai, tepuk tangan pun bergemuruh memenuhi ruangan. Adhit terkekeh, merasa bangga sekaligus malu, karena ia tampak seperti anak TK yang diberi tepuk tangan meriah oleh ketiga sugar daddynya seusai tampil dalam pentas seni. /EH!
"JENGG, ANAKKU ITU LHO JENG YANG TAMPIL. KEREN BANGET, KANN?" Nelson berujar heboh, sampai-sampai ia berdiri dari duduknya, menunjukkan gerakan yang aneh.
"PINTER BANGET ANAKNYA, JENG. DIKASIH APA, SIH, WAKTU KECIL? BENSIN?"
"IYA JENG, DIKASIH BON CABE BENSINNYA,"
"HUAAAA, EMAK LAKNAT! JANGAN-JANGAN AKU ANAK TIRI?!"
"IYA, NAK. SEBENARNYA, PAPA MENIKAHI SEORANG LELAKI. EMAKMU INI COWOK,"
"PAPA ZENN, SEBENARNYA MAMAKU INI MAMAK ERPAN ATAU MAMAK NELSON?"
"DUA-DUANYA, NAK,"
Keempatnya tertawa atas sandiwara aneh yang mereka ciptakan secara spontan. Bertatap muka dan bercengkrama via online memang tidak bisa sepenuhnya mengobati rasa ingin bertemu. Namun, setidaknya, begini saja bisa mencegah agar rindu tidak makin mengganas, kan?
"Kalo virusnya udah bener-bener hilang dan keadaan kembali aman, mau meet up gitu, gak?"
"Ngomong apa sih, Zen? YA PASTI MAU WOI,"
"Njir, gue kira lo mau nolak, Pan,"
"Gak akan bisa nolak gue, Dhit. Gue kangen kalian soalnya,"
"Seorang Erpan bisa kangen kita, gais. Babang Nelson terhura,"
"Lo mau sarkas, ya, Nel?"
"Engga, gue maunya Adhit. HIYAAA,"
"Gue gak mau Nelson. Lo bau, belom mandi,"
"DITOLAK. HIYAAA,"
Berakhirlah video call mereka yang berdurasi satu jam lebih itu dengan Nelson yang ternistakan oleh ketiga sahabatnya.
"Capek nistain Adhit apa ya, makanya nistsin gue? Hiks,"
---
2/4/2020/a/n/
HEYYOOOO, ANGIN RINDU UP CHECKKK! TET TET TEREEEETTTT. /apasi ra
Kangen book ini woiii😭💖 maapkan jarang up yee. Semoga otak bekerja sama nyetor ide:')
Ide absurd ini muncul gara" liat adekku ada sekolah online setiap senin-kamis pagi, kek vidcallan sama guru plus temen sekelasnya gitu. Aku sih gak ada, cuma dikasih tugas yg menggunung, tpi gak ada kelas online gitu:')
Yah, jadilah kepikiran bikin part ini. Bayangin ini kejadian beneran tuh bikin terhura(?) sendiri. Antara gak percaya ini bisa kejadian beneran (weh), tapi juga berharap banget 4bro bisa kek gini:')💖
Btw, biasanya klo telpon"an gitu kan aku kasih dialognya miring biar tau klo itu telponan, tpi kali ini sengaja gk kukasih, krn gak ada sudut pandang dri siapa jg. Jdi bebas, bisa dri keempatnya. Walau sempet nyorot nelson sih. xD /ah belibet. Maap ye
Begitulah intinya, wkwk. Semoga hari kalian menyenangkaannn! 💖
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Rindu
FanfictionUntuk kamu, sang perindu senyumku. ーRandom oneshots of 4Brothers. Start: 25/12/2019. p.s. only friendship-centric. non-yaoi/non-bxb.