"Panas, Nel,"
Nelson hanya mengangguk. Suhu tubuhnya panas, kepalanya pening, mulutnya pahit. Kejadian semalam membuatnya jatuh sakit; masuk angin.
"Maaf, gara-gara gue, lo jadi kehujanan,"
Nelson tersenyum kecil, lantas mengusak surai hitam sang sahabat yang tengah duduk di sebelahnya. "Kan gue yang mau beliin lo martabak. Sante ae, Dhit. Kek sama siapa aja, lo. Biasanya juga gak tau malu."
"Bangsat,"
Keduanya tertawa, walau pemuda yang lebih tinggi masih merasa tidak enak badan. Percakapan tadi menciptakan suasana hangat kembali menyelimuti, membuat besit ingatan akan kejadian kemarin hinggap pada benak masing-masing.
Keduanya mencetak senyum. Tawa bercampur kekehan lemah mengudara memenuhi ruangan. Bukan karena apa, hanya keadaan seperti ini membuatnya lebih nyaman. Badan memang tengah lemah, kepala pening tak bisa berpikir, mulut pahit tak bisa menelan makanan. Namun, afeksi dari pemuda mungil di sebelahnya itu bisa membangkitkan semangatnya yang redup terbawa sakit.
[Flashback]
"Nel, temenin gue beli martabak, kuy,"
Menatap sekilas, lantas kembali sibuk dengan ponselnya. Satu tangan ia gunakan untuk menggenggam benda persegi itu, sedangkan satu tangan lain digunakan untuk menunjuk ke luar jendela. "Hujan, Dhit. Ntaran aja. Kalo masuk angin kan berabe."
"Laper," pemuda bersurai hitam itu menatap ke luar jendela, menyaksikan bagaimana hujan turun dengan cukup deras pada malam itu. Beberapa detik ia berpikir, lantas kembali menatap sahabatnya yang tengah duduk di sofa. "Tapi, bener apa kata lo, sih. Hujan deres banget."
Diam sejenak, lantas mengangguk sembari tersenyum. Berdiri dari duduknya, lalu berjalan menghampiri Adhit dengan menenteng ransel serta kunci motor. "Yaudah, lo di sini. Gue yang beliin."
"LAH, SI GOBLOK. Mau motoran? Sama aja ntar lo yang sakit, njir,"
Pemuda berkacamata itu hanya tersenyum, lantas mengusak surai hitam milik sang sahabat yang berdiri di hadapannya. "Berhubung gue juga laper dan pengen martabak, so-- kenapa enggak? Udah agak reda juga."
"Seriusan udah agak reda? Pake mobil gue aja, gimana?"
"Lo ke sini naik motor, ogeb. Cara ngambil mobilnya begimanaa?"
"Eh, iya. Tolol banget dah gue,"
"Baru sadar?"
"Owalahhhh, jancuk,"
Keduanya tertawa, sampai tak ingat apa tujuan awal mereka berdiri di sana. Nelson pun mengenakan jaket tebalnya, lalu membuka pintu depan. "Gue cabut."
Mengangguk, lantas tersenyum tipis sambil melambaikan tangan kepada Nelson. "Hati-hati, njing. Ntar kalo kenapa-kenapa, lo tambah goblok jadinya."
"Bangsat," melontarkan kekehan sebagai penimpal, lantas tancap gas menuju tempat tujuan. Apa yang dibayangkan tak sama seperti realitanya. Hujan turun dengan amat deras. Nelson salah perhitungan, mungkin saja ia akan benar-benar sakit setelah ini.
Tak ada jas hujan yang melekat pada tubuh, karena sedari tadi lupa akan realita bahwa hujan di luar memanglah deras. Menyayangkan perbuatannya yang cukup gegabah, mengingat kalau ia lah yang begitu bodohnya menerobos hujan tanpa jas hujan sama sekali. Demi ia, demi melihat senyum madu itu muncul.
"Basah dikit gak papa kali, ah,"
"Dhit, gue pulang,"
Berjalan menuju pintu depan, lantas membukanya. Betapa terkejutnya Adhit kala melihat sosok sahabatnya itu berdiri di ambang pintu dengan tubuh basah kuyup. "Astaghfirullah, Nel! Kan, udah gue bilang, hujan deres kayak gitu masih aja nekat!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Rindu
FanfictionUntuk kamu, sang perindu senyumku. ーRandom oneshots of 4Brothers. Start: 25/12/2019. p.s. only friendship-centric. non-yaoi/non-bxb.