"Rasanya bentar, ya," Zen bergumam. Duduk di tepi ranjang, memandangi kamar yang cukup luas itu. 10 Januari 2020, sudah hampir dua minggu sejak hari keberangkatan ke Jepang.
Adhit mengangguk saja, tanpa tahu apakah Zen melihatnya atau tidak. Ia berdiri di depan komputer, masih dengan rambut yang basah serta handuk putih yang dikalungkan di leher.
"Rasanya seru bisa ketemu kalian," lanjutnya. "Setelah tiga tahun cuma bisa kenal via online. Sekarang gue bisa bareng kalian secara fisik."
Adhit hanya diam. Tanpa berniat menyalakan komputernya. Ia duduk membelakangi Zen, yang bahkan tidak menatapnya. Tak ada kontak mata antara dua pria ini.
"Seru, seru banget. Tapi," Zen tersenyum. Entah apa yang dipikirkannya, namun ekspresinya bukanlah yang diharapkan dari orang yang 'katanya' senang. "--kok gue kecewa?"
"Apa gue egois?" Kini tertawa hambar. Adhit bergeming, menatap pantulan dirinya pada layar hitam dihadapannya.
"Gue cuma.., merasa pengen bareng kalian. Setelah setahun lalu ngelewatin masa gue harus kerja keras, padahal pengen ikut pergi,"
"Gak," lirih, namun tegas. Masih dengan menatap pantulan dirinya pada layar hitam itu. "Jangan bilang diri lo egois, Zen. Namanya manusia, wajar aja selalu merasa kurang."
"Gue juga pengen, pergi kayak tahun lalu. Ketambahan lo," Adhit tersenyum kecil. Memutar kursi gamingnya, menghadap sahabatnya itu. "Tapi, yah, gue juga gak bisa larang. Erpan mau bawa pacar, it's okay. Toh kita juga deket sama Bila. Kanan juga mau ikut dan bawa pacarnya? Gak papa juga. Hak masing-masing, kan?"
"Tapi, gue," beranjak, menempatkan diri di tepi ranjang, duduk menyamping dengan Zen. "--pengen kebersamaan lagi. Gue juga bisa bawa Nata, toh aslinya dia mau ikut. Tapi sengaja gak gue ajak. Gue mau qtime sama kalian, sahabat gue dari lama. Tapi, gue kan gak bisa larang Er--"
"Dhit," maniknya menatap wajah Adhit, senyum tipis mengembang di sana. "Iya, paham. Gue gak papa, kok."
"Santai aja. Gue seneng aja kok, malah tambah rame. Cuma sedikittt banget kecewa. Gak usah diperdulikan," pria tambun itu tersenyum. Ia bangkit dari duduknya, mengambil handuk dan peralatan mandi. "Gue mandi dulu ya."
Mengangguk patah-patah. Pikirannya terbang entah ke mana. Memikirkan apa yang dikatakan sang sahabat tadi.
.
.4bruder (4)
Adhit, Erpan Ipan, Nelson, YouErpan Ipan:
Eyyoyo wassupErpan Ipan:
VIDCALL GAN. AING MO NGOMONGNelson:
GAS.
.Zen mengelap rambutnya yang basah dengan handuk di lehernya. Adhit baru saja menyalakan komputernya. Hendak memainkan suatu game.
Incoming group video calls from 4bruder..
Suara yang muncul--hampir bebarengan--itu mengagetkan keduanya. Baik dari ponsel Adhit atau Zen.
"Buset, ternyata ada wa dari grup. Dari tadi gue gak buka," Adhit mematikan ponselnya, lalu berjalan mendekati Zen yang tengkurap di ranjang. Ia-pun melakukan hal yang sama. "Pake hp lo aja."
(Bayangin aja kek gini. Aowkaowk)
Zen mengangguk singkat, lalu menekan opsi accept pada layar. Mengarahkan ponselnya supaya bisa memuat wajahnya dan wajah Adhit.
"WEH PANTEK GUE MASIH DI BANDARA. TOLONGGGG," teriakan nyaring itu memasuki gendang telinga Zen serta Adhit, membuatnya terkekeh seketika. Apalagi melihat ekspresi Erpan pada layar.
"BUSET, EARRAPE GUE CUK," Nelson memegangi telinganya. Dari dinding tempatnya bersandar, Zen dan Adhit tahu pasti, Nelson sudah berada di kamarnya.
"Sumpah ya, capek banget. Tapi seru sih," lanjut Nelson. Keempatnya tertawa.
"Iya. Sampe gak kerasa, di sana udah hampir dua minggu,"
"Bawaan gue tambah banyak njir," Adhit terkekeh, memandangi bawaannya yang berserakan di depan pintu kamar.
"Samaa. Udah kayak apa gitu njay," Nelson merubah kamera ponselnya menjadi kamera belakang, lalu menyorot barang bawaannya yang terkapar di lantai; sama seperti milik Adhit dan Zen.
"Lo bertiga enak anjay. Gue masih nunggu pesawat. Mana Bila dari tadi beli kopi gak balik-balik," pemuda bersurai coklat-pirang itu mengerucutkan bibirnya. Tiga orang lainnya tak bisa menahan tawa.
"Kasihann," Adhit menirukan suara khas dari film Upin Ipin. "Gue sama Zen dong, udah bisa chillin di rumah. Huehue."
.
.Beberapa menit mereka dalam panggilan video, membahas beberapa topik yang random namun kocak. Hingga tiba-tiba, Erpan memasang wajah sendu. Manik hitamnya menyiratkan suatu yang biasanya tak ada di sana. Senyumannya mengembang. Tipis, namun manis.
"Maaf kalo gue bikin kalian gak nyaman dengan ngajak Bila, Kanan, sama pacarnya," pria bersurai coklat-pirang itu masih tersenyum. Membetulkan letak kacamatanya yang melorot akibat menunduk. "4Bro harus sering meet up, kan? Lo pada kayak gatau aja, 4Tress gimana ganasnya kalo udah rindu."
Kekehan kembali terdengar. Semuanya tersenyum. Terutama Zen. Ia lega. Sisi dirinya yang kecewa tadi-- kini menghilang. Ia tahu, ini hanya yang pertama kali.
Seterusnya, sampai nanti, tak ada yang tahu selain Tuhan.
Jika Dia menghendaki, maka mereka berjanji,
Persahabatan ini akan tetap abadi.
---
11/1/2020/a/n/
SUMPAH YA. MAAP TERLALU ABSURD. BAHKAN ENDMYA GAJELAS😭
Huhu. 4bro dkk udh plg ged. :"D berharap mrk lebih srg collab nantinya.
Yah, sbg fans mah, kita cm bisa dukung nrk, kan?
Aku ngerasa egois sendiri kadang. Jdi fans kok gini amat. Sukanya berharap lebih dri apa yg diberikan idolanya. Huhu. Maap ya ged. Msih galau aja gt;")
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Rindu
FanfictionUntuk kamu, sang perindu senyumku. ーRandom oneshots of 4Brothers. Start: 25/12/2019. p.s. only friendship-centric. non-yaoi/non-bxb.