Dua Puluh

943 95 27
                                    

"Sampai sini ajah mas"

Mas stefan menghentikan mobilnya tepat di depan rumahku. Setelah kalimat terakhir yang dia ucapkan membuat kami seperti makhluk yang tidak saling mengenal. Dia diam, aku juga diam.

"Mas..?" Dia menengok ke arahku, hanya tersenyum tipis.

"Aku pulang dulu"Saat aku hendak memegang knop mobil, dia mencegahnya.

"Aku antar"

Dia benar benar mengantarkanku sampai dalam rumah. Jujur ada rasa takut jika mama atau pun mas hito bertemu dengannya. Menunjukan sisi ketidaksukaan mereka terhadap mas stefan. Bagaimanapun mas stefan sekarang termasuk orang terdekatku.

Mas hito menghampiriku di dapur yang tengah membuat teh, ada rasa curiga tercetak di wajahnya yang kini menatapku. Aku hanya tersenyum.

"Mau teh juga mas?" Tawarku.

"Tumben? Buat siapa?" Picingnya.

"Ada mas stefan di ruang tamu" ku kuber teh yang telah tercampur gula lalu mencicipinya "pas"

"Inget pesan mas ki" ucap mas hito sesaat aku akan melangkahkan kaki.
Aku mengangguk sebagai jawaban.

Di ruang tamu bukan hanya ada mas stefan tapi juga ada papa, mereka terlihat asyik mengobrol sehingga kedatanganku tidak mereka rasakan. Ya lord, aku manusia.. bukan makhluk ghaib.

"Itu yuki, yaudah om ke dalam dulu yah. Dinikmati nak stefan" pamit papa lalu menepuk pundak ku. Aku mengerti isyarat papa, untuk tidak berbuat macam macam selagi berdua dengan makluk batangan. Andai papa tau apa yang pernah aku dan sosok yang tengah duduk sambil tersenyum ini lakukan. Pasti langsung digorok aku. Grr..

Aku meletakan teh dan cemilan ke atas meja, semua tidak luput dari pandangan mas stefan. Duh grogi gusti.

"Diminum mas, dimakan juga" aku duduk di single sofa sebelahnya.

Waktu seakan cepat berlalu, aku kira baru setengah jam kami mengobrol. Ternyata hampir dua jam, bercerita apa saja menggantikan kediaman kami selama di perjalanan. Terkadang kami tertawa, aku nyaris menangis karena terlalu terlena dengan tawaku. Bagaimana tidak, mas stefan menceritakan masa kuliah dia bareng mas hito. Yang ternyata mereka terjerat cinta segitiga. Aku membayangkan mas hito yang rela melakukan apapun untuk si cewek yang sekarang orang sebut bucin tapi si cewek lebih memilih stefan si mahasiswa badung ketimbang milih mas hito yang notabene ketua BEM.

"Terus reaksi mas hito gimana?" Tanyaku antusias. Penasaran dengan ceritanya, karena mas hito setiap cerita kisah percintaannya selalu mulus semulus betis cinta laura.

"Hito marah sama aku, sempet musuhan dua mingguan lah. Setelah aku dan dia putus, kami balik berteman lagi"

"Hahahaha" tawaku membahana "kasian amat abangku tercinta" ku susut air di sudut mata .

"Ehm !" Sumber bahagiaku nongol, duduk di samping mas stefan.
"Buatin mas teh juga dong ki"
Aku ngacir ke dapur sambil ketawa, akhirnya ada bahan untuk mengolok mas hito. Memang dia doang yang selalu bisa mengolok ku? Oh tidak bisa..

"Teh buat sopo nduk?" Suara mama menuju ke arahku.

"Buat stefan ma" suara papa di meja makan menjawab.

"Stefan ke sini? Sejak kapan?" Mama mengambil gelas di rak lalu membuka lemari gantung yang berisi berbagai kopi.

"Tadi siang ma, mama lagi bobo manja sama papa" aku terkikik. Aku nyelonong ke ruang tamu.
Mas stefan dan mas hito tengah asyik bercengkrama namun suasana jadi berubah ketika mama datang.

Takdir atau Kesengajaan Belaka?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang