Dua puluh tiga

938 114 19
                                    

Aku kira takdir perlahan bersahabat denganku. Nyatanya dia masih mempermainkanku.

Yuki Anggraini

"Mas sihh..!" Sungutku. Menghentak hentakan kaki sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah. Mas rio mengikutiku di belakang. Sesekali tangannya menarik ujung kaosku yang membuat aku mendelik ke arahnya, sedangkan mas rio hanya menyengir. Anjir nih om om.

Ruang tamu menjadi berubah, kursi kayu yang semula di pojokan sebelah aquarium kini berjejer di samping sofa. Di sini semua anggota sudah berkumpul termasuk keluarga dari mas rio. Dari setiap wajah menampak raut yang begitu tegang. Oh gusti.. sidang apalagi yang akan dilakukan keluarga takeshi dan keluarga sinyo?
Kami -aku dan mas rio- memang duduk terpisah tapi itu tidak membuat kami tak luput dari pandangan mereka berenam, tujuh ditambah dedek hanun.
Papa layaknya hakim, aku sebagai korban, mas rio sebagai tersangka, om sinyo sebagai pengacara tersangka dan sisanya sebagai saksi. Gusti..
Aku menunduk dalam, menanti ucapan yang akan keluar dari hakim dan pengacara.

"Nak rio apa benar yang kamu bilang barusan di halaman depan rumah adalah sebuah kenyataan?" Papa memulai dengan pertanyaan yang. Oh shit jadi tadi papa denger obrolan kami?

"Benar om" jawab mas rio tenang. Beda suhu apa yang aku rasakan. Ketar ketir. Ku remas rok kainku. Masih tetap menunduk.

"Kapan kejadian kamu melamar anak saya?" Masih dengan suara papa. Kali ini dengan menyipitkan mata.

"Tiga hari yang lalu"

"Tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya memeluk anak saya, memegang tangan anak saya apalagi mengangkatnya seperti itu" mata papa menyorot mas rio tajam. Seolah olah tengah mengulitinya.

Aku memandang papa "Pa.." lirihku disertai gelengan.

"Maaf bapak takeshi yang terhormat, memang anak saya salah. Dia hanya menunjukan rasa sukanya pada anak bapak" timpal om sinyo tak kalah tenang.

"Tidak harus begitu bapak sinyo terhormat. Kalopun suka, bisa berperilaku baik baik. Datengin orang tuanya, minta baik baik. Melamar saja juga cuma begitu. Dengan apa tadi nak..?" Papa menatapku

"Dengan kue" lirihku menunduk

"Nah emang anak saya seharga kue? Harus sesuai adat dong. Lamaran yang bener"

Duh kenapa jadi bahas lamaran? Ya lord.. ini urusan kami. Meski mungkin tidak main main bagi mas rio tapi juga ini urusan kami bukan mereka. Karena aku masih awam untuk menganggap semua ini keseriusan.

"Jadi apa konsekuensi dari perbuatan anak saya?" Tanya om sinyo .

Aku mendadak tegang. Ku gulirkan mata menatap mama.
Mama dan tante indah saling melempar pandangan. Aku menatap mas hito yang kurang ajarnya bukannya memperhatikan sidang malah asyik main dengan hanun.

"Gampang. Perkenalan dulu dengan saya dan istri saya sebagai orang tua yuki. Lalu pendekatan setelah pendekatan meminta secara baik baik. Kami selaku orang tua pasti akan mempermudah"

"Saya sudah melakukan dua poin pertama om"

"Ya sudah kita rapatkan saja acara lamarannya" papa menjawab dengan enteng, lalu tertawa "hahaha"

Krik krik tiba tiba suara jangkrik. Airnya turun tidak terkira. Cobalah tengok orang orang ini. Mukanya cengo semua.. haha malah nembang.

Suasana jadi sunyi sepi, papa yang sudah menyadari tingkah anehnya langsung mingkem.
Satu
Dua
Tiga hitungan masih sunyi. Semua orang seakan tersihir menjadi patung. Ku lirik dari ekor mata, menatap mas rio . Dia menunduk. Menatap mama, mama tengah tatap tatapan dengan tante indah diselingi senyuman.

"Hahahaha"

Aku terkesiap. "Allahu akbar.. mama !" Ku usap telinga kananku. Karena suara tawa mama pecah di sampingku. Disusul semua orang tertawa kecuali aku dan mas rio.
Hanun yang semula anteng mendadak nangis akibat kaget mendengar tawa orang di ruangan ini.

"Sstt.. sayang.. diem ya nak" mbak felic berdiri menimang hanun dan pamitan masuk kamarnya.

"Sudah saya nggak kuat." Mama menyusut sudut matanya yang berair.
Kemudian mama menatapku teduh, tangannya menepuk punggung tanganku yang saling menaut.

"Dia yang dua bulan lalu mama mau kenalin ke kamu nduk" ucap mama.

Doeng ! What the fu*k ! Permainan apa ini? Aku pandang mas rio, dia masih menunduk.

"Iya tapi belum kesampaian karena nak yuki kabur" ucap tante indah. Dia juga menatapku dengan teduh.
Mas rio mengangkat kepalanya lalu balik menatapku.

"mas?" ku pandangi wajahnya yang tersenyum manis mengandung arti . maksudnya apa ini?

"ada yang bisa menjelaskan?"
dengan isyarat mata ku pandangi orang di sekelilingku. jawabannya sama dengan mas. senyum penuh arti. Ya Tuhan.. inikah takdir atau kese..

"Maafkan saya yuki. Saya yang salah dalam masalah ini" lirih mas rio

Ngaja..

"Kami juga salah. Kami yang merencanakan ini. Begitu tau nak yuki kerja di kedai anak saya" tante indah bersuara.

"Maafkan kami nduk. Setelah mama tau kamu adalah cinta pandangan pertama nak rio, mama juga menyuruh nak rio mendekatimu. Menyuruh ofar mengawasimu dari.. stefan" mama melirihkan kata di akhir kalimat.

An belaka. Takdir memang benar sedang mempermainkanku memalui kesengajaan yang dibuat dua keluarga ini, bahkan sahabat dekatku pun ikut andil.

"Lalu kenapa ma?!" Erangku menatap nyalang orang di sekitar.

"Ariel sempat cerita sama mama, kalo kamu kenalan dengan stefan. Dan mama nggak mau, anak perempuan mama satu satunya jatuh ke tangan orang macem stefan "

Ariel? Ohh.. ariel pun andil? Jadi teman yang dia maksud mas hito? Lalu kenapa ariel yang notabene sudah tau stefan seperti apa, kenapa hanya diam? Fu*k !

Ku hentak tangan mama, lalu bergegas meninggalkan mereka. Masuk ke mobil dan melaju dengan kecepatan tinggi. Mengendarai dengan tatapan kosong. Menyerahkan pada keadaan yang akan mengantarku entah sampai mana.

Langit memaparkan warna kehitaman, awan hitam begitu kental menyelimuti bumi dan guntur mulai menyuarakan eksistensinya. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan namun aku enggan beranjak, aku masih ingin di sini -alun alun ungaran- melihat segala aktifitas. Di tengah lapangan terbentang pedangang yang menyerupai pasar malam, di pendopo dan pinggiran taman banyak pedangan aneka makanan minuman yang memberikan fasilitas lesehan. Dilihat sungguh damai kehidupan mereka, mereka mampu menutupi beban hidup dengan senyum bahagia. Oh yuki.. takdirmu itu ringan, banyak di luaran sana yang sangat malang. Bersyukurlah..
Yah bersyukur. Dengan bersyukur bahagia menyertai.
Ku susut air mata yang menganak sungai di pipi lalu bangkit . Namun baru dua langkah aku meninggalkan kursi taman, hujan turun. Semua orang berlalu lalang mencari tempat teduh, para pedagang berebut melipat tikar untuk mengamankannya dari hujan. Lalu aku? Aku mematung di tempat. Menengadah menyambut tetes demi tetes air hujan yang menerpa wajahku. Menutup mata, menikmati kesyahduan yang terakhir kali aku rasakan kelas enam SD.
Tiba tiba hujan berhenti membelaiku, ku buka mata. Bukan langit yang menaungiku, melainkan sebuah payung biru laut.

"Nanti kamu sakit"
Dia di hadapanku dengan payung melindungi kami berdua.

Aku mendengus keras. Memalingkan wajah ke samping. "Nggak usah peduli" aku melangkah meninggalkannya.

"Oke kalo kamu mau kita sama sama sakit." Teriaknya membuat langkahku terhenti. Aku berbalik menatapnya. Dia sudah menanggalkan payungnya.
Bermandikan hujan. Matanya menyorot lembut mataku, senyumnya terbit meski bibirnya kini membiru dan bergetar. Shit !
Aku berlari ke arahnya . Lalu meringsek ke dadanya. Ke dalam pelukannya.

"Maafkan mas nduk.." lirihnya di telingaku.

"Aku juga minta maaf mas.." aku melepas pelukan kami lalu menatapnya."tapi aku juga butuh kejelasan yang kongkrit !" Sungutku

Dia terkekeh, memeluk ku kembali. Kemudian mencium puncak kepalaku.

"Pasti.. setelah ini mas jelasin semuanya"










Salam 👙😲

Takdir atau Kesengajaan Belaka?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang